Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 24
Masih dalam sebuah bayangan semu dengan ribuan harapan yang entah. Aku dalam buaian waktu tak terhingga semakin jauh dari masa lalu yang semakin tahun semakin menghilang tertelan ingatan. Kenangan itu mulai enyah menyembuhkan segala keadaan yang sudah melambung tinggi dan tidak lagi terlihat di pandangan mata. Namun itu semua tidak akan membuat robekan kembali membaik.
Ayah sudah menuruti permintaanku untuk memisahkan rumah dengan basecamp khusus crew atau tim kerjanya, ayah membuat bangunan di samping rumah, awalnya hanya taman kosong sisa halaman dari rumah, karena jarang dirawat ayah meminta izin pada ibu untuk membuat dua petak kamar berdempetan untuk memisah dua pekerjaan yang berbeda, namun ruangan untuk live penjualan tetap menggunakan ruang kamar di rumah. Tidak masalah, yang penting para pekerja ayah memiliki tempat lain untuk sekedar sharing dan bercanda. Aku lebih bebas dalam melakukan aktifitas di dalam rumah.
"Gimana, De?" ayah meledek sambil melempar senyum nakal.
"Tau ahh," sahutku menghindar. Di balik punggung aku tersenyum kecil. Ayah membuatku senang karena sudah menyetujui permohonanku meski telah berdurasi lama baru dituruti.
Ibu menyambut kedatanganku di dapur, seperti biasa, ia masih sibuk mondar mandir mencicipi bolu yang baru matang dan siap dihias. Kedua asisten juga meracik lagi adonan baru. Meski satu dapur dengan dapur pribadi, dapur kami cukup berukuran besar sehingga asisten rumah tidak merasa terganggu sedikit pun oleh pekerjaan ibu dan juga asisten pribadinya.
"Cerah sekali hari ini, ya?" ibu juga menyinggung mencandai.
"Sudah lah ibu, aku tidak suka." rengekku sambil mendecakkan kaki ke lantai. Ibu juga tertawa kecil.
"Udah, makan dulu sana. Kamu bangun siang hari ini, tidak ada kelas?" tanya ibu.
"Ada Bu, nanti siang." sahutku singkat. Aku berbalik mendatangi meja makan, ingin tahu ada sajian apa kali ini. Masakan ibu dan mba memang selalu tiada tanding.
Ada ayam goreng, lalap timun, sayur toge, tempe mendoan, kuah sup dan sambal goreng. Makanan seperti ini selalu menjadi ciri khas di rumah kami, sambal goreng dan kuah sup selalu menjadi favorit ayah sehingga ibu lebih sering memasaknya, aku sendiri kurang suka sebetulnya, tapi karena terbawa ayah, kau tidak mau aku harus ikut menikmati. Kebiasaan ini lah yang pada akhirnya membuatku mulai suka menyantap kuah sup. Tidak basa-basi lagi, piring yang disiapkan langsung kubalik dan diisi dengan satu centong nasi, dan kunaikkan bermacam lauk ke piring, hari ini mungkin aku makan banyak karena mungkin jelas akan terjadi hingga sore hari. Malamnya aku akan terlambat pulang karena macet.
Usai kenyang, aku kembali ke kamar untuk bersiap, hari ini tumben, Lia tidak ada kabar, biasanya ia akan rewel menelpon jika aku datang terlambat. Baginya ada kelas di pagi hari atau tidak, aku harus selalu absen sejak subuh padanya, katanya agar ia tenang jika sudah mendengar kabarku. Lia memang sering menghibur.
[Dling]
"Panjang usia anak itu. Baru saja kusebut namanya dalam hati, udah kirim wa aja." ujarku sendirian sambil mendatangi gawai yang di layarnya sudah bertengger nama "My sweety" nama itu dia catat sendiri di ponselku dulu.
[Ada apa?] balasku masih dalam mendandani wajah dengan serangkaian skin care dan make up karena baru saja selesai mandi dan memilih baju.
[Udah berangkat?]
[Gimana mau berangkat, kamu ganggu aku terus.] aku tertawa mungil. Membaca ketikanku Lia pasti kesal.
[Maafkan aku ndoro putri, telah mengganggu kenyamananmu. Bagaimana jika setelah kuliah, aku traktir ndoro putri makan coconut puding.]
[Apah, hanya makanan penutup?] candaku. Aku rela men-jeda aktifitas mempercantik wajah hanya demi bermain drama ratu-ratuan bersama Lia.]
[Baiklah kalau begitu. Ndoro putri boleh memilih menu apa pun yang diinginkan di sana. Biarkan hamba membayarnya meski harus dimiskinkan total hanya demi menyenangkan hati ndoro kanjeng putri Diningrat ratu sejagad.] aku semakin tertawa riang melihat bagaimana tangan Lia yang gemulai menggoda teman karibnya ini.
Aku sudah siap dan sebentar lagi akan berangkat. Semua kebutuhan kuliah dan protect penjagaan kulit tubuh sudah kumasukkan ke satu tas yang sama. Aku harus menjaga dua komponen di dalam diriku agar seimbang, antara otak dan fisik. Bukan kah sekarang itu yang paling penting di dunia ini. Ah, aku terlalu berlebihan.
"Bu, aku berangkat dulu, ya." aku mempercepat langkah mendatangi ibu untuk pamit dan mencium pipinya. Ibu ikut datang dan langsung memeluk.
"Hati-hati ya." ibu merespon dan langsung melambaikan tangan. Saat membuka pintu, terik menyengat, separah ini kah cuaca panas di ibu kota hingga aku hampir tidak kuat menahan.
"Pak Syariiiiiiif." teriakku lantang, biasanya mobil sudah parkir di depan pintu. Kenapa kali ini kenapa terlambat. Sebetulnya ayah melarang keras aku berteriak kepada siapa pun termasuk juga pada staf yang digaji ayah, katanya aku harus menjaga etika dan sopan santun. Tidak boleh sombong, karena itu adalah salah satu cara agar kekayaan kami bertahan. Menurut ayah, Tuhan membenci kesombongan sehingga titipannya akan ditarik kembali di masa yang lain. Aku percaya tapi untuk kali ini aku tidak suka pak Syarif terlambat.
Pak Syarif datang dengan mobil hitam biasa, aku merengut membuat pak Syarif merasa bersalah.
"Panas," manjaku sambil menaiki mobil yang pintunya sudah dibuka.
"Maaf non, tadi sakit perut." pak Syarif memberi alasan.
"Ya udah, jalan." pintaku dengan wajah masam. Pak Syarif sudah paham Baga mana sikapku, ia tidak akan mudah tersinggung, justru memberi tawa kecil karena perasaan gemas.
Sampai di parkiran kampus, Lia sudah stand by dengan sebilah payung yang terbuka. Ya Tuhan, anak itu benar-benar melakukan tugasnya dengan baik. Ini gila, ha ... ha ... ha ...
"Mari tuan ndoro putri." ucapnya kala menyambut ku keluar dari mobil.
"Apa-apaan sih Li, diliatin orang malu tau, entar dikira aku kenapa lagi." aku pura-pura keberatan. Padahal aku mau disiapkan payung seperti ini guna menghindari panasnya hari di siang bolong.
"Halah, bilang saja sebetulnya kamu bersyukur karena aku bawa payung. Memang kamu mau jalan dari sini ke kelas panas begini?" aku tertawa kuda.
"Aku sebetulnya ingin bawa payung tadi, tapi takut dibilang lebay sama yang lain, hihihi."
"Nah aku tau itu, mankanya aku sudah bilang pada beberapa teman kalau aku sudah kalah taruhan denganmu dan bersedia melayanimu."
"Ya Tuhan, kamu baik banget." aku merangkul Lia, dia bisa saja membuatku bahagia. Aku sangat beruntung memiliki teman seperti dirinya. Dia adalah rezeki terbaikku dua tahun terakhir ini, aku tidak boleh menyia-nyiakan keberadaan Lia. Apa lagi sekarang pak Riyan ayah Lia dan ayah juga sudah menjadi rekan kerja dan teman baik.