Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Di london.
Seorang gadis kecil, kira-kira berumur tiga tahun tengah memandangi bingkai foto ditangan mungil nya.
Benar, dia adalah Renesme, anak Regan dan Yeslin.
"Mommy, is he really my daddy? Very Handsome," puji Renesme melihat foto Regan dengan tersenyum-senyum hingga salah satu gigi ompong nya terlihat.
Yeslin berbaring di samping Renesme tersenyum. Ia mengangguk seraya mengusap rambut Renesme yang berwarna pirang. Sama seperti miliknya.
"Benar, itu daddy mu, sayang. Esme ingin bertemu daddy?"
Sontak, Renesme mengangguk antusias.
"Mau, Mom. Kapan kita kembali ke indonesia?"
Senyum Yeslin semakin lebar. Detak jantungnya berdegup kencang kala mengingat wajah tampan Regan.
Tapi, Yeslin juga takut. Regan tidak mau menerima kehadiran keduanya. Karena dulu, Yeslin yang memutuskan meninggalkan pria itu. Padahal Yeslin jelas tahu, benih Regan sudah berkembang di rahimnya.
"Dua bulan lagi, sayang."
***
Regan memandangi wajah cantik Yessi yang tertidur lelap. Ya, keduanya melakukannya di kamar Regan. Regan bahkan tidak tahu, sudah ke berapa kali.
Pastinya, Regan ikut merasakan letih.
Ini pertama kalinya setelah sekian lama dan terakhir kali, Regan melakukan itu bersama Yeslin.
Mengingat wanita tersebut, membuat dada Regan bergemuruh hebat. Ia menyibak selimut pelan lalu mengenakan celana pendeknya yang teronggok di lantai dan menarik bungkus rokok beserta ponsel. Regan berjalan tegap menuju balkon.
Bintang masih bersinar terang karena jam baru menunjukan pukul satu pagi.
Regan menyulut rokoknya, hawa dingin menerpa dada bidangnya yang polos. Tangannya mengutak-atik ponsel untuk menghubungi seseorang.
"Selamat malam, Tuan."
"Bagaimana? Apa kau menemukan mangsa untuk ku?" Tanya Regan datar. Matanya berkilat sesaat.
"Sudah, Tuan. Ada di markas."
Tut!
Regan menutup panggilan sepihak. Bibirnya menyeringai lebar. Seperti, anak kecil yang mendapat sebuah mainan. Regan melempar puntung rokoknya lalu masuk kembali kedalam.
Yessi masih tertidur lelap. Memudahkan Regan berpakaian ritualnya, stelan serba hitam. Regan mencium kening dan bibir Yessi sesaat lalu memakai topeng andalannya.
"Tidur yang nyenyak. Aku pergi dulu."
Beberapa jam setelah Regan pergi, Yessi terbangun. Gadis itu merasa seluruh tubuhnya rontok dan sakit.
Saat akan ke kamar mandi, Yessi berteriak dan terduduk kembali ke atas ranjang. Matanya mengerjab bingung.
"Kenapa sakit ya? Apa gue mens? Eh, masa sih? Tapi seminggu lalu baru selesai deh," gumam Yessi lupa akan apa yang sudah terjadi padanya,
Tapi, hidungnya seketika tergelitik mencium aroma lemon yang menyegarkan dan ruangan bernuansa gelap saat ini ia berada.
"Aaa!" Yessi berteriak kencang.
Sontak, menatap ke arah bawah. Sial! Ia tidak mengenakan apapun. Tanda merah menyebar pekat hampir di seluruh dada hingga perutnya.
Tubuh Yessi bergetar hebat sembari mendekap selimut erat-erat.
"Ja-jadi ...gue benar ngelakuin sama Regan? Sama OB itu?" Yessi mengetuk keningnya sendiri berulang kali. " Bodoh, bodoh! Lo udah kasi harta berharga lo cuma-cuma, Yessi! Mampus gue!"
Bagaimana jika ia hamil atau orang tuanya tahu ini?
Tanpa sadar Yessi mengigit selimut saking takutnya. Karena tak bisa berpikir lagi, gadis itu menjambak rambutnya sendiri dengan kesal.
"Mamaaa! Yessi gak perawan lagi!" raungnya berkaca-kaca.
Regan membuka pintu, membeku mendengar teriakan Yessi. Pria itu lupa, ada mahluk yang menumpang di kamar tadi.
Beruntung, Regan sudah membuka topengnya tadi.
"Mas Regan?" panggil Yessi seraya menyipit. Cengkraman tangannya di rambut terlepas.
Lampu tidur, menyorot dengan jelas noda di tangan putih Regan hingga leher dan wajahnya. Seketika rasa malu Yessi teralihkan oleh rasa penasaran.
"Mas, habis ngapain berdarah-darah gitu?"
Regan tidak menjawab, tapi kakinya berjalan cepat menuju kamar mandi. Yessi menutup hidungnya dari bau tubuh Regan tercium amis menyengat membuat Yessi bertanya-tanya dalam hati.
Apa yang sudah pria itu lakukan?
"Yessi, tolong ambil handuk saya!"
Tiba-tiba setelah beberapa menit, Regan berteriak dari dalam kamar mandi. Sepertinya pria itu membuka pintunya sedikit dan sudah menyelesaikan ritual mandinya.
Detik itu juga, wajah Yessi bersemu merah.
"Nggak bisa, Mas. Kaki saya sakit," balas Yessi tak kalah berteriak.
Mendengar tak ada jawaban, Yessi bersandar di kepala ranjang menatap lekat pintu kamar mandi. Matanya melotot seketika, Regan berjalan keluar dengan santai tanpa memakai apapun.
"Mas! Kenapa keluar kayak gitu sih! Pede gila!" ujar Yessi sembari menutup matanya.
Regan melirik sekilas, tapi tetap melanjutkan langkah. Regan meraih handuknya ternyata berada di atas nakas. Tepat di samping Yessi duduk.
"Bukannya tadi sudah melihat? Kenapa sekarang malah takut?" balas Regan begitu enteng.
Jelas saja mendapat lemparan bantal dari Yessi. Regan menangkapnya dengan satu tangan.
"Mas!"
"Kenapa?"
Regan melipat tangan di dada. Matanya menatap lamat Yessi yang terlihat begitu seksi. Handuk sudah melingkar di pinggang Regan.
"Jangan lihat kesini!" tegur Yessi. Menarik selimut hingga batas leher.
Regan berdecak. Tak urung berbalik pergi. Sebelum itu, mengatakan sesuatu pada Yessi.
"Kalau masih perih. Jangan sekolah."
Yessi merasa telinga nya panas. Tapi, ia masih ada ulangan hari ini. Jika bisa di putar waktu kembali, Yessi tidak ingin mengenal Regan hingga tidak perlu terjadi hal seperti ini antar keduanya.
"Saya tetap harus sekolah. Sekarang mas, antar saya balik ke apartemen."
Sebenarnya Yessi takut, jika dirinya tidak sanggup untuk berjalan nanti. Tapi, tidak sekolah berarti tidak mendapatkan nilai.
Yessi tidak mau itu!
"Oke. Setelah sarapan," jawab Regan yang kini berada di walking closet.
Tak lama pria itu keluar dan tanpa berbicara apapun mengangkat tubuh Yessi menuju bak mandi membuat Yessi memekik karena selimut di tubuhnya hampir melorot.
"Buka, bagaimana kau akan mandi?"
Yessi menggeleng cepat. "Saya bisa sendiri. Mas, keluar sana."
"Ck! Lama," desis Regan merebut selimut Yessi lalu mencelupkan gadis itu dalam air berbuih. Yessi akan protes, tidak jadi karena merasa nyaman dan rileks.
Regan sendiri menyiapkan air hangat itu untuk Yessi.
Cup!
Regan mencium kening Yessi lalu menjauh dengan senyum menawan terpatri di bibirnya.
"Saya tunggu, dimeja makan."
Setelah Regan pergi, Yessi memukul air karena kesal. Wajahnya cemberut dengan airmata mengalir.
"Gimana sekarang? Siapa yang mau nikahin gue nanti kalo kayak gini kejadiannya," gerutu Yessi masih memikirkan nasibnya yang tragis.
Namun pandangan Yessi teralih pada jaket Regan yang teronggok di lantai samping shower.
Karena penasaran, Yessi bangkit untuk mendekatinya. Mengendus bau disana.
Seketika, ia melempar jaket itu dengan jijik.
"Bau amis banget. Fiks ... Itu darah! Tapi, dia habis ngapain sih? Nggak mungkin kan bunuh orang?" terka Yessi bergidik.
Entah kenapa, Yessi kini kepo dengan sosok Regan.
"Mungkin, gue bisa cari tahu nanti. Terlalu mencurigakan ini."
Yessi menuruni tangga, ia mengenakan kemeja Regan. Dress-nya semalam tidak ketemu. Entah terlempar kemana.
Bau harum tercium semerbak berasal dari dapur. Yessi mengintip dari pintu dapur. Regan dengan apron hitam terlihat lincah mengiris tomat dan sesekali mengaduk sesuatu dalam wajan dengan spatula.
"Duduk," titah Regan tanpa melihat Yessi. seakan sudah tahu Yessi berada disana.
"I-iya," cengir Yessi.
Tepat Yessi menarik kursi, nasi goreng dengan telur mata sapi terhidang di hadapannya. Regan mengantung apron lalu duduk di depan Yessi sambil mengunyah apel dingin yang ia ambil dari kulkas.
"Mas, nggak makan?"
Regan menggeleng. "Saya nggak biasa makan berat pagi hari."
"Oh." Yessi mengangguk.
Tak urung, menyuapkan nasgor tersebut ke mulutnya. Regan tersenyum tipis, Yessi terpejam menikmati rasanya.
"Enak?" tanya Regan dengan alis terangkat.
Yessi sudah membuka mata, angguk-angguk antusias. "Enak banget, mas. Jarang loh cowok bisa masak. Mas, cocok kayaknya jadi koki. Kenapa malah jadi OB?"
"Karna saya suka."
"Aneh," cibir Yessi tak habis pikir.
Ia menyendok nasi goreng lagi. Tapi, pergerakan Yessi terhenti karena tangan kekar Regan terarah ke wajahnya.
"Ada nasi."
Regan menunjukan sebutir kecil nasi ditangannya yang, ia ambil disudut bibir Yessi.
"Kau seperti orang yang tidak pernah makan setahun."
Yessi sontak mendengus. "Mas harus tahu, ada banteng gila semalam," sindirnya.
Regan menaikan bahu acuh. Berdiri dari duduknya. Ia tahu kok, Yessi menyindirnya.
"Saya antar ke sekolah. Cepat selesaikan makanmu."
"No! Saya pergi dengan Mentari saja, mas."
"Lalu dia melihatmu jalan terpincang-pincang, begitu?"
Yessi melemaskan bahunya. Ya, tadi saja ia berjalan terkangkang-kangkang.
Jika bersama Mentari, yakin saja sahabatnya itu akan jadi wartawan dadakan.
Setelah berganti dengan seragam, Yessi keluar dari apartemennya seraya berjalan mengendap-endap. Regan sudah Yessi suruh duluan ke basement.
Yessi takut, dirinya tertangkap basah oleh Mentari. Pesan dari Mentari sudah menumpuk sejak semalam di ponselnya.
"Ini mobil siapa, mas?" tanya Yessi tiba di basement lalu mendekati Regan yang bersandar di pintu mobil Lamborghini hitam.
"Mobil, bos. Kebetulan mau di cek bulanan," sahut Regan begitu tenang lantas membuka pintu mobil untuk Yessi.
Yessi membulatkan mulutnya. Tidak lagi bertanya. Keduanya berkendara dengan musik jaz- dari matamu yang mengalun pelan.
Yessi sesekali melirik Regan, ketampanan pria disampingnya ini, begitu terpancar karena kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.
"Mas?"
Regan menatap Yessi sebentar. "Kalo mas gayanya kayak gitu. Vibes nya mirip ceo-ceo di novel tahu. Jangan-jangan mas nyamar ya?" goda Yessi. Jari telunjuk mungil nya teracung pada Regan yang kini menatap kedepan.
'Identitas saya lebih mengerikan lagi, Yessi,' ucap Regan dalam hati.
"Kalau iya, apa yang akan kau lakukan?"
Regan tidak menyangka, Yessi malah bertepuk tangan heboh.
"Wah, keren dong, mas! Apalagi kalau mas ternyata seorang mafia." Mata Yessi berbinar cerah alih-alih merasa takut.
"Apa?" ujar Regan tidak mengerti.
"Saya bakal minta ajarin pake senjata sama, Mas."
Jawaban Yessi membuat Regan terkekeh kecil.
"Pikiranmu terlalu pendek. Dunia bawah sangat mengerikan, Yessi. Perdagangan manusia, pembunuhan berencana dan penjualan obat-obatan terlarang serta senjata api ilegal. Kau pikir manusia macam apa yang menjalankan bisnis seperti itu?"
"Psikopat," cetus Yessi menjentikkan jarinya.
Regan menyeringai. "Good girl. Kau tidak takut?"
Yessi tersenyum pongah. "Untuk apa harus takut? Karena di sekeliling kita, tidak ada orang yang seperti itu."
'Kau salah, orangnya di samping mu.'
Tiba-tiba Regan membelokan mobilnya ke arah apotik. Pria itu keluar tanpa mengatakan apapun pada Yessi.
Lima menit kemudian, Regan datang dengan plastik putih di tangannya dan satu botol air mineral.
Dalam apotik, Arga yang berdiri tidak jauh dari Regan tadi, mendengar jelas apa yang Regan minta pada penunggu kasir. Keberadaan Arga disana karena membeli vitaminnya yang sudah habis.
"Dia membeli pil pencegahan kehamilan? Diam-diam nakal juga," gumam Arga keluar dari apotik menuju mobilnya yang terparkir.
Mobil yang Regan pinjam semalam, sudah pria itu kembalikan pagi-pagi. Tentu saja, tanpa banyak kata dan raut wajah datar.
"Minum itu," suara Regan terdengar telinga Arga membuat abang Mentari tersebut menegok kearahnya. Kaca yang terbuka, dengan jelas memperlihatkan sosok Yessi yang meneguk air setelah meletakan sesuatu di lidahnya.
"Yessi?"