Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20 : di ujung pelarian
Malam semakin larut, dan suasana di perkampungan itu mulai sunyi. Hanya suara jangkrik dan langkah-langkah kaki kecil dari tikus hutan yang terdengar. Pak Arif dan Raka menyelinap keluar dari gudang dengan hati-hati, masing-masing menggendong Tiara dan Putri yang kelelahan. Keringat mengalir di dahi Raka, meskipun udara malam itu dingin. Tiara, yang berada dalam gendongan adiknya, berusaha tetap sadar, meskipun tubuhnya terasa berat.
"Raka..." Tiara berbisik lemah, suaranya nyaris tenggelam dalam angin malam yang lembut. "Maafin kakak... Kakak merepotkan kamu..."
Raka menggenggam tangan kakaknya yang dingin dengan kuat. Ada kesedihan yang tersimpan di balik tatapannya yang tajam. "Gak usah bicara gitu ah, Kak. Pokonya kita mesti segera keluar dari sini. Raka bakal bawa kakak ke tempat yang aman."
Pak Arif yang berjalan di depan mereka, dengan Putri dalam gendongannya, terus waspada. Mata elangnya meneliti setiap sudut di sekitar mereka, memastikan bahwa tak ada penjaga yang menyadari pelarian mereka. Hutan yang mereka masuki semakin gelap, pepohonan rimbun menutupi sinar bulan. Jalan setapak yang mereka lalui mulai terasa lebih berbahaya, dengan akar-akar pohon yang terjalin di tanah, membuat langkah mereka semakin sulit.
Tiba-tiba, Tiara tersentak. "Diana?" tanyanya dengan suara parau. Dia sadar bahwa Diana masih berada di perkampungan, mengalihkan perhatian para penjaga. "Dia… masih di sana."
Raka berhenti sejenak, memandangi wajah kakaknya dengan cemas. "Diana tahu apa yang harus dia lakuin. Kita harus percaya padanya." Namun, hatinya juga tidak tenang. Diana telah berkorban besar untuk memastikan mereka bisa keluar hidup-hidup.
Sementara itu, di tempat Diana berada, para penjaga mulai merasakan efek dari minuman yang telah dicampuri obat tidur. Satu persatu dari mereka mulai menguap lebar, merasa kantuk yang tak tertahankan menyerang. Beberapa bahkan sudah terhuyung-huyung, dan satu dari mereka jatuh tersungkur ke tanah. Diana memperhatikan mereka dengan cermat, wajahnya tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. Ia sudah berhasil membuat sebagian besar penjaga tak berdaya, namun masih ada satu pria yang belum meminum minumannya. Dia adalah salah satu dari pemimpin penjaga, tubuhnya kekar dan sorot matanya tajam, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak beres.
"Lihat, teman-temanmu sudah santai. Apa kamu gak mau ikut gabung?" Diana mencoba tersenyum menggoda, berharap pria itu tertarik.
Namun, pria itu hanya menatap Diana dengan dingin, matanya menyipit curiga. "Kamu siapa sebenarnya? Mengapa aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya?" tanyanya dengan nada tajam. Tiba-tiba suasana menjadi lebih tegang, dan Diana menyadari bahwa situasinya mulai berbahaya.
"Aku... baru saja dipekerjakan. Pak Mike mengirimku untuk menghibur kalian." Diana berusaha tetap tenang, tapi perasaan gugup mulai merayap di hatinya. Pria itu masih tidak terpengaruh.
Sambil melangkah mendekat, pria itu mengamati wajah Diana dengan lebih seksama. "Apa kamu pikir aku bodoh? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Tangan Diana gemetar di balik punggungnya, namun ia tahu ia tak bisa memperlihatkan rasa takut. "Kalau kamu gak percaya sama aku, kamu bisa kok tanya langsung sama Pak Mike," katanya dengan nada merayu, mencoba bermain dengan ketidakpastian pria itu.
Namun, saat pria itu mendekat, tiba-tiba langkah kaki terdengar dari belakang. Seorang penjaga lain yang seharusnya sedang tidur datang tergesa-gesa. "Bos, kita ada masalah! Tahanan di gudang hilang!"
Pria kekar itu berbalik dengan cepat, wajahnya merah padam. "Apa?!" teriaknya. Tanpa pikir panjang, ia meninggalkan Diana dan berlari menuju gudang untuk mengecek. Ini adalah kesempatan emas.
Diana, yang masih berusaha menjaga ketenangannya, segera berbalik dan berlari ke arah yang berlawanan, mengikuti rute pelarian yang telah mereka sepakati. Jantungnya berdegup kencang, dan kakinya terasa lemah, tetapi ia tahu bahwa ini adalah momen kritis.
Raka, Pak Arif, Tiara, dan Putri hampir mencapai tepi hutan, tempat sungai yang mereka jadikan titik pertemuan. Namun, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah kampung. Mereka tahu waktu mereka semakin sedikit. Penjaga telah sadar bahwa tahanan mereka hilang.
"Kita harus mempercepat langkah!" seru Pak Arif dengan suara rendah namun tegas. Mereka berlari lebih cepat, meskipun tubuh Tiara dan Putri sudah sangat lemah. Raka yang menggendong Tiara mulai merasa lelah, tetapi ia tidak bisa berhenti. Keringat bercucuran di dahinya, sementara rasa takut akan bahaya semakin mengintai.
Di belakang mereka, suara langkah kaki mulai terdengar. Para penjaga mulai mengejar mereka, meski jarak masih cukup jauh. Namun, suara anjing pelacak yang menggonggong keras membuat suasana semakin mencekam. Raka memandang ke arah sungai yang tampak tak jauh di depan mereka. Itu adalah satu-satunya jalan keluar.
"Pak Arif, kita hampir sampai!" serunya dengan penuh harap. Namun sebelum mereka bisa mencapai tepi sungai, terdengar suara tembakan.
DOR!
Peluru menembus udara malam, dan Raka merasakan jantungnya seolah berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang, melihat beberapa penjaga mulai menembak ke arah mereka.
"Sembunyi di balik pohon!" teriak Pak Arif, segera menarik mereka semua ke dalam semak belukar tebal. Suasana menjadi tegang, setiap napas terdengar jelas dalam kegelapan malam.
"Sial! Mereka terlalu dekat!" Raka bergumam sambil memeluk Tiara erat-erat, melindunginya dari bahaya. Pak Arif menatap lurus ke depan, mencoba mencari jalan keluar yang aman.
Namun, dalam kegelapan, suara langkah kaki mendekat semakin cepat. Para penjaga hampir sampai, dan Raka tahu bahwa hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan mereka sekarang.
Ketika penjaga hampir mencapai tempat persembunyian mereka, Diana tiba di sungai, napasnya terengah-engah. Dengan cepat, dia melompat ke air, berenang melawan arus yang deras. Meskipun tubuhnya terasa lemah, adrenalin mendorongnya terus bergerak. Akhirnya, dia mencapai tempat persembunyian Raka dan Pak Arif.
"Kita harus pergi sekarang!" seru Diana. "Mereka sudah sangat dekat!"
Tanpa membuang waktu, Raka dan Pak Arif membantu Tiara dan Putri naik ke atas perahu kecil yang sudah disiapkan di tepi sungai. Suasana menjadi sangat tegang saat mereka semua berusaha mengayuh perahu itu menjauh dari bibir sungai. Tepat ketika para penjaga tiba di tepi hutan, perahu mereka sudah berada di tengah sungai, jauh dari jangkauan.