Leuina harus di nomor duakan oleh ibunya. Sang ibu lebih memilih kakak kembarnya.yang berjenis.kelamin pria. Semua nilainya diakui sebagai milik saudara kembarnya itu.
Gadis itu memilih pergi dan sekolah di asrama khusus putri. Selama lima tahun ia diabaikan. Semua orang.jadi menghinanya karena ia jadi tak memiliki apa-apa.
bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERTEMU DENGAN LUEIN
Seperti janjinya. Alexander Maxwell Junior mendatangi perusahaan yang dipimpin oleh adiknya ini. Sebagai pewaris nomor satu. Pria itu memang harus sesekali turun tangan mengecek di beberapa anak perusahaan miliknya.
Sergio Maxwell II adalah pria bangsawan. Ayah dari dua putra ini memiliki kerajaan bisnis yang tersebar di seluruh dunia. Sergio menikah dengan Tania Ferdinand Volmore yang juga keturunan bangsawan.
Dari pernikahan ini lah hadir Alexander Gabrielle Maxwell ** dan Adriano Fransiskus Maxwell **. Sedangkan Victor Ignatius Dambaldore adalah anak dari sepupu jauhnya yang meninggal karena kecelakaan. Victor berada di tangan Tania ketika masih bayi merah, sama dengan Adrian, bayinya. Bahkan istrinya menyusui Victor waktu itu. Makanya, jika ada yang bertanya berapa anaknya. Sergio akan menjawabnya tiga putra.
Ketampanan Alex yang luar biasa membuat kaum hawa sesak napas dan langsung heboh. Mereka mencari tahu, siapa pria yang datang itu.
"Wah, sepertinya pria itu bukan pria sembarangan di perusahaan ini. Buktinya, ia bisa memakai lift khusus itu," bisik salah satu karyawati pada rekan di sebelahnya.
"Sepertinya begitu. Kau lihat pakaian formal yang dipakainya?" sahut rekannya yang sesama wanita. "Terlihat sangat berkelas dan mahal!"
Tiba-tiba Luein dan Diana datang secara bersamaan. Luein yang menginap di rumah Diana, kini sedikit berias karena Veronica mendandani mereka berdua.
"Sebagai pekerja yang berhubungan dengan para Boss besar harus memiliki wajah yang menarik. Bukan maksud untuk menggoda Boss-nya tetapi, itu adalah tuntutan kerja," jelas wanita itu ketika memoles riasan di kedua gadis yang sama-sama tomboy itu.
"Eh, kenapa muka keduanya itu?" ketika salah satu karyawati melihat wajah Diana dan Luien yang berias natural.
Namun, karena sudah beberapa hari ini keduanya memang tak pernah memakai riasan. Jadi ketika pakai banyak yang heran.
"Halah ... biasa. Mau menggoda atasannya. Kemarin-kemarin itu cuma trik agar si Boss memperhatikannya, gitu udah dapet, baru deh ngeliatin wujud aslinya," sahut karyawati lain mencibir.
Luein mengepalkan tangan, ini lah yang paling ia tak suka. Tuduhan tak mendasar yang dilayangkan untuknya. Diana merangkul bahu sahabatnya.
"Abaikan saja. Anggap saja mereka iri," ujarnya menenangkan Lueina.
"Akan kuhapus make up ini!" tekad Luein.
"Jangan, nanti mereka ngomong aneh lagi. Udah biar aja!" tekan Diana mengingatkan.
Luein akhirnya diam. Ia sedikit heran dengan orang-orang, kenapa mereka selalu mencari kesalahan dan kekurangan orang lain. Lagi-lagi ketika hendak menaiki lift. Seseorang berlari kencang dan berteriak untuk menahan pintu lift.
"Tunggu!"
Luein pun menahan pintu agar orang itu masuk. Gloria terengah-engah. Kebiasaan bangun siang dan tak mandiri membuatnya selalu nyaris terlambat.
"Eh, ketemu orang miskin lagi," ujarnya menghina Luein dan Diana di sela ia mengatur napasnya.
"Tau gitu, tak usah kau tahan pintu lift ini. Aku ingin dia di skors karena datang terlambat!" celetuk Diana pada Luein.
Gloria terdiam. Ia tak akan bisa melawan perkataan Diana. Gadis itu sangat pedas level perkataannya. Tak ada yang bisa menandingi. Bahkan Anneth sahabatnya Gloria.
Gloria keluar di lantai sebelas di mana divisi administrasi perusahaan berada. Diana nyaris meledek gadis itu jika saja tak mendapatkan tatapan tajam sahabatnya.
"Ish!" ketus Diana kesal.
"Jangan menghina sebuah pekerjaan, kita tak tahu nanti kita bekerja sebagai apa setelah lulus," peringat Luien pada sahabatnya itu.
Diana memang terlalu berlebihan jika ingin mengumpat. Gadis itu hanya memasang wajah menyesal. Luein menghela napas panjang. Kini mereka sampai pada lantai dua puluh tujuh.
"Aku tak melihat Hugo dan Brandon?" ujar Luein bertanya.
"Kau bertanya pada siapa?" tanya Diana ulang.
Luein hanya menggeleng. Gadis itu memang selalu perhatian akan sesuatu. Setelah melakukan absensi dengan kartu dan sidik jari, mereka berdua mengetuk pintu.
"Kalian terlambat satu menit!' sebuah suara bass mengagetkan kedua gadis itu.
Luein menatap Diana. Jam masuk pukul 08.30 bagi peserta magang seperti mereka. Ini baru 08.10. masih ada dua puluh menit lagi.
"Jika kami karyawan sebenarnya, memang kami terlambat satu menit lewat lima belas detik, Tuan!" sela Diana langsung.
"Kau menentang aturanku?" sahut Adrian geram, tak ada satu pun manusia yang berani menyela pembicaraannya.
"Anda menentang aturan pemerintah dalam hal pekerja terlebih mereka adalah mahasiswa magang!" ketus Diana membungkam mulut Adrian.
Alex yang ada di sana, nyaris tertawa. Ia sangat salut akan keberanian pekerja magang itu. Bahkan ketika melihat setelan yang dikenakan gadis itu, ia sangat yakin jika Diana bukanlah anak orang kaya.
"Semestinya kau takut melawan atasanmu, Nona ... Lambert!" tegur Alex membela adiknya.
"Jika dia benar, kami akan tunduk Tuan!" sela Luein dengan nada tegas.
Alex terdiam. Ia menatap iris abu-abu yang memandangnya dengan berani dan sangat menusuk. Iris hijau Alex membesar menangkap semua kegalauan dan kesedihan yang tersimpan di netra cantik itu.
Matanya pun menatap gadis yang berdiri dengan tenang di sebelah Luein.
"Wah, keduanya menarik!" bisik Alex pada adiknya.
"Jangan kau goda. Luein milikku dan Diana milik Vic!" peringat Adrian juga berbisik.
"Lalu apa kalian hanya berdiri saja?' tegur Victor kini.
Keduanya memutar mata malas. Alex sampai terkekeh melihat tingkah berani yang diperlihatkan kedua gadis itu. Sepanjang bekerja. Tak hentinya Adrian mengerjai dua pegawai magangnya.
Tidak ada keluhan satu pun keluar dari mulut mungil kedua gadis itu. Mereka melakukan semua pekerjaan dengan baik bahkan review keduanya sangat memuaskan.
"Tuan Dambaldore, Tuan tidak lupa dengan janji temu siang ini dengan para kolega bisnis, terutama makan siang dengan Tuan Lazuard Deon Philips?" tanya Diana mengingatkan atasannya.
Luein sempat beku ketika nama itu disebutkan oleh sahabatnya. Ia berharap boss-nya tak mengajaknya serta.
"Kita akan menemuinya, apa kau sudah menyiapkan semuanya, Nona Philips?" tanya Adrian.
"Sudah Tuan!" jawab Luien sambil menghirup udara banyak-banyak.
Jantungnya kini berdegup kencang. Kini mereka berlima dalam satu mobil. Victor yang mengemudikan sedan mewah itu. Diana ada di depan sedang Luein duduk diapit oleh dua atasan tampannya.
Alex dapat melihat kecemasan Luein. Terlihat gadis itu meremas kedua tangannya. Menatap wajah cantik yang sesekali menggigit bibir bawahnya. Alex menelan saliva kasar.
Belum pernah ia merasakan gairah sebesar ini ketika melihat lawan jenis. Semua wanita yang berhadapan dengannya akan bersikap menggoda dan menebar aura sensual mereka, hingga terkadang Alex jijik melihatnya.
Namun, ketika ia berhadapan dengan Luein. Tak ada satu pun gerak maupun aura gadis itu menggodanya. Bahkan riasan tipis yang digunakan Luein tak mencolok siapapun memandangnya.
Tak lama mereka pun tiba di restauran berkelas di kota itu. Luein sangat mengenalnya. Restauran itu adalah milik ayahnya.
Mereka pun masuk ruang VVIP ketika diantar oleh pelayan di sana. Kelimanya pun masuk Ruangan.
"Selamat datang Tuan Adrian Maxwell Junior dan Tuan Alexander Maxwell Junior serta Tuan Victor Ignatius Dambaldore," sebuah suara yang membuat jantung Luein bergetar.
Kedua iris berbeda itu saling tatap. Deon menatap penuh kerinduan pada putrinya begitu juga sebaliknya.
"Luein ... putriku," panggil Deon dengan suara sangat lirih.
"Daddy," panggil Luein juga dengan suara lirih.
bersambung.
hmmm
next?