Terjebak dalam kesalahpahaman di masa lalu, menyebabkan Lauren dan Ethan seperti tengah bermain kejar-kejaran di beberapa tahun hidup mereka. Lauren yang mengira dirinya begitu dibenci Ethan, dan Ethan yang sedari dulu hingga kini tak mengerti akan perasaannya terhadap Lauren. Berbagai macam cara Lauren usahakan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, namun berbagai macam cara pula Ethan menghindari itu semua. Hingga sampai pada kejadian-kejadian yang membuat kedua orang itu akhirnya saling mengetahui kebenaran akan kesalahpahaman mereka selama ini.
“Lo bakal balik kan?” Ethan Arkananta.
“Ke mana pun gue pergi, gue bakal tetap balik ke lo.” Lauren Winata.
Bagaimana lika-liku kisah kejar-kejaran Lauren dan Ethan? Apakah pada akhirnya mereka akan bersama? Apakah ada kisah lain yang mengiringi kisah kejar-kejaran mereka?
Mari ikuti cerita ini untuk menjawab rasa penasaran kalian. Selamat membaca dan menikmati. Jangan lupa subscribe untuk tahu setiap kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Choi Jaeyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata itu Alasannya
“Woy! Apa-apaan ini, lo buat masalah lagi sama Lauren?”
Baru saja Ethan menginjakkan kakinya di rumah, dia sudah dikagetkan dengan suara keras yang berasal dari saudara kembarnya. Dia memang sudah menebak jika Nathan akan membuat keributan dengannya tepat pada saat dia pulang ke rumah. Namun dia tak menyangka laki-laki itu bukannya ribut karena masalah dia yang tak dibawa pergi liburan, melainkan ribut pasal yang berkaitan dengan Lauren.
Apakah kembarannya itu sudah tahu tentang keributannya dengan Lauren tadi pagi?
“Apaan sih. Gue baru juga nyampe rumah, lo udah ngajak ribut aja.”
“Noh. Liat sendiri dengan mata yang dikasih Tuhan ke lo buat ngeliat,” dengan nada bicara kesalnya, Nathan mengarahkan ponselnya tepat ke depan wajah Ethan.
Selanjutnya Ethan melotot tak percaya setelah melihat aplikasi whatsapp di ponsel tersebut, lebih tepatnya lagi menampilkan sebuah room chat. Di mana nama kontak yang tertera di sana adalah nama Lauren dan gadis itu baru saja mengirim hasil screenshot bahwa dia sudah mengirimkan sejumlah uang ke rekening Nathan.
Lauren juga mengirimkan sebuah pesan setelahnya, isi pesan tersebut ialah memberitahu Nathan jika dia mentransfer uang itu bermaksud untuk menggantikan uang milik Ethan yang sebelumnya terpakai untuk membeli beberapa perlengkapan sebelum mereka pergi camping. Lauren benar-benar sosok perempuan yang tak terduga pikir Ethan.
“Gue tanya sekali lagi. Lo buat masalah lagi sama Lauren? Sampai dia bertindak begini.”
“Menurut lo.”
“Gue serius, Ethan.”
Jika sudah begini Ethan sangat malas untuk menghadapi Nathan, hembusan napas panjang pun keluar dari mulutnya. “Tadi pagi gue ribut sama dia. Gue nggak sengaja ngebentak dia, karena gue terlanjur emosi.”
“Dih, lo pikir hebat begitu. Bentak-bentak cewek sembarangan, dengan alasan terlanjur emosi. Ayah aja nggak pernah ngajarin kita buat bentak cewek, apa pun itu masalahnya. Eh, lo dengan seenaknya ngebentak Lauren,” kalimat panjang itu Nathan ucapkan penuh penekanan di setiap katanya sembari menatap tak suka ke arah Ethan.
Dia tak habis pikir dengan apa yang sudah dilakukan saudara kembarnya itu. Hanya karena tak dapat menahan emosinya, dia tega membentak seorang perempuan. Nathan sangat membenci tindakan tersebut.
“Ck, iya iya, gue salah. Gue salah karena udah ngebentak cewek,” ucap Ethan sedikit frustasi, setiap kata yang diucapkan Nathan benar-benar menohok dan menampar dirinya. Perasaan bersalahnya terhadap Lauren pun semakin tak terbendung.
“Kalo lo udah sadar sama kesalahan lo, cepetan minta maaf sama Lauren. Gue nggak mau tau,” setelah itu Nathan berlalu dari hadapan Ethan.
Sedangkan Ethan, dia hanya diam memandang punggung yang perlahan sudah menghilang di balik pintu. Helaan napas pun kembali terdengar setelahnya, menghadapi sosok Nathan yang seperti itu tidak lah mudah baginya.
Meski pun Nathan adalah seorang dengan kepribadian menyenangkan, pecicilan dan sedikit menjengkelkan, hal itu tak menutup kemungkinan bagi Nathan sewaktu-waktu bisa berperilaku serius dan sedikit menyeramkan.
Menyeramkan di sini bukan berarti Nathan mampu memukul seseorang yang sudah membuatnya emosi, melainkan laki-laki itu akan terus melontarkan setiap kata yang sangat tajam menohok hati seseorang.
Jika bisa memilih, mungkin Ethan akan lebih memilih dipukuli oleh laki-laki itu daripada diceramahi dengan setiap kata yang sangat tak ingin Ethan dengarkan.
“Eh, Ethan. Kok cepat banget pulangnya, udah selesai ya pekerjaannya?” dari arah dapur, muncul Shafira yang tengah mengenakan apron.
“Hampir sebagian udah selesai bun. Tapi karena ada masalah, jadinya nggak selesai semua,” dengan langkahnya yang lunglai seperti tak bertenaga, Ethan berjalan ke sofa ruang tamu dan mendudukkan dirinya di situ.
Shafira pun turut mengikuti Ethan, dia memilih duduk di sofa single di samping sofa yang ditempati putranya itu. “Kok bisa? Apa karena itu, jadi ngebuat Nathan tadi kayak teriak marah-marah sama kamu?”
Ethan menganggukkan kepala dan kemudian menyandarkan punggungnya ke sofa. “Aku barusan bikin kesalahan lagi dan semakin nambah permasalahan, bun.”
“Apa ini berkaitan dengan Lauren?” tanya Shafira yang ditanggapi Ethan dengan anggukan kepala. “Apa kamu benar-benar udah ngambil keputusan buat perbaiki semuanya dari awal lagi sama dia?”
“Iya bunda, aku emang udah ngambil keputusan itu. Tapi nyatanya aku malah bikin kesalahan, dan bikin semuanya jadi tambah runyam.”
“Kalo begitu, sekali lagi perbaiki kesalahan itu nak,” ucap Shafira sembari tersenyum lembut ke putranya. “Wajar kok, kalo kamu nggak sengaja bikin kesalahan di awal perjuangan kamu. Manusia emang nggak luput dari kesalahan, nak. Tapi jangan juga hal itu dijadikan alasan buat kamu nggak bertanggung jawab atas kesalahan kamu. Jadi kamu tau kan, harus berbuat apa?”
Mengerti akan ucapan Shafira, Ethan pun kembali menganggukkan kepalanya mengerti seraya tersenyum tipis. Berbicara dengan seorang yang sangat di sayanginya ini, sangat membantu sekali untuk mengurangi sedikit beban di pundaknya.
...*****...
Beralih dengan Ethan yang masih kalut dengan perasaan bersalahnya, kini Lauren sudah berada di dalam kamar dengan perasaan tak berbeda jauh dari laki-laki itu.
Sembari merapikan barang bawaannya, Lauren melamun memikirkan kejadian tadi pagi. Dia masih tak menyangka jikalau Ethan benar-benar mengkhawatirkan dirinya, padahal jika dilihat-lihat laki-laki itu seperti tak peduli dengan kehadirannya dan terus bersikap cuek sepanjang waktu. Tapi kenyataannya berbanding terbalik, Ethan malah mengkhawatirkannya sampai bersikap berlebihan hingga tak mampu menahan emosinya.
“Begonya lo malah diam pas dia ngebentak, Lauren,” gadis itu bermonolog sembari membuka menutup resleting tasnya. “Jadi lo kelihatan seakan-akan ditindas sama tu cowok kampret.”
“Gue kira lo tiba-tiba jadi bisu abis pulang camping. Ternyata masih bisa ngomong toh.”
“Sampah banget tu mulut, kayak nggak di sekolahin aja,” merasa kesal dengan Geo tiba-tiba berdiri di hadapannya, Lauren melemparkan satu benda ke arah laki-laki itu. Tetapi tindakannya barusan semakin membuatnya bertambah kesal, sebab Geo dapat mengindari lemparan itu.
“Lagian lo diam-diam bae. Sedari pulang, di perjalanan, sampai kita udah sampai di rumah. Gue kan jadi takut ege. Selain jadi bisu, bisa aja lo ketempelan makhluk dari sana.”
“Bacot lo, bang,” Lauren semakin kesal dibuatnya. “Kalo lo nggak ada kerjaan, mending lo pergi dari kamar gue.”
“Justru karena gue nggak ada kerjaan, jadinya pengen ke sini,” ucap Geo seraya nyengir kuda dan selanjutnya ikut duduk di lantai menemani sang adik. “Tapi boong. Gue ke sini cuma mau nanya, penasaran. Sebenarnya lo berdua kenapa? Bertengkar? Sampai-sampai lo nggak mau pulang sama dia?”
Biasanya Lauren akan marah jika sudah menyangkut rasa penasaran Geo, tetapi kali ini tidak. Gadis itu malah terdiam sembari menatap Geo dan perlahan menceritakan kejadian yang baru dialaminya.
“Pagi tadi gue pergi ke hutan pinus sendirian. Tapi gue pergi tanpa ngasih tau dulu ke Ethan, karena gue ngerasa dia juga bakal nggak peduli gue pergi ke mana atau nggak ada di hadapannya. Tapi nggak gue sangka, dia marah besar ke gue.”
“Ya lo nya aja yang bego, Lauren Winata,” entah dari mana dia mendapatkan sebuah palu mainan, Geo memukul kepala Lauren menggunakan benda tersebut.
“Kok lo malah bilang gitu sih. Nggak ngerasa kasian gitu sama gue?”
“Dih, ngapain gue harus kasian sama lo? Emang lo pengemis?” raut wajah Geo seperti orang yang tengah jijik menatap Lauren. “Lo tau, kenapa Ethan sampai segitu marahnya ke lo?”
Gadis itu mengedikkan kedua bahunya dan sukses palu mainan itu kembali mendarat ke kepalanya.
“Jangan bilang kalo lo lupa, anak kampret?” tanya Geo dengan tatapan penuh selidik. “Waktu lo masih SMP, lo pernah pergi dari rumah tanpa tujuan yang jelas trus balik-balik kayak orang nggak bersalah sama sekali. Semua orang nyariin lo waktu itu, dan yang paling panik nyariin lo, siapa lagi kalo bukan Ethan.”
Sial. Akhirnya Lauren mengerti kenapa Ethan semarah itu kepadanya tadi pagi. Rupanya penyakit pelupa Lauren benar-benar membuatnya seperti makhluk terbodoh di muka bumi ini.