Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Lala
Dion berdiri termenung di dalam toko buku pamannya, suasana yang biasanya diramaikan oleh keluhan dan ulah Luna kini terasa sepi. Tanpa Luna yang sering mengusik dengan sikap usilnya, Dion merasa ada yang kurang. Sambil berdiri di dekat meja kasir, pikirannya tak bisa lepas dari Clara. Kenangan akan gadis itu mulai muncul satu per satu.
Dulu, Dion pernah berpikir bahwa Clara menginginkannya sebagai lebih dari teman, tapi kenyataannya jauh berbeda. Clara hanya butuh seseorang untuk menghibur hidupnya yang terasa kosong, dan Dion saat itu menjadi pelampiasannya. Namun, sekarang ia menyadari bahwa Clara bukanlah orang yang bisa dia capai, setidaknya untuk saat ini. Mereka hidup di dunia yang sama sekali berbeda.
Dion menghela napas panjang, membuang lamunan suramnya, dan memutuskan untuk keluar menyiram bunga di depan toko. Mengalihkan pikiran dengan melakukan aktivitas fisik adalah cara terbaik untuk meredakan kekosongan yang melanda. Saat ia sedang asyik dengan watering can di tangan, tiba-tiba terdengar suara tawa anak-anak dari balik gedung besar di seberang toko. Lalu, disusul oleh suara benda terjatuh yang cukup keras.
Dion berhenti menyiram dan menajamkan pendengarannya. Rasa penasaran membuatnya melangkah pelan menuju sumber suara. Di sana, ia melihat seorang anak laki-laki yang tampak sedang dirundung oleh tiga anak seusianya. Anak yang sendirian itu tampak ketakutan, sementara ketiga anak lainnya berdiri mengelilinginya dengan ancaman.
"Kalau kamu bilang ke guru, kami bakal mukulin kamu lebih parah!" ancam salah satu anak yang tampak menjadi pemimpin kelompok itu.
Dion tidak bisa diam saja. Dengan gerakan cepat, dia menyiram kepala anak yang mengancam itu dengan air dari watering can yang masih dipegangnya.
"Dan kalau kamu berani macam-macam lagi, abang akan menyirammu kembali," ucap Dion sambil tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih terlihat menakutkan ketimbang ramah. Anak-anak perundung itu langsung melompat mundur, terkejut oleh aksi tiba-tiba Dion.
"Wah, bang! Bang! Kami bercanda kok!" seru anak yang tadi mengancam, sembari mengangkat tangannya seperti meminta ampun.
"Candaan macam apa itu? Pergi, sebelum aku kasih air lagi," Dion menatap mereka dengan mata tajam. Tanpa perlu diperintah dua kali, ketiga anak itu langsung kabur sambil tertawa kecil, meski jelas mereka ketakutan.
Dion kemudian menoleh ke anak yang dirundung. Bocah itu masih berdiri kaku, terdiam karena tak percaya ada orang yang datang membantunya. Dion mendekati anak itu, meletakkan watering can-nya, lalu berkata, "Kamu nggak apa-apa?"
Anak itu mengangguk pelan, wajahnya masih terlihat tegang. "Terima kasih, Kak... Aku kira mereka bakal beneran mukulin aku."
Dion tersenyum kecil. "Tenang aja. Kalau mereka ganggu kamu lagi, datang ke toko buku ini. Nama kamu siapa?"
"Namaku Dimas," jawab bocah itu dengan suara pelan.
Dion mengangguk. "Baik, Dimas. Kamu nggak usah takut sama mereka. Ngomong-ngomong, kenapa tadi mereka ngerundung kamu?"
Dimas menunduk, merasa malu, lalu menjawab lirih, "Soalnya aku nggak kasih mereka contekan waktu ujian semester kemarin. Mereka nyuruh aku kasih jawaban, tapi aku nggak mau."
Dion terkekeh pelan. "Berarti kamu anak yang pintar. Bagus, jangan kasih contekan sama orang lain. Mereka harus belajar sendiri."
Dimas tersenyum malu-malu. "Iya, Kak."
Saat percakapan mereka selesai, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil nama Dimas. Dion menoleh, dan terlihat seorang gadis remaja cantik berlari ke arah mereka. Rambut panjangnya tergerai, dan wajahnya tampak khawatir.
"Dimas! Kamu nggak apa-apa?" seru gadis itu sambil menghampiri mereka.
Dimas tersenyum dan menenangkan kakaknya. "Aku nggak apa-apa, Kak. Kak Dion tadi bantuin aku."
Gadis itu berhenti di depan mereka, mengamati Dion sejenak sebelum tersenyum lega. "Terima kasih ya, sudah nolongin adikku."
Dion hanya mengangguk singkat. "Nggak masalah. Anak-anak tadi hanya butuh sedikit pelajaran."
Dimas kemudian memperkenalkan kakaknya kepada Dion. "Kak, ini Kak Dion. Kak Dion kerja di toko buku itu," kata Dimas sambil menunjuk ke arah toko.
Gadis itu mengangguk, lalu memperkenalkan dirinya. "Oh, jadi kamu Dion. Nama aku Lala, kakaknya Dimas. Terima kasih sekali lagi ya, Dion."
Dion hanya tersenyum. "Sama-sama, Lala."
Lala kemudian melirik ke arah toko buku yang tadi ditunjuk Dimas. "Toko buku itu kamu yang jaga, Dion?"
"Iya, aku bantuin pamanku selama liburan ini," jawab Dion.
Lala tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum lebih lebar. "Wah, kebetulan banget. Aku suka baca buku. Kayaknya aku bakal sering mampir ke toko kamu deh selama liburan ini."
Dion tersenyum lagi, kali ini sedikit kaku. "Silakan. Meskipun jujur aja, toko bukunya sering sepi."
Lala tertawa kecil. "Tenang aja. Aku bakal bikin toko kamu lebih rame."
Setelah beberapa basa-basi lagi, Dimas dan Lala pamit, meninggalkan Dion yang kembali ke tokonya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jam di dinding toko menunjukkan pukul dua siang ketika Dion duduk di belakang meja kasir, menghabiskan waktunya dengan melirik ke arah layar ponsel yang sesekali bergetar karena pesan grup WhatsApp dari teman-temannya. Namun, keasyikannya terganggu oleh suara lonceng pintu yang berdentang pelan, menandakan ada seseorang yang masuk ke dalam toko.
Ketika Dion mendongak, dia melihat sosok Lala yang berjalan masuk dengan membawa tas kecil di tangannya. "Hai, Dion," sapa Lala dengan senyum ramah yang khas.
Dion kaget sekaligus senang. "Lala? Wah, beneran kamu mampir. Ada angin apa nih ke sini lagi?"
Lala mendekat sambil mengangkat tas kecilnya. "Aku bawain bekal makan siang buat kamu. Katanya kemarin kamu jaga sendirian, aku pikir kamu pasti sibuk dan lupa makan."
Dion tertawa kecil, merasa terharu. "Serius? Kamu beneran baik banget. Kebetulan aku emang belum makan siang."
Ketika Lala menyerahkan bekal makan siang itu, Dion berterima kasih dan segera membuka kotak makan yang penuh dengan hidangan lezat. Saat mencicipinya, dia merasa takjub dengan rasa makanan yang begitu enak. Sambil makan, obrolan antara Dion dan Lala pun mengalir.
"Kamu jago banget masaknya, serius ini enak banget. Yang masak kamu, kan?" Dion menatap Lala sambil mengunyah.
Lala tersenyum bangga. "Iya, aku yang masak. Senang dengarnya kalau kamu suka."
Dion terus makan dengan lahap, sementara Lala melihat-lihat buku-buku yang tertata di rak. Saat dia memegang sebuah buku tebal, Lala berhenti sejenak, menatap Dion, lalu berkata dengan nada yang sedikit serius namun tetap ramah, "Oh iya, Dion, aku belum sempat berterima kasih."
Dion meletakkan garpunya dan mengernyitkan dahi. "Berterima kasih? Untuk apa?"
Lala tersenyum lebih hangat. "Untuk apa lagi kalau bukan karena kamu sudah menolong Dimas kemarin. Dia cerita semuanya sama aku tadi pagi. Kalau kamu nggak ada, mungkin dia bakal babak belur gara-gara anak-anak itu."
"Oh, itu," Dion sedikit merendahkan bahunya, berusaha meremehkan apa yang dia lakukan. "Nggak perlu terima kasih, itu hal biasa. Aku cuma kebetulan lewat dan nggak suka liat ada yang diperlakukan kayak gitu."
"Tetap saja," Lala berkata pelan, "buat aku dan Dimas, itu berarti banget. Apalagi Dimas nggak pernah cerita ke kami sebelumnya soal dia dibully di sekolah. Setelah kamu bantuin, dia jadi lebih terbuka ke aku."
Dion mengangguk, merasa sedikit tersentuh mendengar bagaimana Lala begitu peduli dengan adiknya. Lala memang terlihat sebagai sosok yang dewasa dan penuh perhatian, cocok dengan kesan pertama yang Dion dapatkan sejak pertemuan mereka di taman kemarin. Dion sebenarnya sudah punya prasangka bahwa Lala adalah anak kuliahan, mengingat caranya berbicara dan sikapnya yang anggun serta mapan. Namun, dia belum pernah menanyakan langsung ke Lala tentang itu.
Sambil mengunyah makanan terakhir, Dion berpikir sejenak, 'Kelihatan banget deh Lala ini pasti udah kuliah, dari cara ngomongnya aja udah beda. Sikapnya tenang, nggak kayak anak SMA. Pasti kuliah di jurusan yang serius juga.'
Namun, karena dia merasa itu bukan topik yang perlu dibicarakan sekarang, Dion tidak menanyakannya langsung.
"Ngomong-ngomong soal Dimas," lanjut Lala, "dia itu suka banget cerita tentang kamu sekarang. Katanya kamu orang yang seru dan kuat. Sejak ketemu kamu, dia kayak punya pahlawan baru." Lala terkekeh kecil sambil menatap Dion, seolah menguji reaksinya.
Dion tertawa, merasa sedikit malu. "Ah, Dimas terlalu lebay. Aku cuma anak biasa yang kebetulan bisa siram anak-anak nakal pake watering can."
Mereka berdua tertawa bersama. Suasana di toko itu terasa lebih ringan dengan kehadiran Lala, dan Dion merasakan hari-harinya mulai lebih berwarna.
Setelah makan siang selesai, Lala terus melihat-lihat buku di rak-rak toko. Dia tampak menikmati setiap buku yang dia sentuh, membaca sinopsis dan memperhatikan dengan cermat sampulnya. Hingga akhirnya, dia menemukan beberapa buku yang tampaknya menarik perhatiannya.
"Aku suka beberapa buku ini," ujar Lala sambil membawa beberapa buku ke kasir, "tapi sayangnya aku nggak bawa uang sekarang. Jadi aku nggak bisa beli dulu."
Dion tersenyum. "Nggak masalah. Kapan-kapan juga bisa kok. Toh kamu sering ke sini, kan?"
Lala mengangguk. "Iya, aku pasti balik lagi. Besok mungkin aku akan mampir lagi buat ambil buku-buku ini."
Obrolan mereka terus berlanjut ke berbagai topik menarik, mulai dari cerita masa kecil Lala dan Dimas hingga hobi-hobi mereka. Lala bercerita tentang pengalamannya kuliah dan kesibukannya dengan berbagai kegiatan kampus, yang semakin memperkuat prasangka Dion bahwa Lala memang mahasiswa. Namun, meskipun penasaran, Dion tetap menahan diri untuk tidak menanyakan langsung hal itu. Baginya, apa pun status Lala, pertemuan mereka tetap menyenangkan.
Jam pun terus berputar tanpa terasa hingga jarum jam menunjukkan pukul lima sore.
“Aku harus pulang sekarang, Dion. Udah sore,” ujar Lala sambil melirik jam tangan mungilnya.
Dion berdiri, mengantar Lala sampai ke depan pintu toko. "Makasih banget buat makan siangnya, Lala. Dan makasih juga udah nemenin ngobrol seharian."
Lala tersenyum hangat, memberikan lambaian tangan kecil. "Sama-sama. Aku senang bisa mampir. Besok aku bakal datang lagi. Ada beberapa buku yang masih ingin aku lihat."
Dion mengangguk. "Aku tunggu, hati-hati di jalan."
Lala mengangguk sebelum akhirnya melangkah pergi. Dion berdiri di depan toko, memandangi sosok Lala yang berjalan menjauh, merasa ada sesuatu yang hangat dalam pertemuan mereka hari ini. Senyum kecil pun muncul di wajahnya, sebelum dia kembali masuk ke dalam toko dan menutup pintu di belakangnya.
Hari yang penuh kesunyian berubah menjadi penuh keceriaan, dan Dion merasa sedikit lebih ringan daripada sebelumnya. Dunia mungkin memang rumit, tapi pertemuan dengan orang-orang baru seperti Lala membuatnya merasa bahwa hidupnya tidak selalu harus seberat yang dia pikirkan.
To be continued...