Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama Bekerja
Mentari sudah menunjukan sinar keemasan saat kedua perempuan dengan rentan usia tak jauh berbeda itu tengah bersiap di kamar masing-masing. Fatimah, perempuan patuh baya itu kini terduduk di kursi meja makan seraya menatap hidangan di atas meja yang sempat Ruby siapkan pagi-pagi tadi dengan bantuan Kiran.
Fatimah menghela nafas. Jika Ruby bekerja, otomatis dirinya pun hanya tinggal seorang diri di rumah. Sepi, sudah pasti menggelanyuti. Akan tetapi ia pun tak bisa egois. Ruby masih muda pun berhak menentukan jalan hidupnya. Lagi pula kondisi keunganya juga pas-pasan. Ia mungkin tak akan sanggup untuk membiayai persalinan Ruby, bahkan sampai membesarkan sang bayi jika hanya mengandalkan harta peninggalan sang suami yang tidak seberapa.
Fatimah menatap pada kedua pintu kamar yang sama masih tertutup rapat. Mungkin kedua putrinya belum selesai bersiap. Kembali menatap pada hidangan yang mulai dingin, Fatimah pun berinisiatif untuk memanggil ke dua putrinya agar lekas keluar dan sarapan.
"Kiran, Ruby, ayo kita sarapan," ajak Fatimah dengan meninggikan sedikit nada bicara agar kedua gadis di dalam kamar itu bisa mendengar.
"Tunggu sebenar." Jawab kedua gadis itu nyaris bersamaan.
Tak lama berselang pintu ke dua kamar itu terbuka. Kiran dan juga Ruby sudah nampak rapi dengan seragam berwarna hijau pupus yang membalut tubuh bagian atas mereka.
"Wah, putri-putriku sudah terlihat rapi. Ayo, kita sarapan. Sebelum makanan yang kalian siapkan tadi menjadi dingin." Fatimah sigap mencidukkan nasi di kedua piring putrinya juga membubuhkan lauk juga sayur di atasnya.
"Terimakasih, Bibi." Ruby berucap tulus yang seketika mendapatkan balasan senyum hangat dari bibir Fatimah.
Ketiganya pun lahap menghabiskan sarapan sebelum akhirnya kedua gadis itu berpamitan dan meninggalkan Fatimah dengan lambaian tangan.
Ruby dan Kiran tampak bercanda saat sudah memasuki angkutan umum yang akan membawa mereka sampai ke tempat kerja. Kiran bercerita ini dan itu, Ruby pun menanggapinya dengan antusias. Kedua perempuan itu layaknya saudara kandung. Begitu dekan dan enggan untuk dipisahkan.
"Terimakasih, Pak." Ruby dan Kiran sudah menuruni angkutan umum. Mereka sudah sampai di area parkir bangunan tiga lantai yang menjadi tempat kerja mereka.
Begitu mereka mengayunkan langkah untuk lekas memasuki resto, Kiran justru menghentikan gerakan kedua kakinya. Terdiam dengan pandangan lurus ke depan, di mana bangunan tiga lantai itu berdiri kokoh.
"Lucu ya, Kak?."
Ruby mengernyit, ia pun spontan menghentikan langkah saat sadar jika Kiran justru masih berdiri diam di belakangnya.
"Lucu? Apanya yang lucu?."
"Nama resto ini sama dengan namamu. Kebetulan sekali 'kan?." Kiran tergelak. Ia kembali melanjutkan langkah seraya menarik lembut tangan Ruby yang justru terpaku selepas mendengar ucapannya.
"Ah, sudah. Jangan difikirkan. Ini hanya kebetulan saja. Ayo cepat, atau kita akan terlambat." Kiran kembali menyadarkan Ruby. Mereka pun bergegas, memasuki resto dan mulai berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Kiran bertugas sebagai penjaga kasir sementara Ruby mendapingi chef Mario sebagai asisten.
💗💗💗💗💗
Ruby menyeka pelih di kening dengan sapu tangan yang tersimpan di saku pakaian. Dihari pertama dirinya bekerja, ia cukup merasakan lelah saat resto ramai oleh pembeli. Kedua tangannya bahkan masih aktif mengupas dan memotong bahan masakan sedari pagi hingga selepas tengah hari.
Tak berbeda darinya, Mario justru lebih sibuk darinya. Kedua tangannya tengah mengendalikan bahan masak, hingga sukses menghidangkan menu-menu andalan resto yang begitu menggugah selera.
Ruby meneguk ludah saat Mario mengolah sup asparagus yang begitu nikmat di matannya. Begitu aroma masakan itu menguar, Ruby nyaris menitikkan liur. Dalam hati ia begitu menginginkan satu masakan itu, namun apalah daya. Keinginannya tak mungkun bisa dituruti.
"Siapa namamu tadi?." Mario kembali bertanya saat tak berhasil mengingat nama asisten barunya.
"Ruby," jawab Ruby lirih.
"Oh, ya nama Rub.. Ruby? Namamu Ruby?." Mario menoleh kearah perempuan yang berdiri di belakangnya. Cukup terkejut dengan nama dari asisten barunya.
"I-iya, Tuan."
"Hei, kita ini sama-sama karyawan. Untuk apa kau memanggilku dengan sebutan Tuan. Kita ini sederajat, jadi panggil aku Kak saja."
"Em, baik Kak Mario."
"Aneh, kenapa bisa mirip ya," Mario bergumam namun beberapa detik kemudian pria itu tergelak seraya menggelengkan kepala.
"Berikan ini pada pelayan. Pesanan dari meja nomor xx." Mario mengulir sup asparagus yang masih mengepulkan asap di bagian atasnya.
Ruby kembali meneguk ludah saat makanan itu kembali menyapa indra penglihatan dan penciumannya.
"Hei, cepat."
"Ba-baik, Kak." Tergagap, Ruby lekas meraih nampan kemudian menaruh mangkuk berisikan sup asparagus itu di atasnya. Begitu seorang pelayan mendekat, Ruby lantas menyerahkan nampan tersebut untuk diberikan pada pemesan.
Seakan ada sesuatu yang meremas hati Ruby saat berada disituasi seperti ini. Hamil dalam kondisi tak memiliki suami merupakan cobaan terberat bagi Ruby. Tak ada istilah ngidam. Ruby selalu memendam segala keinginan calon buah hati untuk dirinya sendiri.
Kerap saat tengah malam, sepasang matanya yang semula terlelap, bangun hanya untuk menginginkan jenis makanan tertentu. Makanan tertentu yang pastinya tak pernah Ruby penuhi, hingga rasa ingin itu hilang dengan sendirinya.
Ruby tak ingin memberatkan sia pun atas kehamilannya. Fatimah dan Kiran yang sudah mau memberinya tempat berteduh saja sudah menjadi berkah luar biasa bagi Ruby. Tentu gadis itu tidak ingin memberatkan mereka lebih jauh lagi, hanya untuk alasan ngidamnya.
"Ruby," panggil Mario.
Perempuan yang masih setengah melamun itu terkesiap begitu namanya disebut.
"I-iya, Kak."
Mario menatap wajah Ruby yang memucat. Mungkin akibat kelelahan.
"Istirahatlah."
"Tapi, Kak. Pelanggan masih banyak dan aku..."
"Wajahmu terlihat pucat. Kau sudah makan?."
Ruby pun menggeleng. Memang benar, Ruby belum makan dan ini sudah melewati jam makan siang.
"Kau bisa pingsan jika terlambat makan. Kasihan bayi dalam perutmu jika kau membiarkan dia kelaparan."
Mario mendadak cemas begitu sadar jika Ruby belum makan siang. Ia pun juga sama, namun ia mulai terbiasa saat disibukan dengan banyaknya pesanan.
"Tapi, bukankah Kak Mario juga belum makan?." Protes Ruby.
"Kau tidak perlu menungguku, Ruby. Kau bisa makan lebih dulu. Ingat, kau punya nyawa lain yang perlu dijaga kondisinya."
Meski ragu namun Ruby mengganggukan kepala. Ia pun pamit, menuju ruangan lain yang menjadi tempat makan untuk para karyawan resto.
Ruby hendak mencari keberadaan Kinar, namun diurungkan saat sadar jika mungkin saja gadis itu tengah disibukkan dengan pekerjannya jua.
Jam makan siang yang sudah terlewatkan membuat Ruby hanya makan seorang diri. Ruby mulai mengambil piring dan mengisinya dengan nasi lengkap dengan lauk dan sayuran. Merasa perutnya pun sudah teramat lapar, Ruby lekas berdoa sebelum menyantap makanan di hadapan tanpa memperhatikan sekeliling.
Perempuan berparas cantik itu tampak menikmati setiap suap makanan yang masuk ke dalam mulut. Ruby begitu bersyukur saat bisa menikmati makanan lezat tanpa perlu mengeluarkan uang.
"Hei, apa yang sedang kau lakukan!." Teriakan seorang membuat Ruby terlonjak dan tersedak. Perempuan itu ketakutan, terlebih saat melihat sosok pria yang tiba-tiba muncul di hadapan dengan sepasang mata menatap tajam.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya