Reiner merupakan ketua Mafia/Gengster yang sangat di takuti. Ia tak hanya di kenal tak memiliki hati, ia juga tak bisa menerima kata 'tidak'. Apapun yang di inginkan olehnya, selalu ia dapatkan.
Hingga, ia bertemu dengan Rachel dan mendadak sangat tertarik dengan perempuan itu. Rachel yang di paksa berada di lingkaran hidup Reiner berniat kabur dari jeratan pria itu.
Apakah Rachel berhasil? Atau jerat itu justru membelenggunya tanpa jalan keluar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy Eng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Cara Reiner
Sepanjang perjalanan menuju tempat tinggalnya, Reiner tak berhenti memikirkan luka yang berada di tangan Rachel tadi. Sialan, kenapa dia bisa terganggu pikirannya hanya dengan melihat luka itu.
"Tuan, Leonardo meminta transaksi di lakukan besok malam. Mereka meminta orang-orang di dermaga kita amankan!" kata Marlon seketika memecah lamunannya.
"Lakukan saja. Aku percaya padamu!"
"Baik tuan!"
"Oh ya, aku mau kau menonaktifkan satu pelayan kamarku. Pindahkan satu orang itu ke tempat lain. Terserah kau atur saja!" titah Reiner cepat.
Marlon sebenarnya tak tahu kenapa Reiner memintanya melakukan itu. Tapi perintah Reiner adalah sebuah keharusan. Marlon akhirnya mengangguk sebagai jawaban.
Di lain pihak, Rachel yang di jam satu siang itu masih berada di rumah terlihat melamun usai menyuapi sang Ayah. Ayahnya terkena stroke. Tidak menanggung kerusakan mobil pria itu saja hidupnya sudah sangat semrawut, apalagi jika ia harus mau bekerja di sana. Apakah ia akan sanggup?
Ayahnya tiba-tiba menitikkan air mata begitu melihat Rachel yang sedari tadi melamun. Sementara sang Ibu tiri terlihat masuk dan berkata. "Obat ayahmu harus segera di tebus. Kapan kau akan mengambilnya?"
Rachel menoleh, "Secepatnya akan aku usahakan Bu. Kak Dilan baru datang besok!"
Ibu tiri hanya melengos tanpa menjawab lagi. Saat pukul tiga sore, Rachel masuk cafe dengan muka tak segar. Gina yang melihat itu tak bisa untuk tak bertanya, "Kenapa Hel, ayah kamu kambuh lagi?"
Rachel mengangguk dengan muka murung, "Seharusnya ayah memang perlu perawatan di rumah sakit Gin, tapi aku belum ada uang. Ini aja mau ambil obat aku mau ngajukan kasbon lagi ke kak Dilan."
Gina menatap murung rekannya itu. "Kamu pakai yang aku dulu aja!"
Rachel menggeleng menolak. "Nggak Gin, yang tempo hari aja aku belum bisa balikin. Aku minta maaf, aku gak bisa terima bantuan kamu lagi."
Gina tahu kesulitan teman seperjuangannya itu. Ia tahu jika Rachel memang perempuan yang memiliki prinsip. Tapi ia juga tak bisa memaksakan kehendaknya.
"Aku belum perlu kok, pakai aja dulu!"
Rachel bersikukuh menolak. Ia tak ingin persahabatannya rusak hanya karena uang. Apalagi, ia masih memiliki pinjaman yang berjumlah tak sedikit pada rekannya itu.
Ia akhirnya bekerja seperti biasanya. Melayani para tamu, mengelap meja, dan sesekali membatu pekerjaan yang lain di pantry. Tepat pukul tujuh malam, ia beristirahat dan makan. Saat masih mengistirahatkan diri, sebuah pesan tiba-tiba masuk.
"Jangan bilang kau bakal kabur dan tidak bertanggungjawab. Aku bakal datang ke rumahmu dan meminta uang itu ke orangtua mu kalau kau mencoba-coba kabur!"
Sembari tersedak, Rachel menatap tak percaya sederet nomor yang mengirimkannya pesan beranda ancaman. Ia terheran-heran, dari mana pria itu mendapatkan nomornya.
"Kenapa dia dengan mudahnya punya nomorku? Apakah dia benar-benar polisi?" batinnya gelisah.
Ia pulang dengan pikiran yang masih penuh dengan beban. Kalau pria itu sampai beneran datang ke rumahnya, keadaan ayahnya pasti akan semakin parah. Usai berperang dengan pikirannya sendiri, ia mendecak lalu memutar motornya mencari alamat mansion yang di berikan oleh Reiner.
Setibanya ia di sana, ia sangat tak percaya kala melihat rumah mewah yang pilarnya menjulang tinggi seperti museum. Luas bangunan itu hampir sama seperti luas lapangan bola. Ia jadi tak yakin kalau pria itu adalah seorang polisi. Mana ada polisi yang kaya banget seperti ini.
Dengan penuh keyakinan, ia menekan bel di luar sebanyak tiga kali. Tanpa menunggu lama, seorang pria terlihat datang lalu membukakan pintu gerbang tinggi itu dan mempersilahkannya masuk.
"Anda siapa?Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria itu masih terdengar sopan meksipun wajahnya cukup menyeramkan.
"Emmm, saya diminta datang kemari. Apakah ini betul alamat tuan Reiner?" kata Rachel seraya menyerahkan kartu nama pada pria itu.
Tangan pria itu terulur menerima kartu berwarna hitam. Ia lalu menelpon seseorang dan beberapa detik kemudian mengangguk paham.
"Bos ada di dalam. Silahkan masuk!" ucap pria tersebut.
Begitu menginjakkan kaki ke area mansion yang banyak di tumbuhi pohon Cemara, Rachel semakin terkagum-kagum manakala melihat rumah besar yang pekarangan nya sungguh luas. Sejenak, ia merasa seperti sedang di permainkan. Sudah punya rumah semewah ini, kenapa harus memeras orang miskin macam dirinya?
"Tunggu di sini sebentar, saya panggil tuan Rei!" kata pria barusan.
Rachel mengangguk paham. Sembari menunggu, ia melanjutkan mengamati kemegahan yang tersuguh di depan sana. Sungguh ia merasa kerdil. Apa pekerjaan orang itu sehingga membuatnya memiliki kekayaan semacam ini? Sekolah dimana dia dulu?
Saat sedang sibuk mengamati beberapa pajangan mahal, derak langkah mengalihkan atensinya. Sesosok pria yang memiliki paras tampan namun terlihat begitu licik datang lalu duduk di hadapan Rachel.
"Sepertinya kau sudah memikirkannya!" kata Reiner yang tentu senang dengan kedatangan Rachel.
Rachel tak mau duduk dan langsung mengutarakan niat dan tujuannya.
"Aku tidak mau bertele-tele. Aku mau bekerja menjadi pembantu di rumah ini. Tapi aku harus menyesuaikan jadwalku di cafe. Semisal hari ini aku masuk sore, maka pagi aku akan bekerja. Jika masuk pagi, maka sore aku akan bekerja. Ku harap anda memiliki kebijaksanaan!" ucapnya memilih kata 'anda' sebab ia sungguh minder dengan pria di depannya.
Reiner tentu saja merasa senang sekaligus menang. Memang ini yang di inginkan. "Kapan kau akan mulai bekerja?"
"Besok!"
Reiner bangkit lalu berjalan mendekati Rachel yang berdiri. Rachel menelan ludahnya begitu wajah Reiner berisik lirih di telinganya.
"Jangan coba menipuku. Aku tidak suka di bohongi, kau dengar?"
Rachel yang degup jantungnya tak beraturan sebab wajah Reiner nyaris menyentuh wajahnya memilih langsung pergi dari tempat itu.
Reiner yang melihat wajah takut Rachel seketika tersenyum puas sebab dalam sekejap rencananya yang ia susun telah berhasil.
Sementara Rachel, lantaran mampir dulu ke mansion Reiner, ia jadi pulang terlalu malam. Setibanya di rumah ia mendapat tamparan keras dari sang Ibu.
PLAK!
"Kluyuran dari mana kamu, hah? Bukankah kamu sudah pulang dari tadi, hah? Aku susah susah ngurus bapakmu kamu malah enak-enak keluyuran. Gantian dong!" maki sang Ibu lantaran lelah seharian berjaga.
Sembari memegangi pipi yang terasa berdenyut dan panas, Rachel mencoba untuk tak melawan. "Maaf, Bu!" hanya itu yang bisa ia jawab.
Helen yang marah langsung pergi ke kamarnya sembari membanting pintu. Meninggalkan Rachael yang masih berdiri dengan pipi yang terasa sakit. Ia lalu pergi ke kamar Ayahnya. Ia menarik kursi lalu mengelus rambut putih pria itu dengan dada nelangsa.
Ia meletakkan kepalanya di sebelah kepala sang ayah sembari berucap, "Maafkan aku Ayah. Aku belum bisa membawa Ayah berobat!"
Tanpa bisa berbicara, air mata Ayah Rachel tiba-tiba meluncur. Dalam hatinya merasa begitu sedih merasakan keadaan mereka saat ini. Ingin rasanya ia mati saja daripada menjadi beban sang anak yang teramat ia cintai.
Slnya si rainer lg mumet sm nenek sihir