"Dia membuang sebuah berlian, tapi mendapatkan kembali sesuatu yang kurang berharga. Aku yakin dia akan menyesali setiap keputusannya di masa depan, Illana."—Lucas Mathius Griggori.
Setelah cinta pertamanya kembali, Mark mengakhiri pernikahannya dengan Illana, wanita itu hampir terkejut, tapi menyadari bagaimana Mark pernah sangat mengejar kehadiran Deborah, membuat Illana berusaha mengerti meski sakit hati.
Saat Illana mencoba kuat dan berdiri, pesona pria matang justru memancing perhatiannya, membuat Illana menyeringai karena Lucas Mathius Griggori merupakan paman Mark-mantan suaminya, sementara banyak ide gila di kepala yang membuat Illana semakin menginginkan pria matang bernama Lucas tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Eclaire, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Pria yang berjuang.
"Mohon Tuan Lucas mempertimbangkan keamanan barang-barang kami. Aku mendengar kabar sebelumnya bahwa interpol bisa saja menyergap di pelabuhan, barang-barang itu sangat berharga, aku telah bernegosiasi selama berbulan-bulan dengan kolektornya sebelum mendapat harga yang cocok."
Lucas tersenyum remeh, ia telah memeriksa lebih dari dua puluh lembar gambar beragam barang antik berharga ratusan juta yang didapatkan secara ilegal dari klien di depannya, pria itu menginginkan pengawalan serta pengamanan ketat di pelabuhan lusa nanti ketika barang-barang tersebut mendarat menggunakan kapal selundupan.
"Aku sudah mengajukan harga yang pantas, tapi kamu juga mempertimbangkan tentang hal itu. Jika kita saling mempertimbangkan, situasi ini takkan selesai. Bukan hanya barang-barangmu, aku juga harus menjamin para orangku."
"Namun, bukankah itu sangat besar?"
"Benarkah?" Ia menyulut sebatang rokok seraya mengangkat kedua kakinya di atas meja, bersikap angkuh seperti biasa. "Orang-orangku sangat terlatih dan bermain rapi, tentu saja ada harga lumayan yang harus dibayarkan, kamu bisa mendapatkan barang dengan total milyaran itu, tapi menyewa pengawal keamanan saja tidak mampu, huh?" Ia mencemooh, berdecih kesal, sungguh membuang waktu.
Pria tersebut mendengkus, sepertinya ia harus mengikuti keinginan Lucas, barang-barang antik tersebut memiliki nilai jual yang menjanjikan. Jika ia sampai gagal mendapatkannya di tangan, kerugian besar diterima mutlak olehnya.
"Baiklah, aku akan membayar sesuai harga yang diajukan."
"Kemudian, transfer uangnya sekarang."
"Sekarang? Mengapa sekarang? Bukankah semua bisa dibayar setelah misi selesai?" Ia berhasil membuat beberapa orang yang berdiri di belakang Lucas menggertakan gigi-giginya, menahan kesal menghadapi klien penuh keraguan ini.
"Aku selalu mendapatkannya pada bagian awal, aku juga tak ingin mengambil risiko penipuan. Apa kamu belum mengerti?"
"Namun—"
"Gagalkan saja."
"Baiklah, baiklah. Aku akan meminta asistenku mengirim uangnya sekarang, mohon tuan Lucas menunggu sejenak." Ia mendengkus, ekspresinya menjadi cukup muram, berbeda dari sejak kedatangan awal ketika muncul di tempat ini, lalu menghubungi seseorang agar mengirimkan uang pada rekening Lucas.
"Sangat manis, jika transaksi berjalan lancar sejak awal, kamu tak harus menunjukan ekspresi masam seperti itu." Lucas mengejeknya, ia ahli bersikap meremehkan dan merendahkan terhadap siapa pun.
"Tuan, lihatlah." Beny membungkuk di samping Lucas seraya menunjukan sejumlah total saldo masuk dari harga yang sudah disepakati melalui iPadnya.
"Sesuai kesepakatan. Anda bersikap sangat bijak karena telah mempercayakan kepadaku untuk mengurus masalah ini, kami pasti memberikan hasil terbaik agar klien puas."
Pria berkacamata di seberang Lucas mengangguk, meski kesal, ia merasa lebih lega sekarang. Setidaknya ia telah berhasil menyewa jasa pengawalan dari orang paling berpengaruh di kota ini.
"Ya, Tuan Lucas. Terima kasih karena sudah menerima permintaanku."
"Beny, antarkan dia keluar dengan selamat, pastikan tak ada mata-mata yang mengawasinya."
"Baik, Tuan."
Klien berkacamata tersebut beranjak dan bersalaman dengan Lucas, Beny serta beberapa pengikut Lucas mengawalnya meninggalkan tempat ini, keamanan klien telah menjadi hal utama sejak bertahun-tahun 'bisnis gelap' miliknya berlangsung.
Terlalu lucu menanggapi bagaimana klien tersebut sangat polos karena datang sendirian, seolah dia hanya pergi membeli es krim di sebuah minimarket tanpa harus mencemaskan apa pun, sementara di luar sana ada banyak musuh Lucas berkeliaran, mengincar siapa pun yang berusaha bekerjasama dengan pria itu sebagai upaya membuat kerugian.
Setelah sebagian orang menyingkir, ponsel Lucas berdering. Ia mengerutkan kening melihat nama Illana muncul di sana.
"Hallo, Lucas. Aku ingin mengubah jawabanku, mari kita menikah minggu depan."
Bip!
Telepon berakhir singkat secara sepihak, tapi Lucas masih mempertahankan ponsel menempel di telinga bersama ketegangan yang mendominasi raga serta pikirannya.
Ia bahkan belum mengucapkan apa pun, dan Illana memberi informasi yang membuat jantung pria itu berdegup kencang.
"Sial! Sikapnya membuatku kebingungan." Ia beranjak seraya menyambar kunci mobil di meja, lalu bergegas meninggalkan tempat ini.
Para pengemudi dari sebaris mobil yang dipimpin Beny saat mengawal klien mereka justru kebingungan melihat mobil Lucas melesat kencang dari sisi berlawanan.
"Apa yang terjadi? Mengapa Tuan Lucas sangat tergesa? Ia selalu menganggap jalan raya adalah hasil keringatnya sendiri," gumam Beny saat melihat kendaraan Lucas semakin menjauh, bosnya tak lagi menggunakan mobil 'hasil kecelakaan' yang sempat dikemudikan ketika mendorong van hingga menabrak pohon beberapa hari sebelumnya.
Lucas memiliki lebih dari lima mobil, ia hanya perlu memilih salah satunya sesuai suasana hati pria itu, barang rusak harus dibuang, menghamburkan uang bukan masalah.
Sial! Lucas terjebak macet.
Aneh, mengapa ada kemacetan malam hari?
Pria itu keluar dari mobil dan mencoba menghampiri petugas kepolisian yang sibuk mengamankan lalu lintas.
"Apa yang terjadi?" tanya Lucas seraya memperhatikan sekitar.
"Ada kecelakaan beruntun di depan sana, Tuan. Sekitar lima kendaraan terlibat."
"Kemacetan ini akan berlangsung lama?"
Petugas tersebut tampak berpikir. "Kemungkinan satu jam, kami minta maaf terhadap situasi tak terkendali ini."
Lucas mendengkus, ia mundur dan kembali memasuki mobilnya. Aneh, mengapa setiap ingin menemui Illana karena perasaan gelisah yang mendominasi—pasti Lucas mengalami hambatan, terakhir kali ia dikejar orang-orang dari musuhnya sampai kecelakaan.
"Satu jam? Aku harus duduk tenang di sini selama satu jam?" Ia memukul kemudi, begitu kesal. "Aku harus mendengar penjelasan dari Illana, tapi menunggu selama satu jam hingga pantatku terbakar. Ini sudah gila."
Lucas memilih keluar, ia menelepon Beny untuk memerintahkan sesuatu. "Kalian masih di jalan?"
"Ya, Tuan. Mengapa Anda mengemudi cukup kencang?"
"Aku ingin menemui Illana, tapi terjebak macet di sini. Aku akan meninggalkan mobilku dan mencari alternatif lain agar sampai di apartemennya. Jika kau sudah selesai mengantar klien kita, tolong kemari dan urus mobilku."
"Alternatif lain?"
"Ya, aku akan mengirim titik lokasinya kepadamu."
"Baik, Tuan."
Setelah mengakhiri telepon, ia berjalan menyusuri trotoar, jarak antara posisi mobil serta lokasi kecelakaan terjadi mencapai satu kilometer. Beberapa kendaraan serta korban yang terlibat masih dievakuasi oleh petugas medis serta polisi di sana.
"Jika aku hanya berjalan, jam berapa sampai di apartemen Illana? Apakah ada taksi di sekitar sini?"
Lucas berusaha menunggu, meski ia paling benci melakukannya, menunggu sangat membosankan. Namun, hingga lima belas menit kesabaran pria itu telah habis, tak ada taksi kasong melintas, ia memutuskan berlari menyusuri trotoar sekuat tenaga.
***
"Nona, waktunya meminum obat." Yuan membawa nampan berisi segelas air mineral serta beberapa butir obat ke kamar Illana.
"Ya."
Sejak kembali ke unitnya, Illana menjadi lebih pendiam, ia melamun di dalam kamar, dan Yuan memperhatikan wanita itu dari celah pintu yang terbuka.
"Apa Nona membutuhkan hal lain?"
"Tidak." Ia telah meneguk seluruh obat. "Beristirahatlah saja, ini sudah malam."
"Baik, Nona." Yuan membawa keluar nampan serta gelas kosong tanpa lupa menutup pintu.
Illana kembali melamun, ia tetap duduk di ranjang seraya menatap satu lukisan di kamarnya.
"Argh! Sepertinya aku bersikap terlalu impulsif, mengapa aku seperti ini, huh? Aku seperti tidak mengenali diri sendiri." Ia terusik menghadapi keputusannya saat bersinggungan dengan Mark. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Ia memilih beranjak mencari kegiatan lain ketimbang tenggelam bersama kebingungan. Wanita itu duduk di sofa ruang tamu dan mengambil sebuah majalah baru yang masih terbungkus plastik setelah dikirim dua hari sebelumnya.
Tok-tok-tok!
Masih lembar pertama, fokus Illana beralih pada pintu yang tertutup rapat. Ia tersentak setelah melihat kamera interkom.
"Dia bergegas kemari?"
Tok-tok-tok!
Illana membuang napas, ia masih bergeming memperhatikan pria itu melalui kamera interkom, Lucas seperti menekan beberapa pin kode masuk apartemen Illana, pria itu pasti pengingat yang baik.
Namun, pintu tak segera dibuka, membuat Illana semakin memperhatikannya.
"Mengapa hanya diam di sana? Apa dia tak berani menerobos masuk?"
Illana memilih membuka pintu, Lucas tersenyum penuh arti ketika wujud wanita yang ingin ditemuinya telah muncul.
Wajah, leher serta pakaian penuh keringat menjadi pemandangan yang menyapa Illana, ia tertegun beberapa saat.
"Illana. Kamu harus tahu bahwa jika sudah menempatkan sebuah keputusan besar, kamu tidak dapat mengubahnya. Jadi, aku akan mengikuti permintaanmu, mari menikah minggu depan."
***