Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jus di Meja
“Kalau udah enam tahun sejak terakhir kali lo cium cewek, terus kenapa lo cium gue? Gue kira lo bahkan enggak suka sama gue. Lo susah banget dibaca.”
Dia enggak tanya kenapa gue mengira dia enggak suka sama gue.
“Bukan berarti gue enggak suka sama lo, Tia.” Dia resah dan menyentuh rambutnya, genggam bagian belakang lehernya. “Gue cuma enggak mau suka sama lo. Gue enggak mau suka sama siapa pun. Gue enggak mau pacaran. Gue enggak mau cinta. Gue cuma...” Dia lipat tangannya lagi di dada dan melihat ke lantai.
“Lo cuma apa?” tanya gue, memaksanya buat melanjutkan kalimat itu.
Matanya perlahan naik ke mata gue, dan menguras banyak tenaga gue buat tetap duduk di meja ini. Bertahan diri dari cara dia menatap gue sekarang, kayaknya gue adalah makan malamnya.
“Gue tertarik sama lo, Tia,” katanya dengan suara rendah.
“Gue mau lo, tapi gue cuma mau diri lo tanpa semua hal yang lainnya.”
Gue enggak punya pikiran lagi. Otak gue cair. Hati gue luber kayak mentega. Gue tunggu sampai gue bisa berpikir lagi. Dan kemudian gue berpikir banyak.
Dia baru saja mengaku kalau dia hanya mau berhubungan seks dengan gue; dia cuma enggak mau ini berlanjut ke hubungan yang lebih serius.
Gue enggak tahu kenapa ini bikin gue merasa terhormat. Seharusnya gue ingin tendang dia, tapi masalahnya dia malah cium gue setelah enam tahun enggak pernah cium siapa pun. Pengakuan itu bikin gue merasa kayak gue baru menang lotre.
Kita lagi saling tatap, dan dia kelihatan gugup. Gue yakin dia pikir kalau dia baru saja bikin gue marah. Gue enggak mau dia berpikir kayak begitu, karena, jujur saja, gue ingin teriak 'Gue menang!' sekeras-kerasnya.
Gue enggak tahu mau ngomong apa. Kita punya obrolan yang paling aneh dan canggung sejak gue ketemu dia, dan yang ini jelas yang paling aneh.
“Obrolan kita aneh banget,” kata gue.
Dia ketawa dengan rasa lega. “Iya.”
Kata iya terasa jauh lebih indah dari mulutnya, dipenuhi dengan suara itu. Dia mungkin bisa bikin kata apa pun jadi indah.
Gue coba ingat-ingat tentang kata yang paling gue benci. Gue benci banget sama kata 'Ok'. Itu kata yang jelek. Terlalu pendek dan terputus. Gue penasaran kalau suara dia bisa, enggak, bikin gue suka sama kata itu.
"Ucapin kata 'Ok'."
Alisnya terangkat, dia bingung dengar gue. Dia pikir gue aneh.
Gue enggak peduli.
"Ucapin aja," paksa gue.
"Ok," katanya, dengan sedikit ragu.
Gue senyum. Gue suka banget kata 'Ok'.
Itu jadi kata favorit baru gue.
"Aneh," katanya, sambil tersenyum.
Gue buka kaki gue yang tadinya menyilang. Dia memperhatikannya.
"Jadi, Tama," tegas gue. "Coba, biar gue pastiin lagi. Kalau lo emang udah enam tahun enggak berhubungan seks. Enam tahun juga enggak punya pacar. Delapan jam terakhir ini lo enggak cium cewek. Pastinya lo enggak suka hubungan dengan cinta. Tapi lo laki-laki dan laki-laki punya kebutuhan." Dia tatap gue, masih sambil tersenyum.
"Lanjut," balasnya dengan senyum yang enggak sengaja seksi itu.
"Lo enggak mau naksir sama gue, lo cuma tertarik buat berhubungan seks sama gue, dan lo enggak mau pacaran sama gue. Lo juga enggak mau jatuh cinta sama gue. Lo juga enggak mau gue jatuh cinta sama lo."
Gue masih bikin dia senyum. Dia masih senyum. "Gue enggak nyangka gue sebegitu mokondo-nya."
Lo enggak begitu, Tama. Percaya sama gue.
"Kalau kita sama-sama mau ngelakuin ini, menurut gue kita harus jalaninnya pelan-pelan," kata gue sambil bercanda. "Tapi gue enggak yakin, lo udah siap.”
Dia kehilangan senyumnya dan melangkah dengan sengaja pelan ke arah gue. Gue berhenti senyum, karena dia bikin gue ngeri.
Saat dia sampai di depan gue, dia letakkan tangan di sisi gue, terus mendekat ke leher gue. "Udah enam tahun, Tia. Percaya, deh, kalau gue bilang... Gue siap."
Semua kata itu jadi favorit baru gue juga.
Dia mundur dan mungkin tahu gue lagi enggak bernapas.
Dia mundur ke tempatnya yang tadi.
Dia geleng-geleng kepala kayak enggak percaya sama apa yang baru saja terjadi. "Gue enggak percaya gue baru minta jatah ke lo. Cowok macam apa yang ngelakuin itu?"
Gue menelan ludah. "Hampir semua cowok." Dia ketawa, tapi gue bisa lihat dia merasa bersalah. Mungkin dia takut gue enggak bisa tangani ini.
Dia mungkin benar, tapi gue enggak mau dia tahu itu. Kalau dia pikir gue enggak bisa menangani, dia bakal mundur dari semua yang dia bilang. Kalau dia mundur, berarti gue enggak bakal merasakan ciuman lagi kayak yang dia kasih tadi.
Gue bakal setuju apa pun supaya bisa dicium sama dia lagi. Apalagi kalau gue bisa merasakan lebih dari sekedar ciuman dia.
Memikirkan hal itu bikin tenggorokan gue kering. Gue ambil gelas gue dan ambil seteguk jus sambil diam-diam membayangkan hal ini.
Dia mau melakukan hubungan itu sama gue. Gue juga kangen berhubungan seperti itu. Sudah lumayan lama.
Gue pasti tertarik sama dia karena enggak ada orang lain dalam hidup gue yang gue mau di ajak seperti itu selain pilot yang suka mencuci baju itu.
Gue taruh gelas jus, terus tekan telapak tangan gue ke meja dan sedikit membungkuk.
"Dengar, Tama. Lo masih single. Gue juga single. Lo kerja terus selama ini, dan gue terlalu fokus sama karier gue. Bahkan kalau kita mau hubungan serius dari ini, itu enggak akan berhasil. Hidup kita enggak bakal cocok. Kita juga bukan teman dekat, jadi kita enggak perlu khawatir hubungan kita rusak. Lo mau hubungan itu, kan, sama gue? Gue bakal kasih, banyak."
Dia tatap mulut gue kayak semua kata-kata gue jadi favorit baru dia.
"Banyak?" tanyanya.
Gue angguk. "Iya. Banyak."
Dia tatap mata gue dengan tatapan menantang. "Oke," katanya.
"Oke." Kita masih beberapa meter jauhnya. Gue baru saja bilang ke cowok ini kalau gue bakal mau berhubungan badan tanpa imbalan apa-apa, dan dia masih jauh di sana, sementara gue di sini, dan makin jelas kalau gue salah menilai dia.
Dia lebih gugup daripada gue. Meski gue rasa gugup kita datang dari tempat yang berbeda. Dia gugup karena enggak mau ini jadi lebih serius. Sedangkan gue gugup karena gue enggak yakin kalau bisa berhubungan badan dengannya.
Dari betapa tertariknya gue sama dia, gue punya feeling kalau ini enggak akan menjadi masalah besar nantinya. Dan gue duduk di sini dengan posisi ter-seksi gue, berpura-pura baik-baik saja. Mungkin kalau dimulai dari sini, nantinya bakal jadi sesuatu yang lebih seru.
“Yah, kita enggak bisa lakukan itu sekarang,” katanya.
Sialan.
“Kenapa enggak?”
“Satu-satunya kondom yang gue punya di dompet udah pasti hancur sekarang. Udah enam tahun,”
Gue ketawa.
Gue suka banget humor dia yang merendah itu. “Gue mau ciuman lagi,” katanya dengan senyum penuh harapan.
Gue sebenarnya terkejut dia belum cium gue. “Iya.”
Dia perlahan-lahan balik ke tempat gue duduk, sampai lutut gue ada di sisi pinggangnya. Gue perhatikan matanya, karena dia menatap gue menunggu kalau seandainya gue akan berubah pikiran.
Gue enggak bakal berubah pikiran. Mungkin gue ingin seperti ini lebih dari dia.
Dia angkat tangannya dan menyentuh rambut gue, menyapu pipi gue dengan ibu jarinya. Dia tarik napas berat sambil lihat bibir gue. “Lo bikin gue susah bernapas, Tia.”
Dia menyelesaikan kalimatnya dengan ciumannya, membawa bibirnya ke bibir gue. Setiap bagian dari diri gue yang belum meleleh di hadapannya sekarang jadi cair seperti bagian dari diri gue yang lain.
Gue coba ingat kapan terakhir kali mulut seorang pria terasa seindah ini. Lidahnya menyapu bibir gue, terus masuk, mencicipi gue, mengisi kekosongan gue, memiliki gue.
Oh, Tuhan.
Gue...
Suka...
Bibir...
Dia...
Gue memiringkan kepala agar bisa mencicipi lebih banyak. Dia memiringkan kepalanya untuk mencicipi lebih banyak dari bibir gue.
Lidahnya punya ingatan yang bagus, karena dia tahu persis caranya. Dia turunkan tangan yang cedera dan letakkan di paha gue, sementara tangan satunya menggenggam belakang kepala gue, menempelkan bibir kita.
Tangan gue enggak lagi menahan bajunya. Mereka menjelajahi lengan, leher, punggung, dan rambutnya.
Gue mengerang pelan, dan suara itu bikin dia menempel lebih dalam ke gue, menarik gue beberapa inci lebih dekat ke tepi meja.
“Iya, kamu jelas bukan gay,” kata seseorang dari belakang kita.
Ya,ampun.
Bokap gue.
Sial.
Tama menjauh.
Gue melompat dari meja.
Bokap gue melewati kita.
Dia buka kulkas dan ambil botol air, seolah-olah dia baru saja melihat anak perempuannya ‘digituin’ sama tamunya tiap malam.
Dia menengok ke kita, terus minum dengan pelan-pelan. Habis itu, dia menutup botol airnya dan memasukkannya lagi ke kulkas. Dia tutup kulkas dan jalan ke arah kita, menambahkan jarak di antara gue dan tama.
"Tidur, Tia," katanya sambil keluar dari dapur.
Gue tutup mulut dengan tangan. Tama tutup mukanya dengan tangannya. Kita berdua benar-benar malu. Dia lebih malu daripada gue, gue yakin.
“Kita harus tidur,” kata Tama.
Gue setuju.
Kita keluar dari dapur tanpa saling sentuh. Kita sampai di pintu kamar tidur gue lebih dulu, jadi gue berhenti, putar badan, dan menghadap dia. Dia juga berhenti.
Dia lihat kiri, terus kanan, buat memastikan kita lagi sendirian. Dia maju satu langkah dan mencuri ciuman lagi. Punggung gue menempel di pintu kamar, tapi dia masih bisa menarik bibirnya.
“Lo yakin ini enggak apa-apa?” tanya dia, mencari keraguan di mata gue.
Gue enggak tahu. Rasanya enak, dia juga enak, dan gue enggak bisa memikirkan hal lain selain ingin terus bareng dia. Tapi, alasan di balik enam tahun dia yang gue khawatirkan.
“Lo kebanyakan mikir,” balas gue sambil mencoba senyum.
“Kalau kita bikin aturan, setuju gak?” Dia tatap gue diam-diam sebelum mundur satu langkah.
“Boleh,” jawab gue.
“Gue cuma bisa bikin dua aturan sekarang.”
“Apa aja?”
Mata dia fokus ke mata gue beberapa detik.
“Jangan tanya soal masa lalu gue,” katanya tegas. “Dan jangan harapin masa depan dari gue.”
Gue enggak suka sama aturan-aturan itu. Keduanya bikin gue ingin batalkan semuanya dan kabur, tapi gue malah mengangguk. Gue mengangguk karena gue akan ambil apa saja yang bisa gue dapat.
Gue bukan Sintia saat bersama Tama. Gue kayak cairan, dan benda cair enggak tahu bagaimana caranya menjadi keras atau berdiri tegak. Air akan terus mengalir.
Itu yang gue lakukan sama dia.
“Gue cuma punya satu aturan,” kata gue pelan. Dia menunggu aturan gue.
Gue enggak bisa bikin aturan.
Gue enggak punya aturan.
Kenapa gue enggak punya aturan?
Dia masih menunggu. “Gue belum tahu apa aturannya. Tapi, pas gue ingat, lo harus ngikutin.”
Tama ketawa. Dia maju dan cium dahi gue, terus jalan ke kamarnya. Dia buka pintu tapi melirik gue sebentar sebelum menghilang ke dalam kamar.
Gue enggak yakin, tapi gue rasa ekspresi yang baru saja gue lihat di wajahnya itu adalah bentuk ketakutan. Gue cuma ingin tahu apa yang dia takuti, karena gue tahu persis apa yang gue takuti sekarang.
Gue takut bagaimana ini akan berakhir.