Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 32
Setelah berdebat panjang lebar, Arka akhirnya memutuskan untuk mendekati kelompok bersenjata itu dengan hati-hati. Dia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, semangatnya bergelora saat langkahnya membawa mereka lebih dekat ke sekelompok orang yang tampak lebih terorganisir. Pakaian mereka lebih baik—seragam lapangan yang bersih dan rapi—menunjukkan bahwa mereka memiliki akses ke sumber daya.
“Jika kita salah langkah, kita bisa mati di sini,” pikir Gathan, mencuri pandang ke arah Arka yang memimpin. Dengan pelipis berkerut, dia berusaha menenangkan dirinya. Nafisah, di sampingnya, menggenggam senjata dengan tangan yang sedikit bergetar, merasakan ketegangan di udara. "Apakah mereka akan menerima kita?"
Tatapan curiga dari anggota kelompok baru menyambut mereka, senjata terangkat tegak di tangan, siap menghadapi ancaman. Mereka tampak siap, mungkin lebih dari yang bisa diharapkan Arka.
“Beraninya kita datang ke sini,” pikir Arka, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kami hanya mencari tempat aman untuk bertahan hidup,” katanya dengan nada tenang, berusaha menunjukkan bahwa mereka tidak membawa masalah. Suaranya tegas, tetapi hatinya bergetar.
Lara, pemimpin kelompok baru yang memiliki tatapan tajam dan sikap berwibawa, mengamati mereka dengan seksama. Rambut hitamnya tergerai di angin, menambah kesan berani dan berpengalaman. “Kami tidak bisa mempercayai siapa pun di dunia ini,” jawabnya, suaranya datar namun penuh ketegangan. “Bagaimana kami tahu kalian tidak akan menjadi ancaman bagi kami?”
Arka merasakan ketegangan meningkat, aliran dingin mengalir di punggungnya. Dia melihat ke sekeliling, matanya menangkap pandangan skeptis dari anggota kelompok baru, yang saling berpandangan satu sama lain. "Mereka sedang menilai kita, bagaimana jika ini berakhir buruk?"
Jasmine, yang berdiri di belakang, merasakan ketidaknyamanan di dalamnya. “Jika kita bisa meyakinkan mereka, mungkin kita bisa bertahan lebih lama,” pikirnya. Dia mencoba menciptakan senyuman di wajahnya, tetapi ketakutan menyelimutinya.
Setelah beberapa saat bernegosiasi yang penuh ketegangan, Lara mengajukan syarat yang mengejutkan. “Kami membutuhkan kalian untuk membantu kami mengambil kembali daerah yang dikuasai zombie di selatan,” ucapnya, matanya bersinar dengan tantangan. “Jika kalian berhasil, kami akan memberikan tempat untuk tinggal dan makanan yang kalian butuhkan.”
Kata-kata itu menggantung di udara, menimbulkan getaran berbahaya di antara mereka. Arka merasa napasnya tercekat. "Menghadapi zombie?" pikirnya. Apakah kita cukup kuat untuk itu?
Gathan menegakkan punggungnya, berusaha menampakkan keberanian meski hatinya berdebar. “Dan jika kita gagal?” tanyanya, nada suaranya tegas, berusaha mempertahankan kontrol di tengah ketidakpastian.
“Jika kalian gagal, kami tidak bisa menjamin keselamatan kalian di sini,” jawab Lara, menatap langsung ke mata Arka. Tantangan itu jelas—mereka berada di ambang keputusan yang bisa mengubah nasib mereka selamanya.
Dalam momen hening itu, semua anggota kelompok saling menatap, masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Apakah mereka berani mengambil risiko ini? Di tengah kebisingan dunia luar yang penuh ketakutan, mereka harus memilih—terus melangkah maju ke dalam kegelapan atau mundur ke ketidakpastian yang lebih mengerikan.
Mereka berdiri di sebuah lahan kosong yang luas, di antara reruntuhan bangunan yang telah hancur berantakan, jalanan dipenuhi sisa-sisa pertarungan dengan zombie. Udara terasa pengap, bau busuk darah menguar dari tubuh-tubuh yang tidak lagi bergerak. Langit kelam, menyisakan sedikit cahaya yang memantulkan bayangan samar pada wajah-wajah mereka yang tegang.
Lara memandang Arka dengan tatapan tajam dan dingin. Dia menyilangkan tangan di depan dada, mengangkat dagu seolah menantang. “Jika kalian benar-benar ingin bergabung dengan kami,” katanya dengan nada tegas yang menusuk, “kalian harus menyerahkan sebagian suplai yang kalian miliki.”
Mendengar itu, Arka merasakan darahnya mendidih. Ia merapatkan bibirnya, mencoba menahan amarah yang bergejolak. Di belakangnya, Nafisah memeluk ransel erat-erat, tangannya berkeringat. “Suplai itu… kita peroleh dengan susah payah. Apa dia pikir kita begitu mudah menyerahkannya?” batinnya berteriak.
"Maaf, tapi suplai kami bukan untuk diberikan begitu saja," ucap Arka, suaranya dingin namun terkendali. “Kami sudah bertaruh nyawa untuk mendapatkan semua itu.”
Lara mengangkat alisnya, seolah tidak terkesan. "Di dunia seperti ini, segalanya harus dibayar dengan harga tinggi. Jika kalian tidak mampu membayar, kami tak punya tempat untuk kalian."
Nizam, yang biasanya kalem, melangkah maju. Mata hitamnya memandang tajam ke arah Arka. "Mungkin ini kesempatan kita untuk akhirnya memiliki tempat yang aman," katanya dengan nada meyakinkan, berharap bisa membuka pikiran Arka. "Apakah memang tak layak kita korbankan sedikit demi keselamatan bersama?" pikirnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Namun, Gathan langsung menyela, suaranya penuh ketidakpuasan. “Kita sudah cukup berjuang hanya untuk sampai ke sini!” Katanya dengan geram, pandangannya tak beranjak dari wajah Lara yang tetap datar. "Mengapa kita harus menyerahkan apa yang sudah kita peroleh dengan susah payah? Ini tidak adil!"
Jasmine, yang berada di tengah, mengalihkan pandangan antara Arka, Nizam, dan Gathan. "Apa benar menyerahkan suplai adalah jalan terbaik?" gumamnya dalam hati, merasakan dilema yang mencengkeram hatinya.
Arka menoleh ke arah kelompoknya, melihat wajah-wajah yang tampak bimbang dan bingung. Ia tahu, keputusannya akan berdampak besar. "Aku tak akan menyerahkan suplai kita begitu saja," ucapnya akhirnya, suaranya terdengar mantap. "Jika mereka ingin kita menyerah, mereka harus menunjukkan bahwa mereka layak dipercaya."
Tiba-tiba suasana menjadi tegang. Nizam mengepalkan tangannya, kecewa dengan keputusan itu. Di satu sisi, Gathan tampak lega, tetapi dia tahu bahwa ketegangan ini belum selesai.
Ketegangan belum juga mereda ketika sebuah suara asing mulai terdengar dari kejauhan—geraman yang dalam dan mengerikan. Suara itu semakin mendekat, gemanya menghantam dinding-dinding kosong di sekitar mereka. Jasmine langsung merapat ke arah Arka, matanya penuh ketakutan. “Kalian dengar itu?” bisiknya.
Lara menoleh tajam, dan para anggota kelompoknya segera siaga, memegang senjata mereka dengan lebih erat. Dari arah kanan, sosok-sosok zombie mulai muncul, jumlahnya bertambah dari segala penjuru, merangkak mendekat dengan mata yang menyala dalam kegelapan.
“Tidak ada waktu untuk berdebat!” seru Arka, panik namun tetap berusaha memegang kendali. “Kita harus bekerja sama, atau semuanya akan berakhir di sini!”
Lara menatapnya sejenak, lalu mengangguk dengan enggan. "Baik, kita tunda dulu urusan ini. Tapi, satu hal saja, kalau kalian macam-macam, kami tidak akan ragu untuk meninggalkan kalian di sini." Lara melangkah maju, memberi instruksi pada anggotanya dengan gerakan tegas. “Bersiap di belakang gedung! Kita harus menyaring mereka satu per satu.”
Di tengah kebingungan, Nafisah menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Apakah ini benar?" Apakah kita bisa mempercayai mereka? batinnya. Namun, ia tahu, mereka tak punya pilihan lain.
Dengan senjata terangkat, Arka dan kelompoknya bergerak cepat, mengikuti perintah. Suara langkah kaki mereka membaur dengan derak zombie yang semakin mendekat, memberikan tekanan pada setiap napas mereka. Tak ada waktu untuk ragu. Di tengah malam yang mencekam ini, di bawah langit tanpa bintang, mereka harus bertarung bersama atau kehilangan segalanya.