Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mitos dan harapan
Fajar menyingsing, nyanyian burung liar bersahut-sahutan bak alarm yang di sediakan oleh alam. Delvia perlahan membuka mata, gadis itu meregangkan kedua tangannya sebelum akhirnya keluar dari tenda.
Langit masih di dominasi warna gelap, di ufuk timur sang surya masih malu-malu untuk memamerkan keperkasaannya. Delvia menarik garis senyum, kali ini senyuman tanpa paksaan yang nampak begitu memesona. Benar kata orang, alam adalah pelipur terbaik saat seseorang tengah terluka.
Para pendaki yang berkemah di Ranu Kumbolo mulai keluar dari tenda masing-masing, mereka tak ingin melewatkan momen matahari terbit dari salah satu tempat terindah di Gunung Semeru.
“Pagi Delvia,” sapa Sari dengan ceria, gadis itu berdiri di samping Delvia seraya mengikuti arah pandang Delvia.
Delvia menoleh seraya tersenyum tipis. “Pagi Sari.”
“Morning everybody,” ujar Eko dengan gaya tengilnya. Rupanya dia tak datang seorang diri karena Tofa, Wayan, Bagas dan Dikta mengikutinya di belakang.
“Mornang, morning, sok enggres kamu Ko,” sahut Sari sambil terkekeh.
“Yo biarin, yang penting aku happy. Bener nggak mbak Delvia?” Eko mencari perlindungan dari Delvia.
Delvia mengangguk seraya menahan senyum. “Biarin aja Sar, yang penting Eko seneng!”
Guyonan di antara mereka terus berlanjut, hanya Dikta yang tampak sibuk dengan ponselnya. Dengan alibi memotret keindahan alam, nyatanya diam-diam Dikta tengah memotret obyek yang tak kalah cantik dari lukisan semesta, Delvia Mayuri.
Kemah telah usai, setelah sarapan pagi dan briefing singkat oleh Tofa, mereka kembali melanjutkan pendakian. Sama seperti posisi awal, Dikta tetap berada di baris paling belakang dan Tofa sebagai pemimpin kelompok.
Beruntung pagi belum terlalu terik saat mereka melewati tanjakan curam yang di kenal dengan nama Tanjakan Cinta.
“Konon katanya, barang siapa yang melewati Tanjakan Cinta ini tanpa melihat ke belakang, maka hubungan percintaannya dengan pasangan akan langgeng,” ucap Dikta dengan nafas tak teratur.
Delvia menarik sudut bibir, senyuman mengejek jelas tergambar di wajahnya. Bagaimana tidak, kedua kalinya Dikta membahas mitos.
“Terus yang jomblo gimana nasibnya mas?” tanya Wayan tanpa menoleh, pemuda itu pun sedikit berteriak agar Dikta bisa mendengar pertanyaannya.
“Pikirkan seseorang yang kamu sukai, mitosnya orang tersebut akan berbalik menyukaimu dan kalian akan bersama selamanya,” jawab Dikta mengada-ada. Namun Dikta berharap jika kebohongannya akan menjadi kenyataan. Untuk itu dia menyuarakan sebuah nama di dalam hati. “Delvia Mayuri.”
“Dasar pembohong,” gumam Delvia tak percaya.
Usai melewati Tanjakan Cinta, mereka lalu dipertemukan dengan Oro-oro Ombo. Oro-oro Ombo ialah padang yang luas dimana berisikan rumput, pepohonan dan juga salah satu tanaman cantik namun mematikan, Verbena brasiliensis. Di tempat ini, Tofa mengizinkan anggota kelompoknya untuk beristirahat sejenak, mereka memanfaatkan waktu singkat tersebut untuk mengabadikan momen yang entah kapan akan terulang lagi.
“Ayo kita foto bersama,” ucap Tofa seraya mengeluarkan ponselnya. Setelah mendapat persetujuan dari semua anggotanya, Tofa meminta tolong pada pendaki lain untuk memotret kelompoknya. Entah kebetulan atau sudah di rencanakan sehingga posisi Delvia dan Dikta tepat bersebelahan.
Matahari semakin meninggi, langkah kaki semakin berat dan peluh semakin bercucuran, apalagi kini mereka di hadapkan dengan jalur tanah yang menanjak dan terjal.
“Hati-hati, jalurnya cukup licin,” teriak Tofa memberi peringatan.
Beberapa menit sejak Tofa memberi peringatan, tiba-tiba kaki Eko tergelincir, pemuda itu kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terjatuh. Karena posisi jalur menanjak, tubuh Eko pun terguling ke bawah, menabrak Sari hingga tubuh Sari limbung dan menabrak Delvia yang persis berada di belakangnya.
Kedua mata Delvia membelalak, namun dia tak sempat menghindar sehingga tubuh mungilnya terhempas dan berguling ke bawah. Naas, saat itu Dikta kurang waspada, dia kehilangan momen untuk menahan tubuh Delvia dan Sari yang hampir bersamaan berguling ke arahnya.
“Ya Tuhan. Cepat kejar mereka!” teriak Bagas panik, sementara itu tubuh Eko tertahan pohon besar sehingga terguling tak terlalu jauh.
Dikta menuruni jalur dengan seksama, meski mencemaskan Delvia dan Sari namun dia tetap harus waspada, jangan sampai dia ikut tergelincir dan jatuh.
Di bawah sana, Sari telah di tolong oleh beberapa pendaki lain, sementara nasib Delvia masih belum di ketahui.
“Mas cepat tolong Delvia,” ucap Sari cemas.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Dikta memastikan.
“Aku baik-baik saja, cepat cari Delvia mas!” Sari memohon dengan mata berkaca-kaca.
“Cepat cari Delvia, aku akan membantu Sari,” perintah Bagas begitu tiba di tempat sari.
Dikta mengangguk, pria itu kembali turun di ikuti oleh Tofa. Tepat di bawah pohon besar, Delvia meringkuk seraya memegangi pahanya yang tampak mengeluarkan darah. Dikta segera menghampiri Delvia dan mengusir pendaki yang tengah mengerubungi Delvia tanpa menolong.
Pikiran Dikta kacau, dia kalut dan reflek merengkuh tubuh Delvia ke dalam pelukannya. “Maaf,” ucap Dikta dengan air mata tertahan dan nafas yang tak beraturan.
“Kaki Delvia terluka, cepat obati dia!” Tofa terkejut melihat tetesan darah merembes keluar dari celana Delvia.
Dikta sontak melepas pelukannya, dia lalu mendudukkan Delvia dan memeriksa luka di paha Delvia. “Sepertinya lukanya cukup dalam, aku harus mengobatinya. Kau tidak keberatan untuk melepas celanamu kan?”
“Melepas celana? Disini?” tanya Delvia tak percaya.
“Ya. Lukamu harus di obati sebelum infeksi!”
Delvia tampak ragu. “Tapi saya malu,” cicitnya pelan.
Dikta paham akan kerisauan Delvia, dia menoleh dan menatap Tofa gusar. “Berapa lama lagi untuk sampai Kelik?” (Kelik\= batas pendakian yang di rekomendasikan)
“Tidak jauh lagi, sekitar 20 menit!”
“Kamu bisa membawa dua tas?” tanya Dikta lagi.
Tofa mengangguk, tanpa di beri tahu pun dia paham dengan maksud Dikta.
“Bagus,” Dikta mengeluarkan syal dari tas carriernya, lalu membalutkannya ke paha Delvia yang terluka dan mengikatnya dengan cukup kencang. “Turun terlalu berbahaya, aku akan mengobatimu di atas. Apa kau masih bisa berjalan?” Dikta menatap Delvia dengan mimik serius.
“Saya tidak tahu!” Delvia menjawab ragu.
“Aku akan memapahmu naik!”
“Kamu serius?” tanya Delvia.
“Hm. Tidak ada pilihan lagi, ayo cepat berdiri!”
Di saat seperti ini Delvia memilih untuk mendengarkan Dikta. Delvia yakin sebagai seorang dokter Dikta lebih tau yang terbaik untuknya. Dengan sisa tenaga yang di miliki Delvia mencoba berdiri, terasa begitu menyakitkan memang, namun dia harus bertahan demi sampai di Kelik dan mendapat pertolongan medis.
Perjalanan terasa semakin berat, di jalur pendakian yang menanjak Dikta harus memapah Delvia dan memastikan luka di kaki Delvia tidak mengalami pendarahan. 20 berjalan begitu lambat, jalur tanah kini berubah menjadi batu dan kerikil, menandakan mereka akan segera tiba di Kelik.
Bagas yang lebih dulu sampai di Kelik sedang mendirikan tenda di bantu oleh Wayan. Sementara Eko hanya duduk dengan ekspresi penuh sesal.
“Mereka sampai,” Bagas berlari menghampiri Dikta, membantu temannya memapah Delvia menuju tenda.
Setelah mencuci tangannya, Dikta masuk ke dalam tenda seraya membawa tas medis berukuran kecil. Delvia cukup tanggap, gadis itu telah melepas celana panjangnya, menyisakan celana pendek, memamerkan paha putihnya yang di penuhi noda darah.
“Kamu benar-benar dokter kan?” tanya Delvia saat Dikta membuka tas medisnya.
“Tentu saja!”
Sebagai seorang dokter, sudah menjadi kebiasaan untuk selalu membawa tas medis kemanapun Dikta pergi. Dengan hati-hati Dikta memeriksa luka di paha Delvia. “Syukurlah lukanya tidak separah yang aku pikirkan,” ucapnya lega. Dikta lalu membersihkan luka Delvia dan mengobatinya. Luka telah di perban, Dikta lalu memberikan obat untuk Delvia. “Minum ini!”
“Obat apa itu?”
“Pereda nyeri! Cepat minum, aku akan mendirikan tenda!”
Saat Dikta akan keluar, tiba-tiba Delvia bersuara. “Terima kasih.”
“Ya!”
Sesaat setelah Dikta keluar, Sari dan Eko masuk ke dalam tenda, menghampiri Delvia dengan perasaan bersalah.
“Mbak Delvia, maafin aku ya. Semua ini gara-gara aku tidak hati-hati,” ucap Eko menyadari kelalaiannya.
Delvia tersenyum seraya menepuk pundak Eko. “Aku baik-baik saja kok, kamu tidak perlu menyalahkan diri!”
“Aku juga minta maaf ya Del, aku tidak sempat menghindari Eko!” sambung Sari murung.
“Sudah-sudah, kalian tidak perlu merasa bersalah. Aku baik-baik saja. Aku mau istirahat , apa kalian bisa keluar sebentar?” Delvia mencoba menghibur Sari dan Eko.
“Baik mbak, kita akan keluar. Selamat istirahat ya mbak!”
Delvia merebahkan diri, menatap langit-langit tenda yang tak seberapa tinggi. Meski terluka dan besar kemungkinan tidak bisa naik ke puncak, namun Delvia merasa beruntung bertemu dengan teman yang baik dan peduli padanya.
Sementara di luar tenda, Tofa sedang merundingkan kondisi Delvia bersama teman-temannya. “Delvia mungkin tidak bisa naik ke puncak,” tutur Tofa.
“Kalau gitu biar Eko di sini menemani mbak Delvia. Semua ini juga salah Eko!” Eko menimpali.
“Biar Sari aja, Sari kan cewek pasti mbak Delvia lebih nyaman!” sambung Sari karena masih merasa bersalah.
“Bagaimana kalau lukanya infeksi, apa kalian bisa menanganinya?” sela Dikta seraya menatap Eko dan Sari secara bergantian. “Kalian naiklah, aku yang akan menemaninya!”
“Hah?”
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan