Aku Pelarianmu

Setelah menempuh perjalanan jauh aku tiba kota tempat tinggal Ana. Suami dan keluarganya sangat baik dan ramah. Aku disambut dengan makanan khas daerah setempat, katanya agar aku akan betah tinggal dan akan selalu merindukan Gorontalo jika suatu saat aku pulang.

Ana tinggal di rumah terpisah dari rumah mertuanya tetapi masi dalam satu kompleks yang sama. Ana menyiapkan kamar untukku agar aku nyaman tinggal di rumahnya. Namun aku menolak untuk tinggal bersama, aku meminta tolong untuk dicarikan kos-kosan agar aku bisa hidup mandiri. Lagi pula masih ada sisa tabunganku dan kedepannya aku akan bekerja untuk memenuhi kebutuhanku.

Aku tak ingin merepotkan Ana dan suaminya lagi, aku tak enak hati meski mereka sangat baik namun aku tak ingin memanfaatkan kebaikan mereka. Suaminya Ana sudah membantu biaya tiket pesawatku hingga mencarikan pekerjaan.

“ Baiklah jika kamu ingin tinggal sendiri, tak apa. Nanti aku bantu carikan kos dekat tempat kerjamu. Tapi untuk sementara kamu tinggal di rumah ini ya, aku sudah siapkan kamar tamu. Nanti setelah kita menemukan kos yang cocok untuk kamu baru kamu bisa pindah. “

“Baiklah Ana. Sekali lagi makasih banyak ya. Aku ga tau harus membalas kebaikanmu dengan apa “ mataku berkaca-kaca.

“ Bahagia. Kamu harus hidup bahagia. Itu sudah cukup buat aku. “ Ana memelukku. Aku menangis dalam pelukan Ana.

Aku tak menyangka di usiaku 22 tahun aku sudah mengalami begitu banyak hal. Aku menikah sebelum kuliahku selesai, lalu keguguran saat kandunganku baru 5 bulan. Bahkan aku berpisah dengan suami di tahun yang sama dengan pernikahanku. Sekarang aku pergi merantau jauh dari keluarga, meninggalkan orang-orang yang sangat aku cintai.

Hari berikutnya aku mengikuti beberapa rangakaian tes penerimaan karyawan di Perusahaan. Salah satu Perusahaan Terbesar yang cabangnya terdapat di seluruh Indonesia. Bang Amar suaminya Ana sepertinya punya koneksi di Perusahaan itu, aku segera diterima beberapa hari setelah hasil tes keluar. Aku ditempatkan bagian Teller, kebetulan aku menggantikan pegawai sebelumnya yang resign karena menikah dengan sesama karyawan.

Meski pekerjaan ini sangat bertolak belakang jurusanku saat kuliah, namun aku sudah berniat belajar. Alhamdulillah semua karyawan di Perusahaan ini sangat welcome, ternyata tidak semua karyawan yang bekerja di Perusahaan ini adalah penduduk disekitar. Namun banyak juga yang berasal dari luar daerah, ada yang dari Makassar, Manado, Kendari , Palu bahkan ada juga yang berasal dari Jawa. Sehingga hal ini semakin mempererat hubungan kekeluargaan diantara para pegawai-pegawai.

Hari-hari kulalui dengan semangat, aku menjalani pekerjaanku dengan sangat baik dan teliti. Berutung aku sudah berpengalaman di coffeeshop milik kak Arini sebagai kasir, jadi tidak terlalu sulit bagiku untuk beradaptasi di pekerjaan baruku.

Setiap bulan untuk meringankan beban Ayah dan Ibu kusisihkan sebagian penghasilanku untuk biaya pendidikan adik-adikku. Secara rutin aku mengirim ke rekening Ibu. Sejak tiba di Gorontalo, komunikasiku dengan Ibu dan Ayah sudah lancar kembali. Begitu pun dengan Cecil, aku memohon maaf tak bisa menghadiri acara pernikahannya bahkan aku pergi di hari yang sama dengan acara pertunangannya. Untunglah Cecil mengerti dan memaklumi keputusanku.

Hingga sekarang aku masih belum menghubungi Roy ataupun Kak Arini, aku berharap dengan kepergianku ini Roy telah mengajukan gugatan cerai. Sesekali aku mengintip akun sosial milik Roy, namun tak ada aktivitas apapun di sana. Terakhir kali adalah curahan hatinya atas duka yang sangat dalam setelah kepergian mamanya.

Sudah dua tahun aku bekerja, karirku berjalan lancar. Setelah 3 bulan dengan status traning aku diangkat menjadi karyawan tetap meski masih dengan jabatan dan posisi yang sama. Aku selalu hadir lebih awal dan pulang lebih lama. Hal ini aku lakukan untuk menyibukkan diriku agar aku bisa melupakan semua masalah hidupku.

Beberapa kali aku didekati oleh pria, namun aku hatiku tak pernah berkutik untuk melihat mereka. Aku seakan hilang rasa.

Aku pikir sudah sejauh ini aku pergi, aku akan dengan mudah untuk melupakan Roy, namun aku salah semakin hari aku semakin merindukannya. Tak pernah seharipun aku melupakannya.

Setiap malam aku selalu tersiksa, terbayang dengan semua kenangan-kenangan bersamanya. Beberapa kali aku mencoba mengalihkan perhatianku untuk ikut bergabung dengan teman-teman kantor sekedar nongkrong bersama. Namun setiap tempat yang aku kunjungi selalu mengingatkan aku kepada Roy.

Aku mencari kabar tengangnya, namun aku sudah berjanji pada diriku sendiri sejak aku melangkahkan kaki turun dari rumahnya, sejak saat itu pula aku aku harus memendam perasaanku.

Hari ini adalah hari ulang tahun anak-anaknya Ana, hari sabtu pekerjaanku libur setengah hari, jadi aku bisa menyempatkan diri untuk menghadiri acara itu. Aku sangat menyayangi kedua anak itu, begitu pun sebaliknya. Kadang setiap minggu malam aku menawarkan diri untuk menjaga mereka , sedang Ana dan suaminya pergi jalan-jalan. Mereka sangat lucu, akupun sudah dianggap seperti tante mereka.

Selama acara berlangsung, sebisa mungkin aku menghindari kamera. Aku tak ingin postingan-postingan Ana ada wajahku di dalamnya. Dengan begitu keberadaanku tak bisa diketahui oleh siapapun di Jakarta.

“ Tante Dara, ayo foto dong. “ si kembar merengek meminta foto bersamaku.

" Maaf ya Aisha Aira tante ga bisa., tante ga pede sayang. Soalnya tante lagi banyak jerawat, nih....nihh" sambil menunjuk pipiku yang kemerah-merahan.

" Mana ada, tante bohong. " Aira yang ngotot ingin foto denganku.

" Tante tetap cantik kok biar ada jerawatnya. " Aisha pun ikut-ikutan merengek padaku.

" Aisha Aira, jangan dipaksa ya tante Dara. " Ana mendekati sambil memberi pengertian pada anak-anaknya

" Tapi Aira pengen bunda. Tante Dara ga pernah mau diajak foto bersama " sambil menangis Aira merengek terus. Aku jadi tak tega. Aku menoleh ke arah Ana , lalu Ana pun mengangguk pertanda dia mengerti kode dari aku.

" Ya udah ayo foto bersama. "

" Yey.... Foto batang tante Dara." saking girangnya mereka aku ajak foto, anak-anak kembar itu sambil bertepuk tangan.

setelahnya aku bisikkan ke telinga Ana.

" hanya untuk koleksi pribadi ya "

" Iya, tenang aja. Aku tau kok. Ini juga buat kenang-kenangan si kembar. Kasian kan siapa tau aja kamu balik ke jakarta ga sempat punya foto bareng mereka. Ya kan?"

" Iya sih, tapi kamu harus janji ya An, jangan pernah kamu upload. "

" Iya, Aman. " jawab Ana.

Acara ulang tahun di rumah Ana cukup meriah, akupun tak segera pulang. Banyak para tamu yang datang dari anak-anak hingga dewasa. Aku membantu Ana melayani para tamu. Saat menyiapkan teh dan kue di belakang aku mendengar bisik-bisik para sepupu wanitanya mas Amar.

" Oh, itu mbak Dara ya? Temannya kak Ana? "

"Iya"

" Cantik ya"

" Iya cantik. Tapi janda "

" Mas sih? Masih imut gitu kok udah janda?"

" Iya benar. Makanya jangan menilai orang dari tampilan luarnya aja"

" Semoga aja Bang Amar tidak akan tergoda ya sama temannya kak Ana. Kasian, kak Ana orangnya baik banget, lembut juga sayang keluarga"

" Huss... Jangan sembarangan ngomong. "

Aku berjalan melewati mereka, pura-pura tak menyadari dan tak mengerti apa pembicaraan mereka. Meski menampilkan ketegaran, namun hatiku agak ciut. Sehina itukan aku yang janda ini?