Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28 : semua selamat
Kapal kargo raksasa itu tampak seperti penyelamat terakhir mereka di tengah pelarian yang melelahkan. Saat Hendra mulai berlayar menjauh dengan perahu kecilnya, Tama hanya bisa menatap kepergiannya dengan rasa syukur yang tak terungkapkan. Hembusan angin laut yang dingin menyapu wajahnya, seolah-olah ikut mengusir rasa cemas yang menggantung di udara sejak mereka kabur dari gudang.
“Cepat, kita harus segera masuk ke kapal,” Tama memimpin kelompoknya dengan nada serius namun penuh ketegasan.
Rani yang berjalan di belakangnya, mengangguk sambil memegang erat tangan Selly, yang tampak pucat dan gemetar. "Kamu oke?" tanya Rani lembut.
Selly mencoba tersenyum, meskipun jelas dari sorot matanya dia masih terkejut. "Aku... aku cuma masih nggak percaya kita lolos," jawabnya dengan suara pelan.
Frisilia, yang berada di belakang mereka, menoleh dan berkata, "Belum waktunya lega. Kita belum aman sepenuhnya."
Mereka mendekati tangga kapal kargo, dan Tama memberi isyarat pada semuanya untuk naik satu per satu. Bayu dan Bagus berada di posisi belakang, berjaga-jaga dengan pistol mereka terhunus, seolah-olah bayang-bayang anak buah Pak Mike masih mengejar mereka dari jauh.
“Salma, Ilham, kalian awasi belakang. Pastikan nggak ada yang mengikuti kita,” perintah Tama, yang direspon dengan anggukan cepat oleh kedua penembak jitu itu. Mereka berdua memasang posisi di dekat tangga, mengamati dengan seksama area sekitar.
Begitu semua orang naik ke kapal, Tama memimpin mereka menuju bagian geladak yang tersembunyi di antara peti-peti kontainer besar. Kapal kargo itu sunyi, hanya suara mesin yang bergemuruh pelan di kejauhan. Sesekali, bunyi riak air laut yang terpecah oleh kapal menambah kesan tenang di tengah ketegangan yang belum sepenuhnya sirna.
“Kita istirahat di sini,” ujar Tama. "Ramon harus segera menyusul."
"Ramon masih di atas pohon, kan?" tanya Rangga sambil berusaha menenangkan dirinya.
"Sudah, tenang saja. Dia pasti tahu apa yang harus dilakukan. Dia penembak terbaik kita," jawab Tama yakin, meski sedikit kekhawatiran masih terbersit di benaknya.
Waktu berlalu perlahan. Detik-detik terasa lebih panjang dari biasanya. Frisilia dan Rani berusaha membuat suasana lebih nyaman dengan bercanda ringan, meski tawa mereka terdengar tertekan.
“Bayangkan, kalau semua ini sudah berakhir, aku pengen banget liburan di pulau yang nggak ada sinyal sama sekali,” celetuk Frisilia.
Rani terkekeh, “Ya, setidaknya di sana kita nggak bakal ditembaki.”
Meskipun percakapan mereka ringan, ketegangan masih terasa menggantung di udara. Tama, yang duduk di dekat tepi dek, matanya terus memandang jauh ke arah lautan, berharap Ramon segera tiba. Kemudian, ponselnya bergetar di kantong.
Tama segera mengangkatnya. “Ramon?”
"Aku sudah di pantai, Tama. Di mana kalian?" suara Ramon terdengar jelas meski ada sedikit gemuruh angin di latar belakang.
Tama melirik ke arah kapal dan memberi isyarat pada Ilham yang ada di dekatnya untuk bersiap. “Kita ada di kapal kargo. Cepat ke sini. Aku akan kirim koordinatnya.”
Ramon tak membuang waktu. “Oke, aku akan segera ke sana.”
Setelah memutus sambungan, Tama memberikan isyarat kepada semua orang. “Ramon sudah di jalan. Kita harus tetap waspada, jangan sampai dia ketahuan waktu naik.”
Salma yang sedari tadi diam, mendekati Tama dan berkata, “Aku akan pantau dari sini. Kalau ada gerakan mencurigakan di sekitar kapal, aku akan beri tahu.”
Tama mengangguk, mempercayai keahlian Salma. Ia tahu betul bahwa Salma tidak akan mengecewakan mereka dalam situasi kritis seperti ini.
Beberapa menit kemudian, terdengar langkah kaki pelan mendekati kapal. Rani, yang sudah siap dengan pistolnya, segera berjaga di sisi geladak. Tapi ketika sosok Ramon muncul dari kegelapan, dia segera menurunkan senjata dengan lega.
“Aku sudah di sini. Ada masalah?” Ramon bertanya dengan napas sedikit terengah.
Tama tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Ramon. “Kamu cepat sekali. Bagus, kita sudah lengkap sekarang.”
Begitu Ramon bergabung, suasana mulai terasa lebih tenang. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Ponsel Tama kembali berdering, kali ini dari Pak Riko. Ia segera mengangkatnya.
“Pak Riko, kami sudah di kapal dan mulai bergerak menjauhi pantai,” lapor Tama.
Suara Pak Riko terdengar penuh dengan nada lega. “Bagus, Tama. Kalian sudah aman. Tetap tenang dan jangan lakukan tindakan gegabah. Kapal itu akan menepi di pelabuhan tempat aku menunggu kalian. Istirahatlah, kalian sudah melalui banyak hal.”
Tama menarik napas dalam. “Terima kasih, Pak. Kami akan tetap waspada.”
Setelah panggilan itu berakhir, Tama menoleh ke teman-temannya yang lain. “Kita aman. Kapal ini akan membawa kita ke pelabuhan di mana Pak Riko menunggu.”
Mendengar itu, keheningan perlahan berubah menjadi emosi yang meluap. Tangis mulai terdengar. Mayang, yang sejak tadi tampak kuat, tiba-tiba jatuh dalam pelukan Rani. "Akhirnya… kita selamat…" isaknya pelan, membuat suasana semakin haru.
Frisilia menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Aku kira… aku nggak bakal selamat.”
Selly, yang sejak awal terlihat paling rentan, mulai menangis keras, mencurahkan seluruh ketakutannya yang tertahan selama pengejaran. “Aku benar-benar takut… aku pikir kita nggak akan pernah keluar dari neraka itu.”
Rani memeluk Selly erat, mencoba menenangkan. “Kita berhasil, Selly. Kita berhasil keluar.”
Sementara itu, Tama hanya berdiri diam. Melihat reaksi teman-temannya membuat perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega, namun di sisi lain, bayangan masa-masa sulit yang baru saja mereka lewati masih membekas dalam pikirannya.
“Ini belum selesai,” gumamnya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Tapi untuk saat ini, ia tahu, mereka berhak merayakan kemenangan kecil mereka. Sebuah kemenangan yang telah membebaskan mereka, setidaknya untuk sementara, dari bahaya yang menghantui di setiap langkah.
Bayu mendekati Tama dan menepuk bahunya. “Kamu baik-baik saja, bro?”
Tama tersenyum lelah, tapi ada ketenangan di dalam matanya. “Ya, aku baik. Kita sudah di jalur yang benar.”
Saat itu, angin laut kembali berhembus, lebih lembut kali ini. Kapal terus bergerak menjauh dari pantai, membawa Tama dan kelompoknya menuju pelabuhan yang lebih aman. Suasana haru masih menyelimuti mereka, namun di balik itu semua, ada keyakinan bahwa meskipun badai belum benar-benar berlalu, mereka akan bisa bertahan bersama.