Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbeda Pendapat
Widuri tiba di rumah Naya dengan perasaan tergesa-gesa. Insiden mobil mogok sebelumnya cukup menguras tenaganya, namun ia harus tetap bergegas agar Naya tidak terlambat menghadiri pertemuan penting di kantor Dante. Ketika membuka pintu studio Naya, betapa terkejutnya ia melihat sahabatnya masih terlelap di sofa kecil, dikelilingi oleh berkas-berkas kerja yang berserakan.
"Naya, bangun! Ini sudah siang," seru Widuri, mengguncang bahu Naya dengan penuh ketegasan.
Naya hanya mengerang pelan, matanya masih setengah tertutup. "Aduh, aku masih ngantuk, Wid," jawabnya dengan suara serak, sementara tubuhnya tetap bergeming, dan tangannya justru menarik selimut lebih erat.
Dengan kesabaran yang mulai menipis, Widuri berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, menatap Naya yang tampak tak tergugah oleh urgensi situasi. "Cepat bangun, Naya! Ini proyek besar dengan Dante. Kalau kamu telat, bisa-bisa dia marah besar. Kamu tahu betul dia orang yang perfeksionis, kan?"
Mendengar nama Dante, Naya akhirnya membuka matanya dengan berat hati. Ia mengerang sekali lagi, lalu perlahan bangun dari sofa. "Oke, sebentar," jawabnya setengah mengalah meski masih terlihat mengantuk. Dengan langkah malas, Naya berjalan menuju kamar mandi, hanya berniat untuk mencuci muka dan menggosok gigi.
Melihat kesantaian Naya, Widuri tak bisa menahan napas panjang yang keluar dari bibirnya. Ia tahu sahabatnya ini memang lebih fokus pada pekerjaan daripada penampilannya, namun kali ini situasinya berbeda. "Mandi, Naya! Kamu nggak bisa terus berpenampilan seperti ini. Ini bukan hanya bekerja di studio kecil di rumahmu. Kamu akan bertemu dengan Dante—orang yang sangat peduli dengan detail. Kamu harus terlihat profesional," ucap Widuri dengan nada tegas, meskipun ada keprihatinan yang tersembunyi.
Naya, yang sedang menggosok gigi di dalam kamar mandi, melirik sekilas ke arah pintu yang terbuka. "Aku kan cuma mau diskusi konsep, Wid. Nggak perlu lah berpenampilan seperti mau menghadiri peragaan busana."
Widuri mendesah lagi, kali ini dengan kesabaran yang hampir habis. "Ini bukan soal mau tampil berlebihan atau nggak, Nay. Kamu harus memberi kesan yang baik. Penampilan itu bagian dari profesionalisme, apalagi di industri kreatif. Kamu nggak mau kelihatan sembarangan di depan Dante, kan?"
Setelah mencuci muka, Naya kembali ke studio dan memandangi pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung di dinding. Rambutnya masih acak-acakan, dan pakaian yang dikenakannya—kaos longgar dan celana pendek—terlihat jauh dari kesan profesional. Namun, di sisi lain, Naya merasa bahwa kreativitas seharusnya tidak diukur dari penampilan luar.
Meski begitu, melihat ekspresi serius Widuri, Naya akhirnya menyerah. "Baiklah, aku ganti baju. Tapi jangan harap aku akan pakai gaun atau sesuatu yang terlalu berlebihan," ucapnya sambil menuju lemari.
Widuri tersenyum lega. "Nggak perlu gaun, Nay. Cukup yang rapi saja. Setidaknya Dante nggak akan berpikir kamu datang dari pedalaman."
Naya tertawa kecil mendengar sindiran itu, namun ia memahami maksud Widuri. Meski lebih suka tampil sederhana, ia tak ingin citranya sebagai desainer dipandang sebelah mata hanya karena penampilannya. Setelah beberapa menit memilih pakaian, Naya akhirnya memutuskan untuk mengenakan kemeja putih longgar dan celana bahan yang lebih sopan. Tidak terlalu formal, namun cukup rapi untuk sebuah pertemuan bisnis.
Widuri mengangguk puas saat Naya keluar dari kamar. "Nah, ini baru kelihatan pantas. Siap berangkat?"
Naya meraih tas kerjanya dan tersenyum tipis. "Yuk, berangkat. Semoga Dante nggak terlalu perfeksionis hari ini."
Setelah memastikan semua berkas penting telah dibawa, mereka pun keluar dari rumah dan bergegas menuju kantor Dante. Sepanjang perjalanan, meski Naya tampak lebih tenang, ada secercah kekhawatiran yang terpendam dalam hatinya. Dante, dengan segala ekspektasi tinggi dan perfeksionismenya, adalah sosok yang sulit diprediksi. Dan meskipun proyek ini sangat penting bagi kariernya, Naya menyadari bahwa satu kesalahan kecil bisa memengaruhi keseluruhan kerja sama mereka.
"Lo yakin gue bakal baik-baik aja, kan, Wid?" tanya Naya tiba-tiba, memecah keheningan di dalam mobil.
Widuri menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu akan baik-baik saja, Nay. Kamu berbakat, punya kemampuan, dan itu yang terpenting. Percaya diri saja. Dante memang perfeksionis, tapi dia tahu nilai orang yang dia ajak bekerja sama."
Naya mengangguk pelan, meskipun rasa cemas itu belum sepenuhnya hilang. "Semoga saja begitu."
Saat mobil melaju mendekati gedung kantor Dante, Naya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Pertemuan ini adalah salah satu langkah besar dalam perjalanan kariernya, dan kali ini ia tidak boleh membuat kesalahan.
***
Naya melangkah keluar dari lift di lantai 15, berusaha menenangkan perasaannya. Gedung kantor Dante megah, dengan interior modern yang bersih dan profesional. Saat melewati lorong menuju ruang pertemuan, ia berusaha memantapkan dirinya. Pertemuan dengan Dante hari ini sangat penting, dan meski ada sedikit ketegangan, ia berusaha tetap fokus pada proyek mereka.
Ketika tiba di ruang pertemuan, Dante sudah menunggu di sana, duduk dengan postur tegap dan wajah serius yang selalu tampak penuh perhitungan. "Naya," sapanya singkat sambil mengangguk.
Naya membalas dengan anggukan kecil, lalu duduk di hadapan Dante. Ia membuka laptopnya dan menyiapkan beberapa berkas fisik yang telah ia bawa. "Aku sudah menyusun konsep yang sesuai dengan arahan awal yang kita bahas minggu lalu," katanya sambil mengeluarkan sketsa dan beberapa referensi yang sudah disusunnya dengan rapi.
Dante mengamati dokumen-dokumen itu dengan teliti, lalu mulai mengerutkan kening. "Aku melihat arah yang kamu ambil, tapi sepertinya tidak sesuai dengan visi yang kita bicarakan sebelumnya."
Naya menghela napas pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Menurutku, konsep ini lebih segar dan sesuai dengan target audiens kita. Kalau kita tetap pada pendekatan yang kamu inginkan, hasil akhirnya mungkin tidak akan seunik ini."
Dante menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Naya tajam. "Tapi kita harus mempertimbangkan bahwa klien memiliki ekspektasi tertentu. Kreativitas itu penting, Naya, tapi kalau terlalu jauh dari yang diharapkan, kita bisa kehilangan mereka."
Perdebatan pun dimulai. Naya berusaha menjelaskan bahwa ide-idenya bisa membawa proyek ini ke arah yang lebih inovatif, sementara Dante bersikeras pada pendekatan yang lebih konservatif, sesuai dengan harapan klien. Suasana pertemuan mulai memanas, namun Naya tetap teguh pada pendiriannya. Baginya, proyek ini adalah kesempatan untuk menunjukkan keahliannya dan dia tidak ingin mengorbankan orisinalitasnya.
"Kalau kita tidak memberi sesuatu yang baru, mereka akan bosan. Kita perlu mengambil risiko jika ingin hasil yang luar biasa," ucap Naya dengan suara tegas.
Dante menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas berat. "Aku mengerti kamu punya visi yang kuat, tapi kita harus tetap realistis. Kita akan mempertimbangkan beberapa idemu, tapi jangan abaikan ekspektasi klien."
Meski debat itu tidak menghasilkan keputusan mutlak, Naya merasa cukup lega karena setidaknya sebagian dari ide-idenya masih dipertimbangkan. Mereka menyudahi diskusi dengan nada yang sedikit lebih tenang, meskipun jelas bahwa masih ada beberapa hal yang perlu dirundingkan lebih lanjut.
Sementara itu, di ruang tunggu, Widuri sedang duduk dengan ponselnya, mencoba membunuh waktu saat menunggu Naya. Ia merasa lega karena Naya akhirnya bersedia tampil lebih rapi untuk pertemuan penting ini, meskipun masih ada sedikit kekhawatiran tentang bagaimana Naya akan menghadapi Dante yang dikenal keras kepala.