Kisah cinta si kembar Winda dan Windi. Mereka sempat mengidamkan pria yang sama. Namun ternyata orang yang mereka idamkan lebih memilih Windi.
Mengetahui Kakanya juga menyukai orang yang sama dengannya, Windi pun mengalah. Ia tidak mau menerima lelaki tersebut karena tidak ingin menyakiti hati kakaknya. Pada akhirnya Winda dan Windi pun tidak berjodoh dengan pria tersebut.
Suatu saat mereka bertemu dengan jodoh masing-masing. Windi menemukan jodohnya terlebih dahulu dibandingkan Kakaknya. Kemudian Winda berjodoh dengan seorang duda yang sempat ia tolak lamarannya.
Pada akhirnya keduanya menjalani kehidupan yang bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesiangan
Winda menjelaskan kepada pria tersebut kronologi pertemuannya dengan Erlangga.
"Maaf Pak, tadi saya melihat Erlangga berlari sambil menangis. Saya langsung saja menghampirinya dan mengajaknya masuk ke kedai bakso tempat saya makan. Mungkin saat itu jam tangannya jatuh di sana."
"Baiklah saya percaya, posisi anda di mana? "
"Galery WEO depan hotel XX."
"Nama anda?"
"Winda."
"Baiklah, Nona Winda. Saya minta tolong simpan dulu jam tangan itu. Besok saya ambil sekitar jam makan siang. Assalamu'alaikum. "
"Wa'alaikum salam."
Winda menyimpan jam tangan hp milik Erlangga ke dalam laci mejanya. Ia melanjutkan kembali pekerjaannya.
-
Keesokan harinya.
Sebelum waktu Shubuh, Windi terbangun. Ia masuk ke kamar mandi untuk bersuci karena haidnya sudah selesai. Sedangkan, Javier masih terlelap dalam mimpi indahnya.
Setelah selesai membersihkan diri, Windi keluar dari dalam kamar mandi dan menyiapkan mukenah serta sajadah untuk shalat. Sebelum itu, ia membangunkan suaminya.
"Sayang, ayo bangun. Sudah Shubuh."
"Hem... "
"Eits jangan sentuh! Aku punya wudhu'."
Javier terbelalak mendengar ucapa istrinya. Ia langsung bangkit dan duduk.
"Sayang, apa kamu bilang barusan? Aku tidak salah dengar, kan? Kamu punya wudhu'? Kamu sudah bisa shalat, iya?" Cercanya.
Windi mengangguk seraya mengulum senyumnya.
"Yes! Tunggu sebentar aku akan ke kamar mandi."
Saking bersemangatnya, Javier sampai membentur dinding kamar mandi.
"Astagfirullah... ada-ada saja kamu Mas." Windi tertawa melihat tingkat suaminya.
Windi pun memakai mukenah. Ia duduk sambil berdzikir menunggu suaminya selesai mandi.
Setelah Javier keluar dari kamar mandi, mereka pun shalat berjama'ah.
"Assalamu'alaikum warahmatullah. .. assalamualaikum warahmatullah... "
Setelah selesai berdo'a, Windi mencium punggung tang suaminya. Javier pun mengecup kening Windi. Kecupan itu berlanjut ke bawah. Bibir Windi yang sangat menggoda beberapa hari ini Javier hindari karena ia takut tak bisa menahan nafsunya. Kali ini bibir itu dipagutnya dengan lembut. Windi pun terbawa suasana. Hujan turun membasahi bumi. Mendukung suasana romantis keduanya. Javier menghujani wajah istrinya dengan cumbuan manisnya. Suhu di ruangan semakin panas meski hujan mengguyur kota. Mukenah Windi sudah terlepas. Kini ia sedang pasrah berbaring di bawah kungkungan tubuh suaminya. Javier membaca do'a, kemudian mencumbu kembali istrinya. Memberikan rangsangan, menciptakan kemesraan sehingga Windi pun tak berdaya. Teramat sulit bagi Javier untuk menembus kembali pertahanan tembok Cina. Namun ia tak patah semangat. Akhirnya terjadilah pertempuran panas di atas ranjang. Shubuh yang indah bagi keduanya setelah selama satu minggu berpuasa.
"Semoga buah hati kita segera tumbuh di rahimmu." Ucap Javier seraya mengecup perut istrinya.
Setelah lelah bertempur, keduanya kini tertidur pulas.
Beberapa jam kemudian, Windi terbangun karena terganggu dengan cahaya yang masuk melalu jendela kamar. Windi merenggangkan otot-ototnya. Saat melihat jam dinding kamar, ternyata jam menunjukkan angka 7.42. Windi tersentak. Ia segera bangun. Kemudian segera membangunkan suaminya.
"Sayang, sayang, ayo bangun!Kita kesiangan."
"Jam berapa?"
"Hampir jam 8."
"Oh... " Dengan santai Javier menjawab.
"Ayo mandi."
"Ayo mandi bareng biar cepat selesai! Sahut Javier.
Windi pun mengiyakan ajakan suaminya. Ia sama sekali tidak curiga dengan suaminya.
Kini keduanya sudah berada di dalam kamar mandi. Javier membantu Windi melepaskan pakaian dalamnya. Ia membuka pengait kacamata pengaman. Namun tidak berhenti di situ, tangan Javier bergerilya ke depan memainkan dia gundukan milik istrinya.
"Sayang... "
"Diamlah, sayang. Ini sangat lembut."
Bukan itu saja, saat ini junior sudah mulai tegak. Tak ingin menyiakan kesempatan, Javier mengambil handuk dan menutupi tubuh istrinya dengan handuk. Lalu ia gendong istrinya seperti karung beras menuju tempat tidur. Windi berontak, namun tak dihiraukan.
"Sayang ini sudah siang. Aku... "
Ucapa Windi terhenti karena Javier sudah menyumpal mulut Windi dengan bibirnya. Rupanya Javier belum puas dengan pertempurannya tadi Shubuh. Ia masih ingin nambah lagi Windi tak kuasa menolaknya. Ia pun mengikuti permainan suaminya.
Setelah usai melaksanakan hajatnya, kali ini Javier benar-benar mengajak istrinya mandi.
Selesai mandi, keduanya langsung bersiap-siap. Mereka pun turun ke bawah. Ternyata Ummah, Babah, serta Tomi sudah berada di ruang tamu.
Windi menunduk malu karena bangun kesiangan.
"Nah ini yang ditunggu, Tom." Ujar Babah.
"Ampun dah Bos, itu rambut lepek banget. Kebanyakan keramas sampo kayaknya." Batin Tomi.
"Ehem, maaf kami kesiangan. Ayo Tom kita berangkat."
"Lho, kalian ndak mau sarapan dulu?" Tanya Ummah.
"Nggak sarapan juga sudah kenyang mungkin." Sindir Babah.
Ummah mekirik suaminya. Sontak Babah hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal
"Ummah, biar saya bawa saja sarapannya. Sebentar Mas, aku siapkan." Ujar Windi. Ia segera pergi ke dapur mencari rantang untuk wadah makanan.
Ummah menyusul Windi ke dapur.
"Nduk, apa yang kamu cari?"
"Eh itu, Ummah. Rantang atau tempat makan."
"Ada di lemari atas itu!"
"Oh, iya. Terima kasih, Ummah."
Ummah melihat kecanggungan pada menantunya. Mungkin menantunya tidak enak hati karena kesiangan.
"Sini Ummah bantu."
"Tidah perlu, Ummah. Biar saya sendiri. Maaf, saya kesiangan Ummah. Tadi habis Shubuh tidur lagi."
Ummah sudah menyangka jika menantunya itu pasti sudah bisa shalat. Dan putranya pasti menggempurnya habis-habisan sampai kelelahan.
"Ndak pa-pa, Nduk. Kami sudah memaklumi." Jawab Ummah seraya menyunggingkan senyum.
Setelah selesai menyiapkan bekal makanan, Windi pun mengajak suaminya untuk berangkat.
Tomi sudah siap di kursi kemudi.
"Ayo Tom, berangkat."
"Siap, Bos!"
Tomi melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Siang hari, di Galery.
Winda baru saja selesai shalat Dhuhur. Jeje baru saja datang membeli makan siang.
"Bu Bos, ini mie jebbew level 5 tabah toping nugget dan es cheese mocca ukuran medium punyamu."
"Terima kasih, Je."
"Sama-sama."
Winda pun makan siang sebelum kembali bekerja.
Baru saja selesai makan, Winda dikejutkan dengan suara Mila yang memanggilnya dengan tergesa-gesa.
"Win-Winda!"
"Ada apa, Mil?"
"Winda, ada yang nyari kamu."
"Ya Allah... aku kira ada apa. Kamu bikin kaget saja deh."
"Masalahnya, baru kali ini ada cowok keren yang datang kemari, haha... Tapi kayaknya dia udah Beristri."
"Suruh masuk ke sini, Mil."
"Oke, bos."
Winda sudah menyangka jika orang yang datang adalah Papanya Erlangga.
Beberapa saat kemudian, pria tersebut masuk.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Sejenak pandangan mereka bertemu.
Deg
"Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi di mana ya? Aku lupa." Batin Papanya Erlangga.
Sedangkan Winda sama sekali tak mengingat pria di hadapannya. Ia langsung menunduk karena sangat menjaga pandangannya terhadap lawan jenisnya. Hanya sesekali ia mendongak untuk menghormati lawan bicaranya.
"Mari silahkan duduk Mas, eh Pak."
Pria tersebut duduk. Winda merapikan meja yang berantakan. Ia membuang wadah bekasnya makan ke tempat sampah yang berada di depan ruangannya. Ia mengambilkan air dingin untuk tamunya.
"Maaf, apa anda Papanya Erlangga?"
"Iya, betul. Saya yang menelpon anda kemarin."
"Mari diminum dulu. Maaf seadanya."
"Terima kasih."
Winda mengambil jam tangan yang disimpan di laci mejanya.
"Ini Pak, jam tangannya."
Pria tersebut menerimanya. Ia memeriksa keadaan jam tangan tersebut.
"Terima kasih. Apa yang harus saya berikan kepada Anda untuk membalas kebaikan anda ini?"
"Oh, tidak perlu."
"Kalau begitu saya langsung pamit saja, karena masih ada kerjaan. Sekali lagi, terima kasih."
"Oh iya, silahkan."
"Mari, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Namun saat Papa Erlangga melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Windi, Ia masih sempat menoleh lagi.
Bersambung...
...****************...
Bulan maulid, banyak orderan kak
Jasi mohon maaf belum bisa double up 🙏
semangat menulis dan sukses selalu dengan novel terbaru nya.
apa lagi ini yang udah 4tahun menduda. 😉😉😉😉😉😉