Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
"Aku harus jemput Mira sekarang, Shan," Ben sedang menelpon Shandy dari kursi belakang. Mobil mewah itu kini tengah melaju menuju kafe tempat Mira berada. "Untuk sementara kita gak akan ketemu."
"Jadi rencana liburan kita akhir pekan besok gagal?" suara Shandy terdengar merajuk.
Ben menghela napas sembari memperbaiki letak kacamatanya. "Saat ini satu negara sedang memperhatikan kami, aku dan Mira. Aku gak mau hubungan kita terbongkar juga."
"Aku gak masalah! Aku rela dicap pelakor, asal kita bisa sama-sama. Banyak kasus perselingkuhan yang viral di luar sana, akhirnya mereka menikah juga. Bahagia juga. Kita juga pasti bisa, Ben."
"Kalau sesederhana itu, kita gak akan pernah ada di posisi ini," mata Ben menerawang ke jalanan lewat kaca mobil. "Aku gak akan menikah hanya karena cinta. Hah," Ben mendengus. "Aku bahkan sudah lama lupa apa itu cinta," lanjutnya.
"M-maksudmu kamu gak mencintaiku lagi, Ben?!" suara Shandy terdengar melengking, membuat Ben menjauhkan gawai dari telinganya.
Matanya berkerut, "Hari ini banyak yang harus aku selesaikan. Jangan menambah bebanku."
Ben mengakhiri teleponnya meski di seberang sana, Shandy masih merajuk.
Tak lama, mobil Ben menepi di depan sebuah kafe.
"Tuan, kita sudah sampai," seru seorang pengawal yang duduk di samping kursi sopir. "Biar saya yang jemput Nyonya ke dalam, Tuan tunggu di sini."
"Tidak perlu. Aku akan menjemputnya sendiri."
Ben keluar dari mobil dan segera memasuki kafe kecil itu. Matanya sempat menyisir ke seluruh sudut kafe sebelum menemukan istrinya di salah satu meja, bersama Theo dan Janu.
Ben menghela napas sebelum mendekat.
Mira menyambut dengan tatapan takut-takut.
"Hai, Om," sapa Theo sesantai mungkin dari tempat duduknya.
Di lain sisi, Janu segera berdiri sambil mengulurkan tangan. "Selamat siang, Tuan Ben."
Ben melirik sesaat ke arah dua pria itu, tanpa berniat membalas sapaan mereka sama sekali. Ia lantas kembali melihat Mira.
"Kita tidak punya banyak waktu. Ayo kita pulang, Sayang."
Ben mengambil tas Mira, lalu segera beranjak dari sana. Mira mengekor dari belakang, sembari mencoba memberi isyarat akan menghubungi mereka nanti.
***
"Tampaknya kalian jauh lebih dekat daripada yang aku bayangkan." Akhirnya Ben memecah kesunyian di sepanjang jalan menuju ke rumah.
"Tentu saja. Kami sudah lama saling mengenal."
"Kalau Theo, aku masih bisa mengerti. Tapi si penyanyi itu, siapa namanya? Agustus? November?"
"Maksudmu Januari? Kami memang belum lama dekat, tapi dia baik banget sama aku."
Ben tertawa meremehkan. "Siapa yang berani bersikap tidak baik pada menantu kesayangan Bratadikara Grup? Mungkin amnesiamu membuatmu lupa, jadi aku harus ingatkan. Tidak ada satu orang pun yang mendekatimu tanpa tujuan."
Air muka Mira berubah lebih tegang dibanding biasanya. "Jangan pikir semua orang sama denganmu, Bennu Bratadikara."
Ben menarik tangan Mira kasar, membuat tubuh kurus itu mendekat ke arahnya dalam sekali sentakan. "Jangan berani macam-macam, atau kamu akan menanggung akibatnya."
Deg.
Aku gak salah dengar, kan? Dia sedang mengancamku barusan? Apa dia 'terpancing' lebih awal? Yang ingin Mira mati adalah suaminya sendiri? Astaga.
"Tuan kita sudah sampai di depan gerbang. Kita langsung masuk saja atau bagaimana, Tuan?"
Ben melepas cengkeramannya. Pria itu memperbaiki letak kacamata, kemudian mengibaskan jasnya.
Mira melihat ke arah luar, mengikuti tatapan Ben. Matanya melotot mendapati pemandangan yang kini tersaji di hadapannya itu.
Bukan pertama kali ia melihat kerumunan orang. Mira biasa melihatnya saat ikut antri pembagian sembako di depan rumah caleg atau sekedar orang kaya yang dermawan.
Tapi kali ini berbeda.
Kerumunan orang-orang itu tampak lebih rapih, tidak ada yang memakai kaos bergambar parpol. Mayoritas mengenakan kemeja dan sepatu.
Beberapa tampak mengenakan setelan blazer. Ada yang memegang microphone, ada pula yang membawa kamera.
Meski belum pernah bertemu mereka sebelumnya, Mira segera tahu bahwa orang-orang itu sedang mengincarnya karena gosip yang beredar hari ini.
"Tidak perlu masuk. Kami akan keluar dulu," jawab Ben.
"K-kami siapa?" Mira tersentak, kaget.
"Tentu saja kita. Kita harus memberi klarifikasi sebelum gosip semakin kemana-mana."
"Tapi aku belum pernah masuk TV."
"Kamu adalah Mira Mahalia Bratadikara."
Oh iya, aku bukan Mira Dania sekarang.
"T-tapi aku lupa caranya diwawancarai."
"Yang perlu kamu lakukan hanya diam, sisanya serahkan padaku."
Mira menelan air liur untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda.
Wanita itu mencoba tenang saat keluar dari mobil, mengekor Ben yang menggandengnya.
Bak permen gula yang jatuh diantara lautan semut, tak butuh waktu lama keduanya segera diserbu para wartawan yang sudah menunggu sejak beberapa jam lalu.
"Bagaimana pendapat anda tentang isu yang beredar, Tuan Ben?"
"Apa benar, Nyonya berselingkuh dengan keponakan Tuan Ben sendiri?"
"Mengapa Nyonya pergi ke hotel berdua dengan pria lain?"
Bibir Mira pucat seketika. Tak pernah berada di situasi seperti ini, membuatnya sangat shock.
Orang-orang yang berebut mengajukan pertanyaan, terus mendorong tubuh kurusnya itu hingga membuat Mira semakin terpojok. Ia terjebak diantara lautan wartawan dan salah satu sisi mobilnya.
Di saat itulah, Ben merangkul Mira sambil mencoba menahan serangan wartawan. Beberapa pengawal lantas melingkar, melindungi Tuan dan Nyonyanya.
Dalam hitungan detik, rasa takut Mira berganti dengan debaran kencang yang terasa di jantungnya.
Ben menarik pinggang Mira mendekat, lantas melumat bibir Mira begitu saja di depan semua orang. Dengan ganas.
Begitu panas, sampai-sampai wartawan yang awalnya brutal itu, terpaku seketika. Berganti dengan serangan lampu kilat dari puluhan kamera yang seolah tak mau ketinggalan mengabadikan momen itu.
***