Mean
Dengan langkah cepat, seorang pria berlari menyusuri lorong bangunan yang didominasi oleh warna putih. Dengan seorang wanita yang tak sadarkan diri dalam pelukannya.
"Dokter! Tolong kekasih saya!" teriaknya dengan nafas memburu, tanpa menghentikan langkah kakinya.
Ya kekasihnya, meskipun Elina sudah menganggapnya putus tapi Morgan masih merasa memiliki Elina sepenuhnya. Tak peduli jika dikatakan egois, karena kehilangan Elina lebih menyakitkan.
Sesaat kemudian, seorang dokter datang mendekat bersama dua orang perawat untuk membantunya. Membuat pria itu lega, menyandarkan tubuh di dinding dan terjatuh lemas di sana.
Dirinya belum bisa merasa lega sepenuhnya. Karena kekasihnya sedang tak baik-baik saja. Kekasihnya baru saja mengalami kecelakaan karena dirinya. Ya, dialah penyebab kecelakaan itu. Itu yang ada dalam pikiran seorang Morgan Dirtarama.
Elina Rosalia, kekasih yang selama ini selalu ia sakiti sedemikian rupa. Wanita yang senantiasa lembut menghadapinya meskipun selalu Ia lukai perasaannya.
Kini perasaan bersalah dan menyesal itu benar-benar melukai egonya. Melihat bagaimana Elina yang bersimbah darah dan terluka, mampu mengoyak seluruh perasaannya.
"El, maafin gue" lirihnya tak bisa menyembunyikan binar kesedihan yang ia rasakan.
Kilas ingatan tentang bagaimana dirinya menyakiti Elina, masih teringat jelas dalam benaknya. Bagaimana upayanya yang terus berusaha membuat Elina pergi dari sisinya.
Menjalin hubungan dengan wanita lain, tak hanya sekali ia lakukan namun beberapa kali. Tentu saja niatnya tetap sama, hanya untuk membuat Elina pergi dari sisinya. Sejujurnya Morgan muak menjalin hubungan dengan Elina, karena merasa tak memiliki perasaan spesial apapun untuk wanita itu.
Hingga setelah hubungan mereka berakhir, Morgan baru menyadari perasaan cintanya untuk Elina. Namun naasnya kecelakaan itu terjadi sebelum dirinya belum benar-benar memperjuangkan perasaannya maupun Elina.
Hingga kini hanya menyisakan penyesalan mendalam yang menyesakkan dalam relung batinnya.
Morgan hanya mampu terdiam dengan isak tangis, memangku wajah dengan bertumpu pada lengan dan lututnya. Pikirannya kacau, tak ada yang bisa dipikirkannya selain Elina saat ini.
Lama Morgan dalam posisi itu, hingga terdengar suara dua pasang langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Suara yang terdengar berlari, Morgan dapat menebak keduanya adalah sahabat kekasihnya.
"Gan, gimana?" tanya Bianca dengan nada khawatirnya.
Namun mereka tak mendapatkan respon apapun dari pria yang terlihat begitu kacau itu. Hingga Bianca yang hendak menuntut jawaban, menghentikan niatnya saat merasa ada tangan yang menyentuh bahunya.
Viola, menahan bahu Bianca dan menggeleng pelan. Isyarat bahwa mereka jangan menganggu Morgan. Melihat bagaimana kondisi Morgan yang kacau, tentu ia dapat memahami keadaan Morgan saat ini.
Hingga kemudian Viola dan Bianca memilih untuk melangkah mendekati ruangan yang kemungkinan ada Elina di dalamnya. Mereka duduk di kursi yang tersedia dengan harap-harap cemas. Tak berbeda jauh dengan Morgan, mereka pun dilanda perasaan khawatir, gelisah, dan perasaan kacau yang membelenggu jiwa mereka.
"Gue gak mau kehilangan El, Vi" gumam Bianca dengan isak tangisnya, terdengar ada rasa khawatir di nada bicaranya.
Viola mengalihkan pandangan kepada Bianca, melihat sahabatnya yang sedang kacau membuat tangannya terulur untuk membawa Bianca masuk dalam pelukannya.
"Gue juga gak mau, Bi. Gue yakin El kuat, dia gak akan kenapa-kenapa gue yakin." Terang Viola berusaha tegar, meskipun dalam hatinya juga ikut merasa hancur.
Keduanya menangis sembari saling memeluk menguatkan. Terlihat begitu takut untuk kehilangan. Begitupun pria yang merasa bersalah dan dipenuhi penyesalan itu. Hanya mampu kembali teriris mendengar pembicaraan kedua sahabat kekasihnya itu.
***
Sebulan berlalu, tak terasa begitu cepat waktu berjalan dan berlalu. Wanita cantik dengan kulit putih yang tampak pucat terlihat masih nyaman terbaring di ranjang pasiennya.
Ya, sudah sebulan berlalu. Elina dinyatakan koma setelah melewati masa kritisnya. Kini semua orang hanya bisa berdoa dan menunggu keajaiban datang menyertai Elina, agar bisa kembali ke pelukan mereka.
"Saya tidak menerima kamu di sini" tegas Mama Reta, yang merupakan Mama Elina.
Sudah sebulan ini, Morgan selalu datang untuk membantu menjaga Elina. Namun seperti yang terjadi saat ini, Mama Reta menolak kehadirannya dengan lantang.
"Ma, biarkan Morgan melihat putri kita. Siapa tahu El bisa cepat sadar dengan kehadiran Morgan." Jelas Papa Agam yang tak ikut membenci Morgan karena kecelakaan yang Elina alami.
Mama Reta menatap tajam suaminya, merasa tak setuju dengan perkataan suaminya itu. "Pa, apa Papa lupa siapa yang menyebabkan El seperti sekarang? Mama tak akan biarkan dia menemui El sedetik pun, Mama takut El semakin tak mau kembali bersama kita kalau merasakan keberadaan dia." Jelas Mama dengan luapan emosi yang mulai terpancing.
Hal itu membuat Papa menghela nafas pasrah. Jika sudah begini, istrinya tak akan bisa untuk dibujuk. Hingga akhirnya ia hanya mampu menatap Morgan dan menggeleng pelan. Seolah memberitahu kali ini tak ada yang bisa membantah keinginan istrinya, Morgan belum bisa menemui putrinya.
Morgan berusaha mengulas senyumannya, seperti sebelum-sebelumnya ia belum dapat menemui kekasih hatinya. "Baiklah Om, Tante, saya pamit" ujar Morgan yang hanya bisa pasrah, memilih pergi tanpa bisa menemui Elina. Wanita yang sejujurnya begitu ia rindukan.
Morgan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan Elina dengan langkah lesu. Karena harapannya untuk bertemu Elina kembali tak berhasil seperti hari-hari sebelumnya.
Sementara itu, mama tampak masih menatap kepergian Morgan dengan tatapan tajamnya. Dengan mata berkaca-kaca, mama berujar. "Andaikan Mama tak membiarkan El bersama pria itu, pasti putri kita masih bersama kita sekarang, Pa." Ujar mama dengan kesedihan yang mendalam.
Melihat istrinya yang tampak sedih, papa mengusap lembut punggungnya dan membawa ke dalam dekapannya. "El, akan baik-baik saja. El akan kembali bersama kita, Ma. Semua ini sudah takdir, Ma. Lebih baik kita tidak menyalahkan siapapun." Papa berusaha untuk menenangkan sekaligus meluruskan pemikiran istrinya yang masih saja menyalahkan kekasih putri mereka itu.
Mama hanya terdiam, menikmati pelukan hangat suaminya. Dan berusaha untuk menguatkan hatinya yang kembali rapuh mengingat keadaan Elina yang tak kunjung membaik.
***
Morgan memilih untuk duduk di kantin, ia masih optimis untuk menunggu kesempatan dapat bertemu Elina. Rasa rindunya tak bisa lagi ditahan sejak sebulan yang lalu. Hari ini, ia bertekad untuk bisa menemui Elina apapun resikonya.
"Morgan?" ujar sebuah suara yang membuat Morgan tersentak.
"Lo kesini lagi?" tanya Viola yang terlihat datang bersama Bianca.
Bianca pun memasang wajah penasaran yang sama. Bukan rahasia lagi, kalau Morgan selalu ditolak kehadirannya oleh Mama Reta. Jadi melihat Morgan yang masih belum menyerah sampai detik ini, membuat mereka penasaran.
Toh, Elina juga belum sadar. Morgan juga tak bisa menemui Elina kalau datang berkunjung. Lalu untuk apa Morgan harus datang kalau kenyataannya seperti itu.
Morgan memutar bola matanya malas, mendengar pertanyaan Viola. Rasanya tak penting menanggapi mereka. Hingga sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas saat melihat mereka berdua.
"Gue sengaja nunggu kalian" ujar Morgan akhirnya.
Bianca mengerutkan dahinya, sementara Viola mengangkat alisnya dengan tak percaya. Apa maksudnya menunggu mereka?
Mengabaikan kebingungan dua wanita cantik itu, Morgan langsung mengatakan inti permasalahannya yang hendak ia katakan.
"Gue mau kalian bantu gue buat ketemu El" singkat, padat, jelas. Terdengar nada perintah di sana dibanding nada meminta tolong.
Wah, memang dominan sekali pria satu itu. Seenak jidat saja menyuruh orang lain. Bukannya minta tolong tapi memerintah.
"Lo pikir kita bakal bantuin? Jangan harap, Gan. Kita masih kecewa karena lo banyak nyakitin El." Tegas Bianca menolak keinginan Morgan.
Next .......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments