Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 24 ~ Menggoda
Tepat saat Dara akan pulang, ada yang menyampaikan kalau seseorang menunggunya di pintu keluar. Sudah berganti seragam dan memakai ranselnya, Dara bergegas menemui orang tersebut. ia menduga orang itu adalah Pandu. Namun, saat melewati pintu keluar dan menatap punggung pria yang membelakanginya, ternyata orang lain.
Ngapain juga ini orang nyariin aku kemari. Dara membatin lalu berdehem, membuat pria itu menoleh.
“Ah, Dara.”
“Ada apa Mas cari saya?”
“Dara, bisa kita bicara,” pinta Harsa.
“Tidak bisa, saya tidak ada waktu dan tidak akan pernah ada waktu untuk kamu. Sudah tidak ada lagi urusan diantara kita, urus saja masalahmu sendiri Mas.”
Harsa merangsek maju dan mencengkram tangan Dara, “Kita cari tempat dan bicara,” titahnya dengan suara lirih dan penuh tekanan.
Bagi Dara urusan dengan Harsa selesai di hari saat dia melihat pria itu bersama Citra sedang memadu kasih. Tidak ingin memberi celah apapun untuk Harsa bisa kembali ataupun mendengar penjelasannya. Pengkhianatan tidak butuh alasan dan pembenaran.
Melihat hubungan antara Harsa dan CItra sepertinya tidak baik, Dara menduga kalau Harsa ingin minta maaf dan memperbaiki hubungan mereka. Mana mungkin ia akan kembali atau menerima Harsa, karena setiap melihat pria itu selalu terbayang pengkhianatan yang dilakukan.
“Dara!”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan denganku, bicara saja dengan Citra. Bukannya dia sedang hamil anak kalian?”
“Aku rasa kamu lebih tahu bagaimana sifat Citra, dia bisa lakukan apapun untuk mendapatkan keinginannya.”
Merasa obrolan mereka sudah terlalu jauh, Dara menghempaskan tangannya dan membuat cengkraman tangan Harsa terlepas lalu meninggalkan pria itu menuju mobil. Berharap Harsa tidak mengikuti, karena ia berencana mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Jaya.
Hampir jam lima sore, di mana jalanan cukup padat akhirnya Dara tiba di rumah sakit. sudah bertanya pada Kemala di mana kamar Jaya. Bertanya pada salah satu petugas rumah sakit dan berjalan cepat sesuai arahan. Suasana kamar Jaya, terlihat sepi. Saat ia membuka pintu dan mengucapkan salam hanya ada seorang asisten yang menemani.
“Dara, kemari sayang!” titah Jaya kebetulan posisinya agak setengah duduk karena kepala ranjang agak di naikan. Asisten Jaya memberi ruang untuk Dara mendekat.
“Opa, apa sudah lebih baik?” tanya Dara setelah mencium tangan pria itu dan masih berada dalam genggamannya.
“Sudah, Opa sudah sehat lagi. Duduklah!” titah Jaya. Dara pun patuh, duduk di kursi dan tangannya masih menggenggam tangan Jaya yang terbebas dari infus.
“Kenapa bisa begini? Pasti Opa nakal,” seru Dara dan Jaya malah terkekeh.
“Bukan hanya kamu yang bilang Opa nakal, Pandu juga begitu. Padahal bocah nakal ya dia sendiri,” tutur Jaya lalu menghela nafasnya. “Opa bosan Dara, harus bertemu dokter dan melakukan pemeriksaan ini itu.”
“Opa,” ucap dara lalu mengusap punggung tangan pria. “Di luar sana banyak orang berjuang agar bisa sehat, dengan segala kesulitannya. Opa hanya tinggal duduk dan melakukan pemeriksaan lalu lakukan apa yang disarankan dokter. Memang Opa tidak mau lihat Om Pandu menikah lalu punya anak?”
“Tentu saja mau, bocah itu benar-benar nakal. Opa dibuat sakit kepala. Tapi Dara, Opa senang dia mau bergabung di perusahaan.”
“Hm.”
“Tinggal menunggu dia mengenalkan calonnya lalu Opa akan segera nikahkan mereka.”
Aku juga mau Opa, siapa juga yang menolak Om Pandu, batin Dara lalu tersenyum pada Jaya.
“Bocah itu menolak dijodohkan. Kamu ada kenalan gadis yang kira-kira bisa berjodoh dengan Pandu?”
“Kalau itu, saya nggak berani Opa. Belum tentu sesuai dengan tipenya Om Pandu, lagi pula kenalan saya tidak ada yang selevel dengan keluarga Opa.”
Obrolan mereka terhenti karena kedatangan seseorang.
“Panjang umur, sedang dibicarakan dia datang,” cetus Jaya menatap Pandu yang berjalan gagah menghampirinya.
Dara menoleh dan bertatapan dengan Pandu, ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan saat menatap kedua mata itu. rasanya begitu teduh dan menghanyutkan, tidak ingin tenggelam segera ia mengalihkan pandangan.
“Papi mau pulang, coba kamu temui dokter,” titah Jaya dan Pandu hanya berdecak mendengarnya.
“Disini sajalah Pi, ada yang memantau kesehatan Papi. Dari pada di rumah, obat tidak diminum dan kontrol pun dilewati.”
“Papi mau di rumah, setelah ini papi akan disiplin demi sehat dan menyaksikan kamu menikah lalu dapat cucu lagi,” tutur Jaya. “Seperti saran Dara, Papi harus sehat untuk melihat itu semua.”
Pandu menoleh dan menatap Dara yang masih tersenyum pada Jaya.
“Langsung dari hotel?” tanya Pandu saat Dara beranjak dari kursi.
“Iya.”
“Pasti belum makan,” ujar Pandu lagi-lagi menunjukkan kepeduliannya dan membuat Dara menggaruk kepalanya bingung. Apalagi mereka sedang berada bersama Jaya yang menatap bergantian dirinya juga putranya.
“Kalian keluarlah dulu, pergi makan,” titah Jaya. “Jangan lupa temui dokter dan sampaikan Papi mau pulang.”
Pandu lagi-lagi berdecak mendengar keinginan Jaya lalu mengajak Dara keluar. Saat ini mereka berada di café yang ada di dalam rumah sakit. Pandangan Pandu tidak lepas dari wajah Dara.
“Coba matanya dikondisikan, kayak ngeliat pisang aja.”
“Kamu pikir saya m0nyet.”
Dara tergelak lalu mengulurkan kedua tangannya. “Jangan marah-marah, nanti aku jambak lagi. Rambut Om Pandu, sangat menarik untuk di … jambak.” Lagi-lagi Dara terkekeh karena berhasil mengejek pria itu.
Jika bukan berada di tempat umum, Pandu sangat ingin berpindah duduk ke samping Dara dan langsung memeluk tubuh itu kalau perlu menggelitik pinggangnya agar tidak bisa tertawa di atas penderitaannya. Semakin ke sini, gadis itu semakin berani.
“Ha-ha, tertawa saja terus. Aku pasti akan balas.”
“Siapa takut?”
“Wah, nantangin aku.” Pandu hendak berdiri, tapi urung karena pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. “Habiskan atau kamu habis olehku.”
“Mau dong dihabisin,” ejek Dara lalu menikmati makanannya, sedangkan Pandu malah sakit kepala membayangkan dia menghabisi Dara.
Apa dia sengaja menggodaku?
Atun mo dikemanain, mas?
Gak salah????