Pada mulanya, sebuah payung kecil yang melindunginya dari tetesan hujan, kini berubah menjadi sebuah sangkar. Kapankah ia akan terlepas dari itu semua?
Credits:
Cover from Naver
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYZY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Before Midnight
Ini kacau.
Sentuhan itu membuat bulu kuduk Stella meremang. Ia berdiri kaku di depan pria itu, tubuhnya tak bisa bergerak, bola matanya semakin melebar. Ada raut kekhawatiran yang begitu jelas terpampang di wajahnya.
Andrew tersenyum tipis, puas dengan reaksi yang dibuat oleh gadis itu, jelas seperti dugaannya.
Andrew masih setia mengelus bibir bawah gadis itu yang terlihat penuh dengan ibu jarinya. Menyadari bahwa bibir gadis itu mulai bergetar, pria itu menundukkan kepala dan mulai berbisik tepat di samping telinganya.
"Sampai kapan kau hanya akan diam seperti ini?"
Stella menahan napas, tepat saat hembusan napas hangat itu menerpa telinganya.
"Andrew ... aku .... a-aku ..." Stella terbata-bata. Bagaimana tidak, Andrew masih bermain-main dengan bibirnya. Meskipun itu hanya sentuhan biasa, namun entah kenapa Stella merasa sangat gugup. Seperti ada kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, namun juga tercampur oleh rasa takut akan suatu hal yang tidak ia ketahui apa itu.
Itu bukan sejenis rasa takut seperti pada saat melihat binatang buas, melainkan rasa takut akan ketidaktahuan tentang hal yang akan terjadi.
"Hm?"
Stella memejamkan mata sembari mengepalkan kedua tangannya—berusaha untuk mengumpulkan semua keberanian.
Hanya mengatakan sebuah kalimat itu saja sangat sulit rasanya. Itu diperparah oleh apa yang dilakukan oleh Andrew padanya saat ini.
"Aku takut ...."
"Serangga?" Andrew kembali mengerutkan kening.
Stella menggelengkan kepala dengan tergesa-gesa sembari membuka matanya dengan cepat.
"Bukan itu ... a-aku ..." Stella menggenggam lengan tangan Andrew yang masih terangkat—berniat untuk melepaskan jarinya yang masih menyentuh dagunya.
Alih-alih membuka suara, Andrew lebih memilih untuk tetap diam dan menunggu Stella untuk berbicara.
"Aku tidak bisa tidur–"
"Ahh ... begitu rupanya ... " ucap Andrew dengan nada geli. Pria itu menurunkan tangan dan menyimpannya di balik saku celana pendek yang dikenakannya malam ini.
Stella mengerjapkan mata dua kali, masih berharap Andrew akan mengerti maksud kedatangannya.
Tapi, pria itu ternyata tidak mengatakan apapun juga. Stella sedikit kecewa, ia menghela napas, berniat untuk kembali ke kamarnya.
"K-kalau begitu aku akan kembali. Selamat malam...."
Stella hendak membalikkan badan, dengan segala rasa malu yang tersisa. Pasti Andrew berpikir bahwa dirinya sangat aneh dan konyol datang ke kamarnya hanya untuk mengucapkan hal yang sama sekali tidak penting.
"Apa kau yakin?" ucap Andrew tiba-tiba.
"Apa?" Stella terkejut, padahal ia sudah hampir melangkahkan kakinya.
"Kau yakin bisa tidur malam ini?"
Terdengar suara petir menyambar, dipadukan suara hujan lebat yang terdengar bising.
Stella masih terdiam di tempat, berkutat pada pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat, akhirnya ia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Andrew tersenyum singkat sembari menghela napas. "Kau harus tidur, Stella ... atau kalau tidak, kau akan mengantuk besok pagi."
Stella juga sudah tahu itu, tapi masalahnya adalah ia sama sekali tidak bisa tidur sendirian di kamarnya. Kepalanya dipenuhi oleh hantu yang muncul pada film yang tadi sore ia lihat bersama Alisha.
Entah sampai kapan mereka akan berdebat terus seperti ini.
"Kau benar ..."
Stella kembali menundukkan kepala, ia dapat melihat samar-samar bibirnya yang mulai mengerucut.
Apa gadis itu kesal padanya?
Jarang sekali Andrew melihat Stella kesal. Dan itu sedikit membuatnya terkejut.
Lucunya, ketika Stella marah atau sedang kesal, gadis itu tetap tidak bisa meluapkan emosinya entah itu dengan cara berteriak atau setidaknya menunjukkan amarahnya dengan lebih jelas seperti memukul sesuatu.
Tidak, Stella bukanlah gadis yang seperti itu. Karena itulah Andrew cukup terhibur saat ini. Yang ia lakukan sekarang ini hanyalah bersabar sedikit lagi sampai Stella mau mengucapkan maksudnya sendiri.
"Kalau kau sudah mengerti, maka kembalilah ke kamarmu dan tidur dengan baik," ucap Andrew sembari melipat kedua lengan tangannya di atas dada. Tubuh bagian atasnya bersandar pada dinding bewarna putih bersih.
Stella tidak ada pilihan lain lagi selain menuruti perkataannya. Tapi, entah kenapa malam ini ia tergerak untuk datang ke kamarnya. Karena sudah terlanjur sejauh ini, Stella bertekad untuk tetap mengatakannya walaupun itu berarti ia harus siap menghadapi segala kemungkinan.
Kemungkinan terbesarnya adalah Andrew akan menolaknya.
Bukankah jawabannya sudah jelas? Tapi tidak ada salahnya 'kan mencoba? Lagipula itu adalah hal yang normal.
"Aku ingin tidur bersamamu," ucap Stella lirih.
Andrew membelalakkan mata. Sama sekali tidak menduga perkataan yang akan dilontarkan gadis itu padanya.
Melihat reaksi Andrew, Stella berubah menjadi pesimis. Ia memundurkan kakinya selangkah sebelum berkata, "L-lupakan saja!"
Andrew dengan sigap menangkap lengan tangan Stella sebelum gadis itu pergi melarikan diri.
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Andrew tersenyum hangat. Itu adalah sejenis senyuman yang tidak pernah gadis itu lihat sebelumnya.
tapi sukaaa.. gimana dong..
boleh banyak2 dong up nya..
/Kiss//Kiss/
saran aja nih.. kalau buat cerita misteri, updatenya sehari 3 x.. supaya pembacanya ga kentang.. /Chuckle//Kiss/