Kehidupan Zevanya hancur, semenjak dirinya bertemu dengan seorang pria yang bernama Reynald. Pria itu menyebabkan dirinya harus mendekam didalam penjara yang dingin. Bahkan Zevanya harus menerima hukuman mati, setelah dirinya tertangkap tangan oleh polisi Bandara membawa sejumlah heroin dan pil ekstasi di koper miliknya.
Apakah Reynald , kekasihnya itu dengan sengaja menjebaknya? Ataukah ada orang lain yang ingin memisahkan cinta mereka?
Apakah dendam dalam diri Zevanya terbalaskan, setelah dirinya selamat dari eksekusi mati yang dijatuhkan oleh pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Azalea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKU DADDY-MU, RAIN!
Abraham menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah bergaya cape Cod. Rumah itu tidak terlalu besar, namun memiliki halaman yang cukup luas. Di sekeliling rumah itu ditumbuhi pepohonan rindang. Hingga suasana disekitarnya sangat sejuk dan tenang.
Buru-buru Reynald turun dari mobilnya dan mendatangi alamat rumah yang diberikan Marilyn.
Abraham kemudian mengetuk pintu rumah, bercat putih itu dengan kencang.
Seorang perempuan baya dengan cepat membukakan pintu untuk mereka, setelah tahu siapa yang datang menemuinya.
"Silahkan masuk , Tuan!" Marilyn mempersilahkan kedua orang itu untuk duduk setelah mereka masuk kedalam ruang tamu.
"Langsung saja, Nyonya Marilyn, katakan apa yang kau inginkan dariku, aku tidak punya banyak waktu." Kata Reynald, begitu duduk didepan wanita baya itu.
"Maaf sebelumnya, Tuan Reynald_ nama saya Marilyn," wanita itu memperkenalkan namanya.
"Ya, saya tahu, anda sudah memberi tahu saya sebelumnya," jawab Rey sedikit tidak sabaran.
"Saya ingin sedikit berbagi kisah dengan anda. Saya baru saja keluar dari penjara rumah tahanan Cleveland, sekitar lima bulan yang lalu, saat itu saya membawa seorang anak berumur 5 tahun, namanya Rain," Marilyn berhenti sejenak untuk mengambil nafas.
"Anak itu lahir dan besar di penjara, karena ibunya tidak punya sanak saudara dikota ini. Dia sebatang kara. Rain adalah putra seorang narapidana bernama Zevanya Meghan..." Marilyn menghentikan ucapannya, saat Rey mengangkat jari nya di depan wanita itu.
"Apa maksudmu? _apakah kekasihku pernah dipenjara, dalam kasus apa?" Tanya Reynald tak percaya, keningnya berkerut dengan nyata.
"Jadi, anda tidak tahu sama sekali, Tuan?" Tanya Marilyn menatap Reynald tak percaya.
Rey menggeleng kan kepalanya lemah.
"Zee dipenjara karena, kasus penyelundupan narkoba. Saat itu dia ditangkap di bandara ketika dirinya ingin pulang ke Australia." ungkap Marilyn.
"Tidak mungkin..." Reynald mengusap wajahnya kasar. Kenapa dia tidak mengetahui apapun tentang kekasihnya, kenapa tidak seorangpun yang memberitahunya? Berjuta tanya hadir dalam benaknya.
Saat Zee pulang ke Australia, berarti bersamaan dengan kecelakaan yang menimpa dirinya, pikir Reynald.
"Lanjutkan nyonya! Berapa lama dia dipenjara?"
"Zevanya Meghan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan,Tuan!" jawab Marilyn sedih.
Reynald terhenyak ditempat duduknya. persendiannya terasa lemah.
Tubuhnya gemetar. Tak terasa air mata menggenang di pelupuk matanya.
Abraham mencoba menenangkan sahabatnya itu. Pria itu menangis, merutuki dirinya sendiri.
Marilyn memberikan segelas air putih, kepada Reynald. Namun pria itu hanya diam terpaku ditempatnya.
"Setelah saya keluar dari penjara, ternyata kehidupan saya menjadi sulit. Tidak ada yang mau menerima seorang mantan narapidana bekerja dimanapun, sementara saya harus merawat ibu saya dan juga Rain," lanjut Marilyn.
"Maaf, Saya juga sempat menjual kalung berlian pemberian Zee, untuk bertahan hidup. Saya terpaksa menghubungi anda, karena Rain layak mendapatkan kasih sayang dan hidup yang baik bersama anda." Marilyn bicara dengan jujur.
Reynald masih menyimak cerita Marilyn dengan seksama.
"Zee pernah menceritakan padaku, bahwa anda adalah ayah biologis putranya." Terang Marilyn panjang lebar.
Reynald menatap Abraham dengan tajam, dia yakin Abraham mengetahui semuanya. Tapi, sahabatnya itu menyembunyikan semuanya darinya.
"Jangan bilang, kamu tidak mengetahui apa-apa, Abraham" Tatapan Reynald begitu menakutkan.
Abraham menelan ludahnya dengan kasar.
"Kau harus menjelaskannya padaku," desak Reynald.
"Grandma...Grandma ada tamu ya?" seorang bocah kecil berlari kearah Marilyn dan duduk di pangkuannya.
Serentak Rey dan Abraham menoleh kearah seorang anak kecil, yang duduk manja dipangkuan Marilyn. Wajahnya tampan dan menggemaskan. Hanya saja tubuhnya sedikit kurus. Usianya sekitar lima tahunan, persis seperti yang Rey bayangkan.
"Deg...!" Jantung Rey, berdetak lebih kencang, begitu juga dengan Abraham.
Tak diragukan lagi, wajah anak kecil itu adalah wujud wajah Reynald dimasa kecilnya. Rambut pirangnya tertata rapi dengan belahan yang sama dengan Rey. Hanya mata Rain berwarna kehijauan seperti mata ibunya, Zevanya Meghan. Dan Reynald, tidak memerlukan sebuah pembuktian, apalagi harus melakukan tes DNA. Wajah Rain adalah perpaduan wajah kedua orang tuanya.
"Rain....!" Mata Rey tak lepas memandang bocah kecil didepannya, ingatannya kembali pada saat dia masih menjalani perawatan dirumah sakit, saat itu dia bermimpi, seorang anak kecil yang menghampirinya saat hujan, dan dia memanggilnya dengan nama 'Rain'.
"Grandma, siapa Uncle ini?" tanya si kecil Rain memandang Marilyn heran. Karena tidak biasanya ada tamu dirumah mereka.
"Rain, ayo bersalaman sayang!" Marilyn menyuruh bocah itu mendekati keduanya. Tapi Rain hanya diam mematung.
Reynald mendekat, dan kemudian duduk bersimpuh dihadapan pria kecil itu.
"Siapa namamu, nak?" Tanya Rey lembut.
"Namaku, NICHOLAS RAIN WILSON, Uncle! Kata Grandma, aku lahir saat hujan. Uncle ini, siapa?" Tanya Rain dengan suara imut, khas anak-anaknya. Abraham tersenyum.
Rey menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan.
"Aku Daddy-mu, Rain!" Rey menggenggam tangan kecil itu. Dan menyatukannya didada.
"Daddy? Aku punya Daddy!" Teriak Rain senang, memandang Marilyn dengan raut wajah tak percaya.
Marilyn mengangguk mengiyakan, memandang ayah dan anak itu penuh haru.
"Peluk Daddy, Nak!" Bocah kecil itu menurut dan memeluk Reynald erat. Air mata jatuh di pipi Rey, tanpa bisa dibendung lagi.
"Daddy datang untuk menjemput aku?" Tanya Rain, saat pelukannya terlepas.
"Iya, Daddy datang menjemput mu, nak! kita tinggal sama-sama di rumah Daddy. Oke!"
Bocah itu kembali memandang kearah Marilyn, seolah meminta izin. Marilyn mengangguk.
"Iya Rain, kamu boleh pergi bersama Daddy!" Sahut Marilyn, sambil menangis haru.
"Apakah kau akan ikut denganku, Grandma?"tanya Rain sedih.
"Tidak Rain, tempat Grandma disini," Marilyn menggeleng.
"Lalu, Uncle ini siapa?" Tanya Rain, menoleh kearah Abraham.
"Panggil Uncle Abraham, Uncle temannya Daddy mu, Rain" jawab Abraham tersenyum manis.
"Hai, Uncle Abraham!" Sapa Rain senang.
Abraham mengusap kepala bocah itu lembut.
Reynald kembali duduk di tempat semula, sambil membawa Rain ke pangkuannya.
Reynald tidak bisa melukiskan perasaannya saat ini. Di satu sisi dia bahagia karena bisa bertemu dengan putranya. Disisi lain dia Kecewa karena tidak pernah mengetahui keadaan kekasihnya. Dan kesedihan yang mendalam karena kematian kekasih yang sangat dia cintai.
"Rain, ....Rain main dikamar dulu ya, Grandma mau bicara dengan Daddy Rey," kata Marilyn.
Rain tampak patuh, dan berjalan ke kamarnya.
Seulas senyuman terbit di wajah Rey, senyum pertama yang dilihat Abraham, sejak Rey dinyatakan sembuh dari sakitnya.
"Semoga kehadiran Rain, mampu mengobati luka dihati Reynald." Doa Abraham didalam hati.
Marilyn kemudian memperlihatkan foto-foto kebersamaan mereka dipenjara. Sebuah foto
saat Zee hamil 7 bulan, memakai baju tahanan penjara sangat menusuk jantungnya. Wajah cantik itu tampak kurus, namun senyumnya tidak pernah berubah. Senyum tulus tanpa beban.
Rey mengusap air mata yang mengalir sudut matanya.
"Maafkan aku, Honey," batinnya.
"Marilyn, apakah anda tahu? Kenapa Zee bisa terlibat dalam kasus narkoba itu?"
Sebuah pertanyaan yang Reynald simpan dari tadi.
"Saya tidak tahu Tuan. Tapi menurut Zee, dia tidak tahu apa-apa tentang barang haram itu. Saat dia ditangkap polisi, barang itu sudah ada didalam sebuah bingkisan berisi tas mewah. Katanya tas mewah itu hadiah dari anda." Marilyn menerangkan kejadian sebenarnya.
Rey memegang kepalanya yang tiba-tiba pusing, karena berpikir terlalu keras.
Abraham yang melihat Reynald yang tidak baik-baik saja, segera mengambilkan obat untuk Rey dari dalam mobilnya.
"Rey, minum dulu obatmu!" Kata Abraham.
"Tidak usah Abraham, aku tidak membutuhkannya, aku akan menghadapinya sekarang," Reynald menolak
Setelah Rey mulai tenang, Abraham membiarkan Reynald istirahat sejenak, dengan membaringkan tubuhnya diatas sofa.
"Apa tidak sebaiknya, anda istirahat dikamar, Tuan?" Ujar Marilyn, saat melihat Reynald mulai gelisah.
"Tidak nyonya Marilyn, aku sudah biasa seperti ini, sebentar lagi sakitnya juga hilang." ujar Rey. Dia tidak ingin terlihat lemah didepan Marilyn. Dan keadaannya itu akan membuat Marilyn mencemaskan keadaan Rain, jika tinggal bersamanya.
Pria itu tampak kacau, dia tidak bisa mengingat dengan jelas semua yang telah terjadi, karena sebagian memorinya terganggu setelah kecelakaan maut yang menimpanya.
"Bagaimana kalau kita pulang sekarang, Rey" Saran Abraham.
"Ada banyak hal yang ingin aku ketahui, Abraham." Sahut Reynald.
"Tapi Rey, kau sedang tidak baik-baik saja, sebaiknya kita kembali besok, yang penting sekarang Rain sudah bersama denganmu." Kata Abraham.
"Nyonya Marilyn, apakah anda tahu dimana pusara Mommynya Rain?" Tanya Reynald sebelum mereka pergi meninggalkan Marilyn.
"Maaf, saya tidak tahu, Tuan!" Jawab Marilyn sedikit gugup. Abraham menatapnya tajam.
Abraham tahu, wanita itu berbohong. Marilyn berusaha menyembunyikan keberadaan Zee, dan Marilyn punya alasan kuat untuk membohongi Reynald.
Marilyn bertanya dalam hati, kenapa Abraham tidak mengatakan apapun tentang Zee pada Reynald, padahal pria itu mengetahui semua yang terjadi pada Zee dari awal.
"Baiklah, terimakasih atas semuanya, Nyonya Marilyn! Aku akan membawa Rain bersamaku sekarang," ucap Reynald.
Marilyn mengangguk. Wanita itu segera menyiapkan semua kebutuhan Rain, walaupun sebenarnya, Reynald tidak menginginkannya. Dia akan memberikan semua yang terbaik untuk putranya.
"Sekali lagi, terimakasih Marilyn, jika anda butuh sesuatu, jangan sungkan untuk menelpon ku ataupun Abraham. Aku akan menjamin hidup keluargamu, jangan khawatir!" ucap Reynald tegas.
"Terimakasih, Tuan Wilson.... Terimakasih, aku percaya padamu!" Marilyn membungkukkan badannya berkali-kali.
Bersambung.
Pingin nangis/Sob//Sob/