Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
“Kalian semua tidurlah, ini sudah malam, besok pagi kita harus cepat bangun, agar kita tidak telat pergi ke terminal bus,” perintah Santi.
Mereka pun tertidur tanpa mimpi.
Tanpa ada jam atau alaram, Santi terbangun sendiri, ia keluar dan berjalan ke ruang tunggu di samping meja resepsionis, ia ingin melihat jam dinding. Dan jam dinding menunjukkan itu sudah pukul lima pagi.
Ia pun segera membangunkan semua adik-adiknya, dan meminta mereka untuk mandi dan bersiap siap, pukul 6.30 semuanya sudah siap, mereka pun cek out dari penginapan.
Waktu yang ada mereka manfaatkan untuk sarapan pagi. Tepat pukul tujuh lewat empat puluh lima menit mereka sudah sampai di terminal. Santi menjumpai penjaga pos tiket, dan penjaga loket mengarahkan mereka untuk naik ke bus yang sesuai dengan tiket mereka.
Sekarang mereka sudah dalam keadaan lebih bugar, dan siap untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya.
“Mbak…” panggil Ujang.
“Mbak kita mau ke mana?” tanya Ujang polos.
“Ke Jakarta,” ucap Santi singkat, “kita akan pergi ke Jakarta dan tinggal di sana,” sambung Santi.
“Jakarta itu di mana mbak?” tanya Sisil pula.
Santi terdiam, ia sendiri tidak tahu di mana itu Jakarta, yang ia tahu bahwa Jakarta adalah ibu kota negara tempat mereka tinggal saat ini. Di mana banyak orang yang berubah nasibnya menjadi lebih baik setelah tinggal di sana.
Setidaknya itulah yang sering ia dengar dari teman-teman satu sekolahnya dulu, yang saling membanggakan saudara-saudara mereka yang sudah lebih dahulu merantau ke kota Jakarta.
“Jakarta itu kota yang luas, ramai, dan indah,” Santi membayangkan bahwa Jakarta adalah kota yang sangat indah, seperti yang sering ia lihat di film FTV di televisi.
“Di Jakarta banyak mainan ya mbak?” tanya Sisil, dan Santi mengangguk.
“Horeee, dek nanti kita punya banyak mainan di Jakarta,” ujar Sisil kepada Lili.
Riski sendiri menatap lurus ke arah Santi, di usianya yang baru empat belas tahun, ia sudah cukup mengerti pergolakan hidup yang tengah mereka hadapi.
“Ki, kamu percayakan sama mbak?” tanya Santi kepada Riski. Dan Riski dengan cepat mengangguk.
“Mbak tidak pernah salah dalam mengambil keputusan, Riski percaya sepenuhnya sama mbak,” ujar Riski.
Santi tersenyum mendengar ucapan adiknya itu.
Pandangan Santi kini tertuju kepada jalanan, bus ini melaju dengan cepat membelah jalanan. Untuk pergi ke Jakarta mereka memelurkan waktu dua hari dua malam di perjalanan, waktu yang cukup melelahkan.
Pikiran Santi tiba-tiba teringat kepada Ratna, teman satu kelasnya dulu, ia mulai berfikiran jika saja ia ikut ajakan Ratna, barangkali hidup adik-adiknya akan lebih baik, dan ibunya tidak akan meninggal karena pusing memikirkan rumah dan uang.
Santi tersenyum kecut. Santi mulai merasa bahwa Tuhan tidak adil kepadanya. Ia mulai merasa bahwa Tuhan sedang mengerjai dirinya, dan adik-adiknya. Ia merasa bahwa Tuhan itu kejam kepada dirinya, buktinya ibunya yang menyayangi mereka setulus hati sengaja diambil dari dirinya dan adik-adiknya.
Dan yang lebih kejam lagi, ia diberikan nenek, kakek, dan ayah yang tidak sayang kepada kepada mereka. Santi mengepal tangannya sendiri. Ia bertekad di kota jakarta nanti, ia akan menjadi orang hebat tanpa perduli halal dan haram.
Sungguhlah, kefakiran telah membuat Santi menjadi kufur nikmat. Padahal di samping ujian hidupnya, Allah juga memberikan ia kesenangan dalam hidupnya yaitu dia memiliki saudara-saudari yang baik, Allah juga memberikan ia kesehatan, penglihatan dan seluruh organ tubuh yang lengkap, dan begitu pula dengan adik adiknya. Tetapi, kefakiran sudah menutup mata hatinya. Ia mulai membenci Tuhan dan Agama yang dianutnya.
Setelah dua hari dua malam di dalam perjalanan, mereka pun sampai di kota Jakarta. Kota ini sangat megah, ini berkali-kali lipat lebih besar daripada kota Pegangsaan ibu kota provinsinya. Santi merasa seperti butiran debu yang tidak terlihat di kota ini.
“Mau ke mana neng?”
“Tidak pak,” tolak Santi.
Itu adalah supir becak, yang sedang mencari penumpang. Menawarkan becaknya kepada setiap orang-orang yang berlalu lalang.
“Kerupuk kerupuk kerupuk,"
Itu pula adalah penjual kerupuk keliling yang biasa mangkal di stasiun ini.
“Jepit kuku, mancis, korek kuping,”
“Kacang, kacang rebus.”
Para penjual keliling bergantian menawarkan kepada Santi, tetapi semua Santi tolak. Ia semakin erat menggenggam tangan kedua adiknya Sisil dan lili.
“Mbak kita mau ke mana?” tanya Riski, Riski menggenggam tangan Ridho dan Ujang.
Santi sendiri tidak tahu hendak membawa adik-adiknya ini ke mana.
“Kita makan saja dulu, kalian pasti laperkan?” ajak Santi kepada adik-adiknya.
Saat ini sudah jam 1 siang. Santi pun memilih untuk makan di warung pinggir jalan.
“Mbak ada apa saja?” tanya Santi kepada ibu ibu penjual pecel lele.
“Ada pecel lele, ada ketoprak, ada nasi goreng, ada ayam penyet,” ibu penjual menjelaskan panjang lebar.
“Pesen ayam penyet 6 ya mbak,” ucap Santi,
“Baik neng, silahkan duduk dulu” ujar penjual ramah.
Santi dan kelima adiknya pun duduk di satu meja. Warung ini sepi, barang kali karena ini adalah jam kerja, jadi tidak ada orang yang mangkal di warung-warung.
Pandangan Santi tanpa sengaja tertuju kepada sebuah kertas yang tertempel di dinding warung. Santi mendekati kertas itu, sedangkan adik-adiknya hanya diam menatap heran ke arah Santi.
Ternyata kertas itu adalah poster, yang mempromosikan rumah kontrakan dengan berbagai tingkatan harga. Poster itu pun di ambil oleh Santi, dan di baca dengan seksama. Di sana terpampang nomor hp yang bisa di hubungi, tetapi ia maupun adiknya tidak punya hp untuk menghubungi nomor tersebut.
“Mbak… bisa minta tolong tidak mbak?“ ucapnya kepada mbak-mbak pelayan di warung ini, yang tengah mengantari nasi ke meja mereka.
“Iya mbak, mau minta tolong apa?” tanya mbak pelayan warung itu. Pelayan itu masih muda, usianya hanya dua tahun lebih tua dari Santi.
“Tolong telponkan yang punya kontrakan ini mbak, saya sedang mencari kontrakan,” ucap Santi penuh harap.
“Ohhh ini, tunggu sebentar ya, mbak makan saja dulu,” ucap pelayan itu.
“Baik mbak, terimakasih banyak mbak.”
"Iy, sama-sama mbak."
Dan disinilah mereka saat ini, di sebuah rumah kontrakan kecil yang kosong. Tidak ada apa-apa selain air dan listrik, itupun harus bayar sendiri. Harga rumah kontrakan ini sebenarnya murah, hanya 1.500.000 ribu perbulan. Tapi bagi Santi itu sudah sangat mahal, tapi kata mbak-mbak pelayan warung rumah kontrakan meski hanya sepetak kecil seharga segitu di pinggiran ibu kota sudah sangat murah.
Kontrakan itu terletak sepuluh kilo meter dari pusat ibu kota Jakarta. Tapi walaupun kontrakan ini terletak dipinggir ibu kota, tetap saja daerah mereka ini bisa di bilang kota juga jika dibandingkan dengan kampung asal mereka, tempat mereka dilahirkan.
Ini sudah jam 4 sore, Santi pun memutuskan untuk berbelanja perabotan sederhana dengan sisa uangnya. Adik-adiknya ia biarkan di kontrakan untuk membersihkan kontrakan, sedangkan ia bersama Ridho pergi ke pasar, ia membawa ridho agar ada yang membantunya membawa barang belanjaan, sedangkan Riski di rumah utnuk membersihkan kontrakan sekalian menjaga adik-adiknya.
Pukul 7 malam Santi dan Ridho sampai ke rumah, mereka membawa satu tikar kecil, satu kasur Palembang/kasur tahu, satu selimut lebar namun tipis, satu kipas, satu panci, satu lusin piring dan gelas plastik yang murah, mejikom, teko, dan berbagai macam jenis sendok, colokan sambung, kompos gas, dan tabung gas. Tidak lupa mereka membeli makanan untuk mereka makan nanti malam. Dan sekalian beras yang berukuran lima kg, tempe tahu, sayur mayur, bawang, penyedap rasa, dan lain lain.
Sesampainya di kontrakan Santi langsung menghidupkan kipas yang ia beli tadi, panas sekali rasanya. Sambil ngadem ia dan adik-adiknya makan, setelah makan ia dan adik-adiknya lanjut berbenah. Tepat pukul sepuluh malam, pekerjaan mereka semuanya sudah beres.
Semua adik-adiknya sudah tidur, tinggallah Santi yang belum bisa tidur, sebab pikirannya masih pusing dan sangat pening memikirkan hari esok.
Ia pun duduk, dan mengambil tas yang ia gunakan sebagai tempat penyimpanan uang. Ia menghitung-hitung pengeluarannya dari awal naik becak hingga saat ini. Uang becak 250 + uang bus 900 + uang makan + 400 + nginap 250 + makan dua kali 200 + ke Jakarta 1.800 + beli makan dua kali 200 + bayar angkot 200 + kontrakan 1.500 + beli perlengkapan 1.200 + ongkos 50 ribu \= totalnya 6.950.000,-
Itu artinya uangnya dari total tujuh juta hanya sisa 50 ribu, padahal dia sudah berusaha membeli peralatan dan makan di tempat tempat yang murah. Ia sangat pusing, kemudian mebaringkan tubuhnya kembali, tapi akhirnya ia tertidur juga.