Mean

Mama, Papa, dan yang lain saling menatap satu sama lain. Mereka sepertinya paham, jika harus memberikan waktu untuk kedua insan yang pernah menjalin hubungan asmara itu.

"El, Mama sama yang lain cari makan dulu keluar" ujar mama, kemudian keluar diikuti yang lainnya.

Sesampainya di luar ruangan, Rozer terlihat tak terima dengan keputusan mereka yang meninggalkan Elina dan Morgan berdua saja. Jelas ia merasa cemburu bukan main.

"Kenapa lo biarin El sama Morgan di dalem berdua?" tanya Rozer berbisik pelan, kepada Bianca.

Bianca menghembuskan nafas dengan kasar. "Kalau nyokap nya yang nyuruh, lo bisa apa?" ujar Bianca kemudian mendudukkan diri di dekat Viola.

Rozer terlihat kesal, kemudian memilih berlalu untuk meredam rasa kesal yang menderanya. Membayangkan Elina dan Morgan dalam ruangan yang sama dan hanya berdua saja, semakin membuat hatinya membara.

Rozer memilih melangkahkan kakinya ke kantin yang ada di rumah sakit. Ia ingin membeli minuman dingin, untuk mendinginkan hatinya yang sedang memanas.

Sementara di dalam ruangan, Elina dan Morgan yang sudah melepaskan pelukan mereka. Kini menatap dengan kecanggungan masing-masing. Mereka sadar, kalau hubungan mereka telah berakhir sebelumnya.

"El, maafin gue atas semua kesalahan gue yang udah nyakitin lo" akhirnya Morgan mengeluarkan suaranya dengan berani.

Ia tatap dengan lekat wajah sayu Elina. "Gue banyak nyakitin perasaan lo, gue gak pantes buat dapat kesempatan apapun dari lo" jelas Morgan, ia merasa dirinya memang tak lagi pantas untuk mendapatkan kesempatan apapun dari Elina.

Elina mendongakkan wajahnya, menatap Morgan dalam. Hatinya merasa sakit mendengar perkataan Morgan, ia seperti merasakan apa yang Morgan rasakan saat mengatakan hal itu.

"Sorry, karena gak ngenalin lo sebelumnya, Gan" ujar Elina masih betah menatap Morgan.

Morgan mengulas senyumannya, kemudian mengangguk pelan. "It's oke, El. Gue yang salah"

"Tentang pembicaraan kita terkahir kali, gue juga minta maaf, Gan. Soal Rozer" ujar Elina lagi merasa tak enak pada Morgan.

Morgan mengangguk paham, kemudian kembali mengulas senyumannya. "Itu hak lo sepenuhnya, El. Gak perlu merasa bersalah soal apapun itu." Ujar Morgan lagi.

Elina terdiam, tampaknya Morgan memang sudah benar-benar berubah. Morgan benar-benar terlihat begitu perduli pada perasaannya, terlihat juga kasih sayang untuknya disana.

"Gan, gue gak bener-bener minta lo pergi. Kemarin gue gak inget sama lo sama sekali" jelas Elina, ingin Morgan paham, kalau ia tak ingin Morgan berhenti untuk terus berada di sisinya.

"Gue gak pantes dapat kesempatan dari lo, El" ujar Morgan lagi.

"No, lo berhak. Gue gak pernah benci sama lo, gue udah maafin apapun yang ada di masa lalu" ujar Elina lagi.

Morgan terdiam, ia kembali dihantui perasaan bersalah lagi. Betapa lembut dan tulusnya hati Elina. Sudah ia sakiti sedemikian rupa, tapi tak pernah menyimpan dendam sama sekali kepadanya.

"El .." lirih Morgan, menatap dalam Elina.

Elina segera masuk ke dalam pelukan Morgan, saat pria itu merentangkan kedua tangannya. Mereka saling meresepi pelukan satu sama lain, kerinduan yang sudah lama terpendam. Seolah tersalur dengan begitu derasnya.

Elina terisak pelan dalam pelukan Morgan, begitupun Morgan yang juga sempat meneteskan airmatanya. Mereka benar-benar tak bisa menjabarkan bagaimana kerinduan mereka yang sekian lama terpendam begitu dalam.

...***...