Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Bayang - Bayang Kegelapan
Seminggu telah berlalu sejak pertemuan Amara dan Radit. Ayahnya semakin parah, dan biaya pengobatannya terus menumpuk. Amara tertekan, pikirannya dipenuhi rasa panik dan kebingungan.
"Ayah...," lirih Amara, menatap ayahnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Kenapa Ayah begini? Kenapa Ayah meninggalkan Amara?"
Air matanya mengalir deras, mencemari bantal ayahnya. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit.
"Amara... jangan sedih," bisik ayahnya lemah. "Ayah baik-baik saja. Ayah hanya sedikit lelah."
Amara menggeleng. Ia tahu, keadaan ayahnya semakin buruk. Ia takut kehilangan ayahnya. Ia merasa sepi dan terisolasi.
"Amara... Ayah cinta kamu," bisik ayahnya lemah. "Jaga dirimu baik-baik."
Amara mengangguk, air matanya semakin deras. Ia mencoba menahan tangisannya, tak ingin membuat ayahnya semakin khawatir.
"Ayah... Amara juga cinta Ayah," ujarnya, suaranya bergetar ketakutan.
Amara mengelus kening ayahnya dengan lembut. Ia merasa tertekan oleh keadaan yang sulit ini. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya ingin menyelamatkan ayahnya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus tetap kuat. Ia harus mencari jalan keluar dari kesulitan ini.
Sejak ayah Amara dirawat di rumah sakit, Amara telah menghentikan pekerjaannya di klub malam bernama Kupu-kupu Klub. Klub itu adalah tempat yang sangat berbahaya, namun Amara tak memiliki pilihan lain untuk menghidupi keluarganya.
Ibu Amara hanya seorang ibu rumah tangga. Adiknya, Mira, masih bersekolah di SMP. Mira adalah anak yang acuh dan sombong. Ia suka berfoya-foya dengan uang orang tuanya, tak peduli dengan kesusahan yang mereka alami.
"Mira, kamu kemana saja?" tanya Amara, ketika Mira pulang dari sekolah dengan wajah yang berbinar-binar. "Kenapa kamu tak menjenguk Ayah?"
"Aku lagi ketemuan sama teman-teman," jawab Mira, tak menatap mata Amara. "Lagian, Ayah kan sudah dirawat di rumah sakit. Nggak perlu aku jenguk."
Amara mengigit bibirnya, menahan rasa kesalnya. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi dengan adiknya yang tak peduli itu.
"Mira... tolong lah, Ayah sedang sakit," ujar Amara, suaranya bergetar kecewa.
"Terserah kamu lah," jawab Mira, lalu berlalu meninggalkan Amara.
Amara terdiam, hatinya terasa hancur. Ia merasa terbebani oleh keadaan yang sulit.
🙁🙁🙁
Amara menghela napas. Hatinya terasa sesak, dipenuhi rasa kecewa dan ketakutan. Ia harus melakukan sesuatu, namun ia tak tahu harus berbuat apa.
"Ayah...," bisiknya lagi, menatap ayahnya yang semakin lemah. "Amara akan mencari cara untuk menyelamatkan Ayah."
Amara beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu kamar. Ia harus pulang untuk mengambil pakaian ganti dan beberapa perlengkapan untuk ayahnya.
"Ma, Amara pulang dulu ya. Mau ambil pakaian Ayah," ujar Amara, menatap ibunya yang sedang menunggu di ruangan tunggu.
Ibunya menangguk. "Ya, sudah. Nanti Mama yang jaga Ayah di sini."
Amara mencium pipi ibunya dan berjalan keluar dari rumah sakit. Ia merasa sedikit lega karena ibunya mau menjaga ayahnya di rumah sakit. Ia tahu, ibunya juga merasa khawatir dengan keadaan ayahnya.
Amara berjalan menuju halte bus di depan rumah sakit. Ia menunggu bus dengan hati yang gelisah. Ia terkenang kembali pertemuannya dengan Radit beberapa hari yang lalu. Radit telah menawarkan bantuan, namun ia takut untuk menerima bantuan itu. Ia takut terjebak dalam hubungan yang lebih rumit.
"Amara... kamu kenapa sih? Kok diam saja?" tanya seorang pria yang duduk di sebelahnya.
Amara terkejut. Ia baru sadar bahwa ia telah terdiam selama bermenit-menit. Ia menatap pria itu dengan mata yang berbinar-binar.
"Maaf, Pak. Saya hanya sedikit pusing," jawab Amara, mencoba menutupi perasaannya.
"Oh, ya. Kamu kayaknya capek," ujar pria itu. "Kamu mau pulang ke mana?"
Amara menceritakan keadaan keluarganya pada pria itu. Pria itu menangguk dengan penuh simpati.
"Maaf ya, Nona. Saya juga tak berkemampuan untuk membantu," kata pria itu. "Tapi, jangan putus asa. Pasti ada jalan keluar dari masalah ini."
Amara menangguk. Ia mengucapkan terima kasih pada pria itu, kemudian beranjak dari kursi dan berjalan menuju halte bus.
Amara sampai di rumah dalam keadaan lesu. Ia langsung menuju kamar tidur dan mengambil pakaian ganti untuk ayahnya. Mira tak ada di rumah. Ia memilih menginap di rumah temannya, tak peduli dengan keadaan keluarganya yang sedang sulit.
Amara berjalan keluar dari rumah. Ia mencari ojek murah untuk kembali ke rumah sakit. Ia merasa terbebani oleh keadaan yang dihadapinya. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi.
*****
Amara sampai di rumah sakit dengan perasaan yang campur aduk. Ia lega karena sudah mendapatkan pakaian ganti untuk ayahnya, tapi kekesalan dan keputusasaan menyergapnya kembali saat teringat pada Mira, adiknya yang tak peduli dengan keadaan ayah mereka.
"Mira...," gumam Amara, sambil mengeluarkan ponselnya dari tas. Ia harus menanyakan keberadaan Mira dan mengapa ia tak ada di rumah.
"Halo, Mira," ujar Amara, suaranya gemetar kecewa. "Kamu di mana?"
"Aku lagi nginap di rumah Maya. Ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok," jawab Mira, suaranya santai tanpa setitik pun rasa khawatir.
Amara mengigit bibirnya. Ia merasa kesal dengan sikap adiknya yang terlalu acuh tak acuh dengan keadaan ayah mereka.
"Mira, Ayah sedang sakit! Kamu harus menjenguk Ayah!" ujar Amara, suaranya meninggi karena kecewa.
"Sudahlah, Kak. Nanti aku jenguk Ayah kalau aku sudah selesai ngapain," jawab Mira, suaranya terdengar cemberut.
"Mira! Kamu nggak nggak ngerti ya kondisi Ayah sekarang seperti apa! Ayah sedang sakit berat! Kamu harus menjenguk Ayah!" teriak Amara, suaranya terasa gemetar kecewa.
"Apaan sih, Kak! Aku lagi ngapain, kamu nggak usah ikut campur!" jawab Mira, suaranya meninggi dan membentak Amara.
Amara terdiam, hatinya terasa hancur. Ia mencoba menahan air matanya agar tak mengalir di hadapan Mira. Ia merasa sedih dan kesal dengan sikap adiknya yang tak peduli dengan keadaan ayah mereka.
"Mira...," lirih Amara, suaranya terasa lemah.
"Aku lagi sibuk! Jangan ganggu aku!" jawab Mira dengan kasar. Lalu ia mematikan teleponnya sepihak.
Amara terduduk lesu di kursi ruangan tunggu. Ia menahan tangisnya. Ia merasa sendirian menanggung beban keluarga. Ia merasa tak berdaya menghadapi keadaan yang sulit ini.
Amara mencoba menenangkan dirinya. Ia harus tetap kuat. Ia harus mencari jalan keluar dari kesulitan ini.
Ia berjalan menuju kamar ayahnya. Ia meletakkan pakaian ganti di atas meja samping tempat tidur ayahnya.
"Ayah...," bisik Amara, menatap ayahnya yang terbaring lemah. "Maafkan Amara. Amara tak berdaya menyelamatkanmu."
Amara mengelus kening ayahnya dengan lembut. Ia merasa sepi dan tak berdaya.
"Amara... jangan sedih," bisik ayahnya lemah. "Ayah baik-baik saja."
Amara menangguk. Ia mencoba menahan tangisannya. Ia harus tetap kuat di hadapan ayahnya.