✰Rekomendasi Cerita "Introspeksi"✰
Nero, seorang pewaris perusahaan ternama, menikahi Aruna, gadis desa sederhana yang bekerja di perusahaannya. Cinta mereka diuji oleh keluarga Nero, terutama ibu tirinya, Regina, serta adik-adik tirinya, Amara dan Aron, yang memperlakukan Aruna seperti pembantu karena status sosialnya.
Meskipun Nero selalu membela Aruna dan menegaskan bahwa Aruna adalah istrinya, bukan pembantu, keluarganya tetap memandang rendah Aruna, terutama saat Nero tidak ada di rumah. Aruna yang penuh kesabaran dan Nero yang bertekad melindungi istrinya, bersama-sama berjuang menghadapi tekanan keluarga, membuktikan bahwa cinta mereka mampu bertahan di tengah rintangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
She's My Wifeꨄ
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Selanjutnya
Sore menjelang malam, Nero menginjakkan kaki di rumah besarnya. Ada rasa puas di hatinya, tapi bukan karena pekerjaannya, melainkan karena ingatan tentang pertemuannya dengan Aruna. Senyum yang tak biasa menghiasi wajahnya, meski ia tak menyadarinya. Saat dia melepas jas di ruang tamu, Aron, adik tirinya yang masih berusia 17 tahun, datang menghampiri dengan membawa buku pelajaran di tangannya.
"Kayaknya Kakak senang banget hari ini, pasti Kakak udah menang tender, kan?" Aron berkomentar dengan nada sok tahu, sambil menaiki anak tangga dengan santai.
Nero hanya melirik adiknya sekilas, sebelum tersenyum tipis. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Amara, adik tirinya yang lain, muncul dari ruang makan. Ia mendengar percakapan mereka dan langsung menepis dugaan Aron.
"Bukan tender yang bikin Kakak senyum-senyum sendiri, Aron. Kak Nero pasti jatuh cinta," kata Amara sambil menyilangkan tangannya di dada, wajahnya penuh kepastian. "Pasti perempuan yang dia kenalin ke kita, si Luna itu, yang bikin dia terpesona."
Aron berhenti di tengah tangga, berbalik dan menatap Amara dengan penuh minat. "Serius? Kak Nero jatuh cinta?"
Nero menahan tawa. Amara memang selalu lebih peka terhadap hal-hal emosional, tapi kali ini dugaan adiknya itu sama sekali tidak tepat. Ia menggelengkan kepala dan berjalan mendekati mereka.
“Tidak ada yang benar dari tebakan kalian,” kata Nero santai, sembari merapikan kemeja yang sedikit kusut. "Kalian nggak perlu ikut campur urusan pribadi Kakak. Lebih baik fokus belajar. Terutama kamu, Aron," lanjutnya, memandang adiknya yang sedang bersandar di pagar tangga. "Kamu yang nanti bakal megang Adrianus Corporation setelah aku."
Aron mengerutkan kening. "Tapi, Kakak kan masih muda. Masih panjang jalannya buat aku bisa naik tahta," jawabnya sambil bercanda.
Nero tertawa kecil, tapi sebelum dia bisa memberikan komentar lebih lanjut, suara pintu yang terbuka keras menghentikan percakapan mereka. Regina, ibu tiri Nero, muncul dari balik pintu ruang tamu dengan wajah marah. Langkahnya cepat menuju Nero.
"Nero!" panggil Regina dengan suara tegas. "Aku baru aja dapat kabar dari Bianca kalau kamu nolak perjodohan kalian!"
Nero mendesah dalam hati. Ia sudah tahu bahwa hal ini akan segera sampai ke telinga ibunya, tapi tidak menyangka akan secepat ini. Dia menegakkan badannya dan bersiap menghadapi perdebatan yang sepertinya tak terelakkan.
“Ibu, kita bicarakan ini nanti,” Nero berkata dengan tenang namun tegas. "Saya baru pulang dan..."
“Tidak! Kita bicarakan sekarang,” potong Regina dengan nada penuh otoritas. Ia melipat tangannya di dada, menatap tajam Nero. "Ini bukan hal yang bisa ditunda. Aku tahu kamu punya pandangan sendiri soal percintaan, tapi perusahaan ini punya masa depan yang harus kita pikirkan. Bianca adalah calon istri yang sempurna untukmu!"
Nero menarik napas dalam-dalam. Dia tahu ibunya khawatir, tapi dia juga berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. "Ibu, saya menghormati perasaan dan keputusan Ibu, tapi tolong, jangan ikut campur soal siapa yang akan saya nikahi."
Regina mendengus, matanya berkedip cepat, menunjukkan ketidaksetujuannya. Sebelum ia bisa menjawab lagi, Amara ikut angkat bicara.
“Kak, aku juga nggak setuju kalau nanti kakak nikah sama orang biasa,” Amara melontarkan kata-katanya dengan nada skeptis. "Kita ini keluarga terhormat, dan aku nggak mau kakak iparku nanti nggak selevel sama kita."
Aron, yang tadinya berdiri santai di tangga, kini mendekati mereka dengan sikap lebih serius. "Iya, Kak. Aku setuju sama Amara. Kakak harusnya nikah sama cewek dari kalangan kita juga. Gimana nanti kalau orang luar mikir kita menurunkan standar?"
Nero hanya tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya ia sedikit kecewa dengan pandangan adik-adiknya. Mereka masih terlalu muda dan belum paham apa arti sebenarnya dari cinta dan kebahagiaan. Ia menepuk bahu Aron dengan lembut sebelum melangkah pergi ke arah kamarnya.
“Jangan khawatirkan aku,” katanya tanpa menoleh. “Yang perlu kalian fokuskan sekarang adalah belajar dan menyiapkan diri untuk masa depan kalian. Urusan cintaku, biar aku yang atur.”
Aron dan Amara hanya saling pandang sebelum akhirnya membiarkan Nero berlalu. Nero melangkah menuju kamarnya, menutup pintu di belakangnya, dan membiarkan keheningan menguasai ruangan. Di balik sikap tenang dan senyumnya tadi, ia tahu bahwa urusannya dengan keluarga, terutama ibunya, belum selesai. Namun, pikirannya kini jauh lebih terfokus pada hal lain pada Aruna.
Di kamarnya, Nero duduk di tepi tempat tidur, membiarkan tubuhnya terjatuh ke atas kasur. Ingatannya kembali pada sore tadi, saat ia mengantarkan rumah kucing ke apartemen Aruna. Melihat cara Aruna tersenyum saat memandang kucing kecil itu, ada sesuatu yang menghangat di hatinya. Ia tidak pernah membayangkan akan jatuh pada sosok yang begitu sederhana, tetapi itu justru yang membuatnya tertarik.
Aruna berbeda dari wanita-wanita yang pernah ia kenal. Ia tidak terkesan oleh kekayaan atau status sosial. Satu hal yang Nero sadari sejak pertama kali bertemu dengan Aruna adalah ketulusan dalam setiap perkataannya. Dan, ketulusan itu yang kini mulai merasuk dalam benaknya, membuatnya merasa ingin lebih sering bertemu dengan gadis itu.
Nero bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah jendela besar di kamarnya. Dari sini, ia bisa melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala, memberikan pemandangan malam yang indah. Tapi, tak peduli seberapa indah pemandangan itu, pikirannya hanya tertuju pada Aruna. Ia memejamkan matanya dan berpikir keras.
"Apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar menjalin hubungan dengan Aruna?" Nero bertanya dalam hati. Dia tahu betul bahwa langkah ini tidak akan mudah. Keluarganya, terutama ibunya, pasti tidak akan setuju. Tapi Nero juga tahu bahwa hidupnya adalah miliknya sendiri, dan dia tidak ingin menghabiskannya dengan orang yang tidak bisa membuatnya bahagia.
Setelah beberapa saat merenung, Nero mengambil keputusan. Ia tidak akan membiarkan apa pun atau siapa pun menghalangi jalannya. Jika Aruna adalah orang yang bisa membuatnya bahagia, maka Nero akan memperjuangkannya, apa pun risikonya.
...***...
Malam itu, di dalam kamar apartemennya yang hangat dan penuh ketenangan, Aruna duduk di samping Biru, kucing kecil yang baru saja dia selamatkan beberapa hari lalu. Biru, dengan matanya yang bulat dan bulu halus berwarna tiga putih, coklat, dan hitam, sedang meringkuk di atas bantal empuk di dekat Aruna. Sambil mengusap punggung Biru, Aruna menghela napas panjang. Ada perasaan yang bergolak di dadanya, perasaan yang semakin sulit dia abaikan.
"Hei, Biru," Aruna memulai dengan suara lembut, sambil tersenyum kecil. "Aneh ya, aku nggak biasanya begini. Aku rasa ini semua gara-gara Nero." Dia berhenti sejenak, matanya terpaku pada kucing kecil itu, yang hanya mengedipkan matanya pelan, seakan mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kamu tau nggak," lanjut Aruna, suaranya terdengar lirih, "Nero tuh baik banget. Setiap kali dia datang, aku ngerasa ada sesuatu yang beda. Dia nggak cuma datang buat ngurus kamu. Aku kadang mikir... apa mungkin dia datang karena aku juga?"
Biru hanya mengeong pelan, seakan memberi tanggapan sederhana. Aruna tertawa kecil mendengar suara itu, lalu menggelengkan kepalanya, mencoba menepis pikiran yang mulai mengganggunya.
"Aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh. Aku tahu siapa aku, dan aku tahu siapa Nero. Dia tuh dari keluarga kaya, punya perusahaan besar, dan aku cuma... ya, aku cuma Aruna. Orang biasa yang kerja di bagian administrasi, ngerawat kamu di apartemen kecil ini."
Perasaan ragu mulai menggelayuti Aruna. Dia berhenti mengelus Biru dan menatap keluar jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkilauan di kejauhan. Ada perasaan aneh yang dia rasakan setiap kali Nero muncul di pikirannya. Sebuah perasaan yang menakutkan, tapi sekaligus membuat hatinya berdebar.
"Masalahnya," kata Aruna lagi, kali ini lebih pelan, "Aku nggak tau apakah perasaan ini cuma kagum... atau... sesuatu yang lebih dari itu. Tapi aku nggak boleh jatuh cinta sama Nero. Aku nggak boleh. Aku harus jaga jarak."
Ia kembali menatap Biru yang kini memiringkan kepalanya, seolah memahami setiap kata yang keluar dari mulut Aruna. Aruna tersenyum, meskipun dalam hatinya ada rasa perih yang ia coba abaikan.
"Kamu pasti nggak ngerti, Biru. Tapi perasaan ini bisa bahaya," lanjut Aruna. "Aku nggak boleh terlalu berharap. Kalau aku sampai jatuh cinta sama Nero... aku bisa terluka. Dan aku nggak siap buat itu."
Biru mendekat ke tangan Aruna, mendorong kepalanya pelan seolah mencoba menghibur majikannya. Aruna tertawa kecil melihat tingkah Biru yang manja, lalu membelai bulu halusnya dengan lembut.
"Aku janji deh," kata Aruna sambil mengusap kepala Biru, "Aku bakal jaga perasaan ini. Aku nggak akan biarin diriku jatuh cinta sama dia. Biar Nero jadi temen aja, nggak lebih dari itu."
Namun, jauh di lubuk hatinya, Aruna tahu bahwa ucapan itu mungkin lebih sulit dilaksanakan daripada diucapkan.
kamu harus coba seblak sama cilok
Bibi doakan Dara biar temu jodoh juga