Vherolla yang akrab disapa Vhe, adalah seorang wanita setia yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kekasihnya, Romi. Meski Romi dalam keadaan sulit tanpa pekerjaan, Vherolla tidak pernah mengeluh dan terus mencukupi kebutuhannya. Namun, pengorbanan Vherolla tidak berbuah manis. Romi justru diam-diam menggoda wanita-wanita lain melalui berbagai aplikasi media sosial.
Dalam menghadapi pengkhianatan ini, Vherolla sering mendapatkan dukungan dari Runi, adik Romi yang selalu berusaha menenangkan hatinya ketika kakaknya bersikap semena-mena. Sementara itu, Yasmin, sahabat akrab Vherolla, selalu siap mendengarkan curahan hati dan menjaga rahasianya. Ketika Vherolla mulai menyadari bahwa cintanya tidak dihargai, ia harus berjuang untuk menemukan jalan keluar dari hubungan yang menyakitkan ini.
warning : Dilarang plagiat karena inti cerita ini mengandung kisah pribadi author
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jhulie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keraguan
Vherolla duduk di tepi tempat tidurnya sambil memandangi ponsel di tangannya. Pikirannya kacau, terutama setelah konflik terakhir yang membuat hubungan dengan Romi terasa semakin berat. Belum lagi Pak Aldino terus menunjukkan perhatian dan perhatian yang mulai membuatnya nyaman. Vherolla menggigit bibirnya, hatinya berdebar.
"Apa aku terlalu lelah bertahan?" batinnya bertanya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Pak Aldino.
"Vhe, kamu ada waktu malam ini? Saya ingin ajak kamu makan malam, kalau kamu tidak keberatan."
Vherolla menghela napas panjang. "Kalau terus seperti ini, aku bisa semakin bingung..."
Meski awalnya ragu, akhirnya dia membalas pesan itu.
"Baik, Pak. Terima kasih atas ajakannya."
---
Di sebuah restoran sederhana yang tenang, Vherolla dan Pak Aldino duduk berhadapan.
Pak Aldino tersenyum lembut. "Senang kamu bisa datang, Vhe."
Vherolla menatap piring di depannya, merasa agak canggung. "Terima kasih sudah mengundang saya, Pak Al."
Pak Aldino memperhatikan wajah Vherolla yang tampak letih. "Kamu terlihat capek, ada masalah, ya?"
Vherolla tersenyum kecil, namun jelas sorot matanya terlihat sedih. "Hmm… mungkin. Banyak hal yang lagi aku pikirkan, Pak."
"Apakah tentang Romi?" tanya Pak Aldino hati-hati.
Vherolla terdiam sejenak, menelan ludah. "Iya, sebagian besar tentang Romi."
"Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu bertahan selama ini, Vhe? Padahal saya sering melihat kamu kesal dan terluka karena dia."
Vherolla tersenyum pahit. "Kadang, aku juga tidak tahu jawabannya, Pak. Tapi setiap kali aku merasa ingin menyerah, aku selalu ingat kenangan-kenangan kami, harapan bahwa dia bisa berubah..."
Pak Aldino menghela napas, terlihat jelas dia prihatin. "Vhe, hanya kamu yang tahu apa yang baik untuk dirimu. Namun, terkadang… memberi ruang untuk dirimu sendiri juga penting."
Vherolla mengangguk, lalu menatap Pak Aldino dengan senyum kecil. "Pak Al selalu perhatian sama saya… makasih, ya. Kadang saya merasa, kalau saja Romi bisa sepeduli ini, mungkin semuanya akan lebih mudah."
---
Malam itu, sepulang dari makan malam bersama Pak Al, Vherolla tak bisa menghindari pikirannya tentang Romi. Rasanya semakin sulit mempertahankan semuanya sendirian. Akhirnya, Vherolla memberanikan diri menelepon Romi.
"Ya, halo, Vhe," suara Romi terdengar di seberang telepon, sedikit berat seperti menahan lelah.
"Romi, kita bisa ketemu nggak?" tanya Vherolla.
Romi terdiam sesaat. "Besok aja gimana? Aku lagi nggak enak badan."
Vherolla menggigit bibirnya, menahan emosi. "Oke, kalau kamu lagi sibuk. Besok aja."
---
Keesokan harinya, mereka bertemu di taman, tempat favorit mereka dulu.
Vherolla memulai percakapan. "Romi… aku merasa banyak yang berubah di antara kita."
Romi menghela napas panjang. "Maksud kamu apa, Vhe?"
"Aku tahu kita sering bertengkar, tapi kamu nggak pernah benar-benar kasih aku kejelasan, Romi. Kamu tahu kan, aku cuma pengen kamu lebih perhatian dan jujur sama aku," ucap Vherolla, matanya berkaca-kaca.
Romi menatapnya tajam, terlihat bingung. "Jadi… kamu merasa aku kurang perhatian?"
"Bukan cuma kurang perhatian, Romi. Aku merasa kamu… lebih banyak buat aku bingung. Kadang kamu baik, tapi di lain waktu kamu bikin aku bertanya-tanya soal keseriusan kamu."
Romi mendesah, wajahnya mulai terlihat kesal. "Jadi kamu nggak percaya sama aku, gitu?"
"Bukan gitu, Romi. Aku hanya ingin hubungan kita lebih jelas. Aku nggak mau kita terus begini, saling menyakiti."
Romi menatapnya dengan tatapan tajam. "Maksud kamu apa, Vhe? Kamu mau minta putus?"
Vherolla terdiam, merasa serba salah. "Aku nggak tahu, Romi. Tapi aku pikir mungkin kita perlu… memberi ruang masing-masing."
Romi menggelengkan kepala dengan ekspresi kecewa. "Jadi, gitu, ya? Karena kamu deket sama bos baru kamu itu?"
Ternyata Romi pernah tak sengaja lewat tempat Vherolla bekerja dan memergoki Vherolla sedang mengobrol dengan Pak Aldino dengan akrab.
"Pak Al hanya perhatian sebagai teman, Romi," jawab Vherolla. "Dia nggak ada hubungan apa-apa sama kita."
Romi tersenyum sinis. "Iya, pasti. Dia cuma bos yang baik, peduli sama karyawannya, ya kan?"
Vherolla menghela napas, berusaha menahan emosinya. "Romi, aku hanya butuh waktu buat mikirin semuanya. Aku nggak minta banyak."
Romi menggeleng pelan. "Baiklah kalau itu yang kamu mau. Kalau emang hubungan ini terlalu berat buat kamu, silakan. Aku nggak akan menghalangi."
Vherolla terdiam, menahan air mata yang hampir jatuh. Rasanya berat, tapi ia tahu ia harus mengambil langkah ini.
---
Setelah pertemuan di taman, Vherolla kembali ke kos dengan perasaan yang berat. Semua perkataannya kepada Romi tadi masih berputar-putar di kepalanya. Di satu sisi, ia merasa lega telah mengungkapkan sebagian dari kebimbangannya, tapi di sisi lain, perasaan cemas dan takut kehilangan Romi begitu kuat menghantui.
Sambil duduk di sudut kamarnya yang sederhana, Vherolla menatap layar ponsel yang bergetar pelan. Pesan dari Pak Al masuk lagi.
"Vhe, jika kamu merasa perlu teman bicara atau apa saja, kamu bisa hubungi saya kapan pun. Jangan sungkan, ya."
Vherolla tersenyum kecil membaca pesan itu. Di saat hatinya begitu rapuh, kehadiran Pak Al yang perhatian benar-benar memberinya kekuatan.
Tanpa sadar, ia pun membalas. "Terima kasih, Pak Al. Kata-kata Bapak sangat membantu."
Tak lama, balasan datang. "Panggil saja Al, Vhe. Kita bisa berteman, bukan?"
Vherolla tersenyum tipis, menatap pesan itu seolah mendapat sedikit kehangatan di tengah kebimbangannya. Panggilan "Al" terdengar begitu akrab dan nyaman. Mungkin benar, pikirnya, dia perlu seseorang yang bisa menguatkan, walau hanya sebagai teman.
Namun, di saat yang sama, muncul rasa bersalah dalam hatinya. Dia teringat akan Romi dan kenangan mereka bersama. Meskipun sering dilanda kebingungan dan kekecewaan, dia tak bisa langsung menghapus semua yang telah mereka lalui. Bahkan sekarang, dalam benaknya, wajah Romi masih jelas terukir, lengkap dengan senyum nakalnya yang selalu membuat hatinya berdebar.
Dengan segala perasaan yang bercampur, Vherolla mencoba menenangkan diri. Malam itu, ia merenung panjang tentang hidup dan hubungannya. Dia tahu, cepat atau lambat, dia harus membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya, entah tetap bersama Romi atau membuka hati untuk seseorang yang lebih menghargainya.