Dimas, seorang Mahasiswa miskin yang kuliah di kota semi modern secara tidak sengaja terpilih oleh sistem game penghasil uang. sejak saat itu Dimas mulai mendapat misi harian
misi khusus
misi kejutan
yang memberikan Dimas reward uang IDR yang melimpah saat misi terselesaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon slamet sahid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror di tengah malam
Sehari sebelumnya di lain tempat,
Malam sudah larut ketika hujan deras mengguyur desa Silogiri. Suasana di rumah keluarga Kartono yang sudah penuh kecemasan semakin bertambah tegang.
Pak Kartono duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kerut, sementara istrinya, Bu Ningsih, tidak henti-hentinya berdoa dalam hati. Astrid, yang sejak tadi mencoba menenangkan dirinya dengan membaca buku, tak lagi bisa berkonsentrasi.
Ketegangan yang terjadi sejak pagi tadi, ketika Pak Joni Santoso marah besar karena rencana perjodohan putranya, Hari Santoso, dengan Astrid dibatalkan, masih membekas dalam pikiran mereka.
Pak Joni yang dikenal sebagai sosok terpandang di desa, dengan amarah yang memuncak, terang-terangan mengancam keluarga Kartono.
"Kalian akan menyesali keputusan ini!" begitu ucapnya sebelum meninggalkan rumah Kartono dengan wajah merah padam.
Astrid, yang awalnya tegar, Entah kenapa malam ini mulai merasakan ketakutan yang tidak bisa dijelaskan. Ia tahu betul siapa Joni Santoso. Pria itu bukan hanya berkuasa, tapi juga memiliki seorang putra lagi yang punya koneksi tidak main-main, putranya ini terkenal sering berbuat onar dengan preman-preman dari desa sebelah yang sering kali menjadi alatnya untuk menakuti orang lain.
"Pak, bagaimana ini?" Bu Ningsih akhirnya memecah keheningan yang sudah lama menggantung di udara.
Suaranya gemetar namun masih jelas terdengar meski hujan di luar masih deras, menunjukkan betapa cemasnya dia. "Apakah kita harus melapor ke kepala desa?"
Pak Kartono hanya menggelengkan kepala, matanya masih menatap jendela yang sudah ditutup rapat. "Kita lihat dulu, Bu. Kepala desa bisa saja memihak Joni karena pengaruhnya. Aku tidak ingin masalah ini semakin membesar."
Astrid mengangguk setuju, meski dalam hati ia juga tidak yakin dengan keputusan ayahnya. Baginya, apa yang dikatakan ayahnya masuk akal, namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa ancaman Pak Joni bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh.
Malam itu, keluarga Kartono mencoba menjalani rutinitas seperti biasa, walau dalam hati mereka masing-masing terselip rasa khawatir yang mendalam.
Pak Kartono dan istrinya akhirnya memutuskan untuk tidur lebih awal, berharap bahwa dengan beristirahat, mereka bisa melupakan sejenak apa yang terjadi hari ini.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.Sekitar pukul dua dini hari, Saat hujan tinggal gerimis kecil terdengar suara keras dari atap rumah mereka.
Brakkk! prang!
Bunyi seperti sesuatu yang jatuh dengan keras dan kebetulan mengenai genting kaca di kamar mandi.
Bu Ningsih terbangun dengan perasaan was-was, menduga bahwa mungkin itu hanya ranting pohon yang patah dan jatuh di atas genting. Namun, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, seperti ada sesuatu yang sengaja dilemparkan, Dan kali ini sepertinya mengenai jendela kaca di ruang tamu depan.
Pak Kartono yang juga terbangun langsung duduk di tempat tidur.
"Ada apa ini?" bisiknya, berusaha tidak membangunkan Astrid yang tidur di kamar sebelah. Tapi Astrid, yang sejak tadi sudah tidak bisa tidur nyenyak, juga mendengar suara itu.
Dia keluar dari kamar dengan langkah hati-hati, bertemu dengan ayah dan ibunya di ruang tengah.
"Pak, apa itu suara di luar?" tanyanya pelan, matanya tampak gelisah. Pak Kartono mendekat ke jendela yang telah pecah sebagian dan mengintip ke luar, tapi tidak ada apa-apa yang bisa dilihat dalam gelapnya malam.
Namun, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas bunyi keras seperti batu besar yang menimpa genting rumah mereka di bagian samping.
Sejurus kemudian, terdengar bunyi pecahan genting jatuh ke lantai.
"Astaga, mereka mulai menyerang," Pak Kartono bergumam dengan suara berat. Hatinya mendadak dipenuhi oleh rasa khawatir yang amat sangat.
Bu Ningsih langsung memegang lengan suaminya, takut sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.
"Pak, kita harus melakukan sesuatu!"
Astrid yang biasanya tenang mulai panik. Ia memikirkan segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi pada keluarganya.
"Ayah, kita harus segera melaporkan ini! Kita tidak bisa membiarkan mereka terus-menerus menyerang kita!"
Namun sebelum Pak Kartono bisa menjawab, sebuah batu besar dilemparkan tepat ke jendela di sisi kanan depan rumah mereka, memecahkan kaca jendela dengan suara yang menggema di seluruh rumah.
Bu Ningsih menjerit kecil, tangannya gemetar memegang lengan Pak Kartono lebih erat. Astrid melompat mundur, wajahnya pucat pasi." Semua jendela dan pintu sudah di kunci bukan Bu?! mereka tidak akan bisa masuk!" Pak Kartono bertanya dengan suara tegas, meski ia tahu perintah itu tidak akan banyak membantu jika penyerang itu memutuskan untuk masuk dengan paksa.
Pak Kartono dan Astrid dengan cepat memeriksa ulang pintu dan memastikan jendela sudah terkunci dengan hati-hati. Kemudian berusaha sebaik mungkin untuk melindungi diri dari ancaman di luar.
Namun, mereka tahu bahwa genting yang sudah dilempari batu menunjukkan bahwa para preman itu tidak hanya berniat menakut-nakuti, tapi bisa jadi berniat lebih jauh lagi.
Suara gemuruh dari luar semakin keras. Beberapa batu lagi dilemparkan ke rumah mereka, menghancurkan beberapa genting dan membuat lubang di atap. gerimis air hujan segera membasahi lantai di bawahnya.
Malam yang seharusnya tenang itu berubah menjadi mimpi buruk bagi keluarga Kartono. Mereka semua berkumpul di ruang tengah, mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Kita harus keluar dari sini, Pak," usul Bu Ningsih dengan nada mendesak. "Mereka bisa saja masuk dan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi!"
"Tidak, Lebih aman di dalam saja Bu?" Pak Kartono berusaha tetap tenang, meski keringat dingin mulai mengalir di dahinya.
"Kalau kita keluar sekarang, kita bisa terjebak di luar. Penyerang di luar pasti sudah mengintai di sekitar rumah."
Suasana semakin tegang. Di luar, suara tawa keras dan teriakan-teriakan yang penuh ancaman terdengar, seolah para penyerang itu menikmati kekacauan yang mereka ciptakan. Suara gemerisik dari kerikil yang dilempar ke pintu, kaca yang pecah, dan genting yang runtuh terdengar mengerikan di telinga keluarga Kartono.
Astrid yang sejak tadi diam tiba-tiba berdiri dengan ekspresi tegas. "Kita tidak bisa hanya bersembunyi di sini. Aku akan menelepon pulisi. kabupaten"
Pak Kartono ingin menahan niat anaknya, namun di satu sisi, ia tahu bahwa tindakan Astrid mungkin adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri teror. meskipun di saat seperti ini Pak Kartono tidak begitu yakin pulisi di kabupaten yang jaraknya cukup jauh akan segera merespon.
"Cepatlah, tapi hati-hati. Jangan biarkan mereka tahu kalau kita melapor."
Astrid mengangguk cepat. Ia mengambil ponselnya dan berjalan dengan hati-hati menuju dapur, tempat yang paling jauh dari pintu dan jendela, untuk memastikan tidak ada yang bisa mendengar percakapannya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menghubungi nomor darurat pulisi.
"Pulisi? Tolong, kami diserang preman! Mereka melempari rumah kami dengan batu, menghancurkan genting dan jendela... kami butuh bantuan segera!" Astrid berbicara cepat, suaranya dipenuhi dengan ketakutan.Namun, di tengah percakapannya, terdengar bunyi keras dari arah pintu depan.
Pintu itu terguncang seperti ada yang berusaha membuka paksa. Astrid langsung menutup telepon dan kembali ke ruang tengah, berusaha memberitahu ayah dan ibunya.
"Pintu depan... mereka mencoba masuk!" teriaknya panik.Pak Kartono segera bergegas ke arah pintu dengan sebatang kayu di tangannya.
"Bu, Astrid, kalian ke kamar dan kunci pintunya! Jangan keluar sampai aku bilang!"
"Tapi, Pak.." Bu Ningsih mencoba protes, namun Pak Kartono sudah melangkah dengan cepat ke arah pintu. Dengan penuh ketegangan, Bu Ningsih akhirnya menarik Astrid masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Pak Kartono berdiri di depan pintu, menunggu dengan waspada. Dia mendengar suara-suara di luar, suara langkah kaki dan suara orang berbicara kasar. Mereka semakin dekat, dan Pak Kartono tahu bahwa ini adalah momen yang sangat genting.
Ia segera menyiapkan diri untuk menghadapi apapun yang terjadi dengan nafas memburu. Namun, sebelum para penyerang itu berhasil mendobrak pintu, terdengar suara sirene pulisi dari kejauhan. Suara itu semakin mendekat, membuat para preman yang berada di luar mulai panik. Suara teriakan yang tadinya terdengar penuh keyakinan, kini berubah menjadi bisik-bisik ketakutan.
"Mundur! Mundur!" terdengar salah satu dari mereka berteriak, disusul oleh suara langkah kaki yang bergerak cepat menjauh dari rumah keluarga Kartono.
Pak Kartono sedikit merasa lega, namun ia tetap waspada.
Ia mengintip dari lubang kecil di jendela, melihat beberapa preman berlari terbirit-birit meninggalkan halaman rumah mereka. Sirene polisi semakin mendekat, dan dalam beberapa menit, satu unit mobil patroli berhenti di depan rumah mereka. Dua orang petugas pulisi segera turun dari mobil dengan sigap, memeriksa keadaan sekitar dan memastikan bahwa keadaan sudah aman.
Seorang petugas yang tampaknya adalah pemimpin patroli itu mendekati Pak Kartono yang membuka pintu dengan hati-hati.
"Apa Anda baik-baik saja, Pak?" tanya petugas itu?"
.