Nia tak pernah menduga jika ia akan menikah di usia 20 tahun. Menikah dengan seorang duda yang usianya 2 kali lipat darinya, 40 tahun.
Namun, ia tak bisa menolak saat sang ayah tiri sudah menerima lamaran dari kedua orang tua pria tersebut.
Seperti apa wajahnya? Siapa pria yang akan dinikahi? Nia sama sekali tak tahu, ia hanya pasrah dan menuruti apa yang diinginkan oleh sang ayah tiri.
Mengapa aku yang harus menikah? Mengapa bukan kakak tirinya yang usianya sudah 27 tahun? Pertanyaan itu yang ada di pikiran Nia. Namun, sedikit pun ia tak berani melontarkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta dan Harta
Pagi hari, Faris berencana untuk mengajak Nia berjalan-jalan, ia ingin menghabiskan waktu bersama selama seminggu ini sebelum kembali ke kediaman keluarganya. Sebelum pulang ibu berpesan untuk membawa Nia pulang dan hanya memberikan mereka waktu seminggu saja, ibu dan keluarga yang lain juga ingin mengenal Nia.
Semalam Faris sudah menelpon asistennya untuk mengosongkan jadwalnya selama 10 hari kedepan, ia ingin 10 hari kedepan merupakan hari yang khusus diberikan untuk Nia. 7 hari mereka akan melalui bersama dan sisanya Faris akan menemani Nia untuk mengakrabkan diri dengan semua keluarganya, Faris tahu Nia pasti sangat canggung jika saat bersama dengan orang tuanya. Sedangkan ia tak ada di sisinya, terlebih lagi ia tahu jika Nia orangnya sedikit pendiam.
"Mas, kita mau ke mana?" tanya Nia di saat mereka sedang bersiap-siap.
Tadinya Nia berpikir mereka hanya akan jalan-jalan di sekitaran kota itu saja. Namun, ia cukup terkejut saat melihat koper yang sudah disiapkan oleh Bibi di sudut ruangan.
"Aku kan sudah bilang, jika kita akan pergi berjalan-jalan," jawabnya masih dengan merapikan pakaiannya, memakai jam tangan dan juga memeriksa ponselnya.
"Iya aku tahu, maksudku semalam aku fikir kita hanya akan jalan-jalan di kota ini saja, tapi …?" ucap Nia menunjuk koper yang ada di sudut ruangan. "Kenapa bawa koper."
"Kita akan keluar," ucap Faris.
"Apa kita akan keluar kota?" tanya Nia lagi.
"Tidak, kita akan ke luar negeri, sekaligus bulan madu, kamu nggak masalah kan kita ke luar negeri?" tanya Faris yang melihat wajah terkejuta dari istrinya.
"Luar negeri? Tapi bukankah kita akan mendatangi kantorku untuk mengundurkan diri? Aku tak enak dengan bosku." Nia memasang raut wajah bingunnya, ia ingin keluar negri, tapi ia juga ingiat akan etika dalam bekerja, dimana mereka sudah berjanji besok harus akan menemui bosnya, menemaninya ke kantor untuk mengajukan surat pengunduran dirinya. Ia tak boleh meninggalkan pekerjaannya tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu.
"Masalah itu kamu tenang saja, aku sudah menyampaikan surat pengunduran dirimu pada atasanmu. Kebetulan aku mengenalnya, jadi cukup lewat panggilan telepon saja semua sudah beres," ucap Faris santai.
Mendengar itu, Nia hanya mengangguk. Mengapa ia lupa jika sekarang ia adalah istri dari seorang miliarder, apa saja bisa saja dilakukan Faris termasuk membawanya ke luar negeri dan juga menghubungi atasannya melalui telepon untuk pengunduran dirinya.
Setelah sarapan, mereka pun langsung ke bandara, diantar oleh sopir. Ternyata, mereka ke luar negeri menggunakan pesawat jet pribadi, membuat hanya mereka berdua yang ada di pesawat itu selain para kru dan pilot.
"Apa kamu mencintai seseorang? Maksudku pernikahan ini bukanlah keinginanmu, apa sebelum menikah denganku kamu menjalin hubungan dengan seorang pria atau menyukai seseorang?" tanya Faris dengan hati-hati saat mereka sudah mulai mengudara.
Mendengar pernyataan itu, Nia menggeleng, "Nggak, Mas. Aku sama sekali tak pernah berpacaran. Aku juga tak menyukai siapapun, selama ini aku fokus pada pekerjaanku dan tak punya waktu menjalin hubungan dengan seorang pria, lagian aku juga tak percaya pada janji-janji pria. Kak Dita pernah disakiti oleh pria dan aku tak mau sampai itu terjadi padaku, Kak Dita sampai menangis berhari-hari karena cintanya dikhianati," jawabnya dengan polosnya.
Mendengar jawaban itu hati Faris merasa senang, dengan begitu ia semakin ingin membahagiakan Nia dengan cintanya. Sekarang Faris sadar jika perasaan yang ia rasakan pada Nia adalah cinta.
Faris menggenggam tangannya, "Nia, kamu percaya kan padaku?" tanyanya membuat Nia pun mengangguk.
"Tentu saja, Mas. Mas adalah suamiku, jujur awalnya aku merasa takut dan ragu untuk menikah dengan Mas, bukan karena usia kita yang terpaut jauh, tapi berita-berita miring yang aku dengar di luar sana jika Mas itu orangnya galak, suka kekerasan, itulah yang menyebabkan awalnya aku ingin menolak pernikahan ini. Tapi, demi kebahagiaan ayah dan ibu aku setuju untuk melanjutkan pernikahan dan aku rasa pilihanku tidaklah salah, Mas orang yang berbeda. Maaf, aku telah salah menilai, Mas. Mas bukanlah orang jahat, Mas tak akan mungkin menyakitiku, iya kan?" tanya Nia menatap mata suaminya, pria yang usianya hampir dua kali lipat dengan usianya sendiri itu pun mengangguk .
"Aku takkan pernah menyakitimu dan aku takkan pernah mengizinkanmu menyakitiku. Mari kita jalani rumah tangga ini bersama-sama hingga ke jannah," ucap Faris membuat Nia pun mengangguk. Nia menyandarkan kepalanya di dada suaminya dan merasakan hangatnya dekapan pria yang sudah menghalalkannya secara agama itu. Faris mengecup pucuk kepalanya yang tertutupi hijab, ada rasa menghangat di hatinya. Mereka pun terus berpelukan seperti itu hingga mereka pun tertidur.
Nia bangun lebih dulu, saat bangun ia menatap wajah suaminya yang begitu tampan dan tak terlihat jika usianya sudah menginjak usia 40 tahun. Pria matangnya itu begitu perhatian padanya, membuat hatinya merasa menghangat, ia pun bangun dan menuju ke kamar mandi, setelahnya ia menghampiri pramugari yang duduk tak jauh darinya.
Pramugari yang melihat Nia mendekat langsung berdiri dan menyapa penumpangnya itu, penumpang adalah raja dan ratu dan mereka harus melayani dengan baik. Untuk naik ke pesawat jet pribadi itu Faris harus mengeluarkan uang yang cukup banyak, sudah patutnya mereka mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang baik.
"Ada apa, Bu? Ada yang bisa kami bantu?" tanya pramugari tersebut dengan ramah. Nia pun mengangguk dan memberikan senyumnya.
"Aku sedikit lapar, apa aku bisa mendapatkan makanan?" tanyanya kemudian, pramugari pun mulai menyebutkan hidangan yang bisa mereka siapkan dan bisa mereka sajikan untuk keduanya. Nia pun memesan beberapa menu makanan untuknya dan juga untuk Faris, perutnya sudah sangat lapar berarti sudah dipastikan jika suaminya itu juga lapar. Mereka sudah mengudara beberapa jam dan menurut informasi dari pramugari tersebut mereka masih harus mengudara selama 2 jam hingga mereka sampai di negara tujuan mereka.
"Baik, Mbak. Silakan duduk, kami akan mengantarnya sesegera mungkin," ucap pramugari tersebut membuat Nia pun kembali duduk di tempatnya dan setelah ia duduk ternyata Faris sudah bangun.
"Kamu dari mana?" tanyanya begitu Nia saat sudah mendudukkan dirinya di tempatnya kembali.
"Aku memesan makanan, aku lapar. Kita makan dulu ya," ujarnya. Faris pun mengangguk dan ia pun berdiri menuju ke kamar mandi, sekedar buang air kecil dan mencuci muka dan begitu dia kembali ke tempatnya, menu makanan yang disediakan oleh pramugari sudah terhidang di sana. Mereka pun makan bersama, sesekali Faris memperhatikan Nia yang makan dengan begitu lahap. Biasanya wanita yang makan dengannya selalu menjaga cara makan mereka, makanan hanya sedikit dan juga terlihat anggun. Berbeda dengan Nia, ia bahkan menyeruput mie instan yang tadi dipesannya, tak peduli jika suaranya terdengar jelas, juga mengunyah makanannya dengan cepat, tak ada anggun-anggunnya sama sekali.
"Ada apa?" tanya Nia yang melihat Faris memperhatikannya dan sesekali tertawa.
"Kamu makannya lahap sekali sampai belepotan seperti itu," ucap Faris mengambil sisa makanan yang ada di sudut bibir Nia kemudian memakannya.
Nia yang memegang pipinya, ia merasa tak enak dengan perlakuannya yang baru saja Faris lakukan padanya. Tapi, ia menyukainya, Nia hanya bisa tertunduk menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah.
"Ayo, lanjutkan makannya," ucap Faris begitu telah berhasil membuat istrinya itu tersipu malu. Kemudian, mereka pun makan dan sesekali bercanda, Nia sudah merasa lebih nyaman bersama dengan suaminya itu, membuang semua prasangka buruk yang pernah singgah di pikirannya pada sosok suaminya itu.
Sampainya di negara yang mereka tuju, Faris langsung membawa Nia menuju ke tempat yang sudah mereka siapkan, Dubai. Faris ingin menghabiskan waktu di negara itu bersama sang istri, memanjakan istrinya dengan cinta dan juga kekayaannya selama ini ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya.
Ia bekerja dan tak tahu harus diberikan kepada siapa, kemewahan yang dia miliki hanya diberikan kepada ibu dan keponakannya karena ia sendiri tak punya anak. Ia punya anak dari pernikahan pertamanya. Namun, putrinya tak berumur panjang.
Anak pertama dan keduanya bukanlah darah dagingnya, ia harus menerima kenyataan jika mereka bukanlah anak kandungnya. Namun, karena sudah merawatnya dari kecil, kasih sayang Faris masih di berikan pada keduanya anak itu. Mereka tak salah akan apa yang menimpa mereka, membuat ia tetap memberikan apa yang anak-anaknya itu inginkan. Sekarang, usia anak-anaknya sudah remaja bahkan ada yang kuliah di luar negeri, mereka tak pernah meminta karena sadar siapa mereka. Namun, Faris lah yang memberikannya. Mereka sudah mengerti mengapa ayah yang dulu menyayangi mereka merubah sikap. Mereka tak menyalahkan siapapun, tak menyalahkan ayah atau ibuhya, mereka menerima takdir mereka.
Keduanya sudah sangat bersyukur karena disaat ibunya dan ayah kandungnya terpuruk dan tak bisa menyekolahkan mereka, Faris ada dan selalu ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hubungan keduanya masih terjalin walaupun tak seperti dulu.