NovelToon NovelToon
Find 10 Fragments

Find 10 Fragments

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / spiritual / Sistem / Penyeberangan Dunia Lain / Peradaban Antar Bintang / Kultivasi Modern
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: GM Tyrann

Season 2 dari I Don't Have Magic In Another World

Ikki adalah seorang pria yang memiliki kekuatan luar biasa, namun terpecah menjadi 10 bagian yang tersebar di berbagai dunia atau bahkan alam yang sangat jauh. Dia harus menemukan kembali pecahan-pecahan kekuatannya, sebelum entitas atau makhluk yang tidak menginginkan keberadaanya muncul dan melenyapkan dirinya sepenuhnya.

Akankah dia berhasil menyatukan kembali pecahan kekuatannya, dan mengungkap rahasia di balik kekuatan dan juga ingatan yang sebenarnya? Nantikan ceritanya di sini.

up? kalo ada mood dan cerita aje, kalo g ada ya hiatus

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GM Tyrann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 32 - Ujian Semester Satu

Saat akhir pekan, aku dan Alisa berencana untuk kencan demi mendapatkan perhatian dari banyak murid di akademi. Namun, karena ujian yang mendekat, Alisa memutuskan untuk belajar bersama di apartemennya.

Di Apartemen Alisa

Aku mengetuk pintu apartemen Alisa. Beberapa detik kemudian, Alisa membuka pintu dan menyambut ku dengan senyum tipis.

"Masuklah, Ikki. Kita harus mulai belajar secepat mungkin."

Aku balas tersenyum dan berkata, "Tentu, Alisa. Terima kasih sudah mengundangku."

Di dalam apartemen, suasana cukup tenang. Alisa mengarahkan aku ke meja belajar di ruang tamu. Di atas meja, buku-buku pelajaran sudah tertata rapi.

"Jadi, pelajaran apa yang kita mulai dulu?" tanya aku pada Alisa sambil membuka beberapa buku.

Alisa menjawab dengan tenang, "Mungkin kita bisa mulai dengan matematika. Aku merasa agak kesulitan dengan beberapa konsep."

Aku mengangguk dan membuka bukunya. Kami mulai belajar dengan serius. Alisa sering mengajukan pertanyaan, dan aku dengan sabar menjelaskan setiap konsep yang sulit dipahami oleh Alisa.

"Ikki, kenapa rumus ini bisa seperti ini? Aku selalu bingung dengan langkah-langkahnya," kata Alisa sambil menunjukan rumus yang aneh.

"Ini sebenarnya mudah, Alisa. Lihat, kita hanya perlu menerapkan langkah-langkah ini secara berurutan. Pertama-tama, kita harus..." Aku menjelaskan rumus yang Alisa tunjuk, dan dibuat menjadi lebih mudah agar dia cepat paham.

Waktu terus berjalan, dan kami tenggelam dalam pelajaran. Kadang-kadang, Alisa terlihat bingung dan frustasi, namun aku selalu siap untuk membantu.

Kenapa rasanya aku seperti belajar bersama Kael. Kael selalu merasa frustasi jadi dia lebih banyak bertanya, namun karena aku belajar bersama Alisa Kael belajar bersama teman kelas yang lain.

'Aku ingin tahu bagaimana keadaannya.'

Setelah beberapa jam belajar, kami memutuskan untuk keluar sejenak dan membeli makan siang. Saat berada di luar apartemen, sikap kami berubah. Kami berjalan berdampingan, tampak mesra seperti pasangan sejati.

Di kafe dekat apartemen, beberapa murid akademi melihat kami dan mulai berbisik-bisik.

"Lihat itu, Ikki dan Alisa! Mereka benar-benar terlihat seperti pasangan sempurna," kata murid perempuan yang melihat aku dengan Alisa.

Temannya melihat kearah aku dan Alisa lalu membalas, "Iya, aku iri melihat mereka. Mereka selalu bersama dan begitu mesra."

Aku dan Alisa mendengar bisikan-bisikan tersebut, namun kami hanya tersenyum dan tetap melanjutkan obrolan mereka.

"Alisa, apa yang kamu ingin makan? Aku bisa memesan untuk kita berdua," kataku.

Alisa melihat menunya terlebih dahulu lalu berkata, "Terima kasih, Ikki. Aku ingin spaghetti dan jus jeruk."

Aku mengangguk dan pergi ke kasir untuk memesan. Sementara itu, Alisa menunggu di meja dengan senyum tipis. Murid-murid di sekitar masih memperhatikan kami dengan penuh iri.

Setelah makan siang, kami kembali ke apartemen Alisa. Begitu pintu tertutup, sikap mesra kami menghilang seketika.

Aku merenggangkan badan lalu berkata, "Oke, kita harus melanjutkan belajar lagi. Masih banyak yang harus kita bahas sebelum ujian besok."

"Benar. Terima kasih sudah bersabar denganku, Ikki. Aku tahu aku bukan murid yang paling pintar." Alisa merasa tidak nyaman karena meminta bantuan ku secara berlebihan.

Aku tersenyum dan membalas, "Jangan khawatir, Alisa. Kamu bisa melakukannya. Kita hanya perlu fokus."

Kami melanjutkan belajar hingga malam tiba. Meskipun suasana di dalam apartemen jauh dari kesan mesra, kami bekerja sama dengan baik. Alisa terus mengajukan pertanyaan, dan aku dengan sabar menjawabnya.

"Ikki, terima kasih. Aku merasa lebih percaya diri sekarang," kata Alisa dengan sedikit senyuman.

"Sama-sama, Alisa. Kamu pasti bisa dengan ujian besok." Aku tidak tahu harus apa jadi membalas perkataan Alisa seadanya. Tanpa ekspresi spesial karena hanya ada kami berdua di apartemen.

Malam semakin larut, dan akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat. Meskipun sikap Alisa terlihat dingin, aku tahu bahwa di balik itu, Alisa menghargai bantuan yang aku berikan.

"Kalau begitu aku pulang dulu," kataku pada Alisa yang berada didepan pintu masuk gedung apartemen.

"Em, hati-hati dijalan," kata Alisa memasang senyuman lembut.

***

Hari Pertama Ujian Semester Satu.

Aku dan Kael berjalan beriringan menuju ruang ujian. Matahari pagi yang cerah menyinari halaman sekolah, memberikan semangat kepada para murid yang akan menghadapi ujian hari pertama. Di depan ruang ujian, murid-murid lain sudah berkumpul, terlihat cemas dan tegang.

"Ikki, kau sudah siap?" tanya Kael, mencoba untuk tidak terlihat gugup.

Aku tersenyum santai. "Tentu saja, Kael. Ini hanya pelajaran umum. Aku rasa ini tidak akan terlalu sulit."

Kael menghela napas panjang. "Aku harap aku bisa setenang kamu. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk pelajaran khusus, jadi aku sedikit khawatir dengan ujian ini."

Mereka masuk ke ruang ujian dan duduk di tempat masing-masing. Suara bisikan dan gemerisik terdengar di seluruh ruangan. Guru pengawas mulai membagikan soal, dan suasana menjadi hening.

Selama ujian berlangsung, aku dengan tenang mengerjakan soal-soal yang diberikan. Setiap soal aku selesaikan dengan mudah, sementara di sekitarku, beberapa murid tampak mengerutkan kening, frustasi dengan pertanyaan yang dihadapi. Kael sesekali memutar kepalanya untuk melihat ke arah ku, merasa sedikit tenang melihat temannya yang begitu percaya diri.

"Kael, jangan lihat kemana-mana!" seru pengawas ujian.

Kael sontak kaget dan menjawab, "Ma-maaf." Kael kembali menuju solanya.

Setelah waktu ujian habis, aku dan Kael keluar dari ruang ujian bersama-sama.

"Bagaimana menurutmu, Kael?" tanyaku sambil meregangkan badan.

Kael mengangguk, masih terlihat sedikit cemas. "Tidak seburuk yang aku kira, tapi tetap saja aku ragu dengan beberapa jawaban."

Aku menepuk bahu Kael. "Tenang saja, kita masih punya waktu untuk memperbaiki diri di ujian berikutnya."

Hari Kedua Ujian Semester Satu

Hari kedua, suasana di sekolah terasa lebih tegang. Pelajaran yang diujikan hari ini jauh lebih sulit dan spesifik: teori dari lingkaran sihir, bahasa rune, pengaplikasian elemen, pengumpulan energi sihir, pengumpulan energi spiritual, cara membuat kontrak dengan spirit/roh, dan bahan-bahan alkimia untuk membuat suatu ramuan. Banyak murid terlihat gugup, termasuk Kael.

Aku dan Kael duduk di tempat kami masing-masing, menunggu dimulainya ujian. Kael memutar-mutar penanya, terlihat sangat tegang.

"Kau siap untuk ini, Kael?" tanyaku dengan nada lebih serius.

Kael mengangguk pelan. "Aku sudah belajar semampuku. Tapi tetap saja, pelajaran teori alkimia itu... sangat sulit."

Aku tersenyum. "Kau pasti bisa, Kael. Fokus saja dan jangan panik. Ingat apa yang kita pelajari bersama."

Guru pengawas mulai membagikan soal. Ruangan kembali hening, dipenuhi dengan suara pena yang menyentuh tablet dan detak jarum jam yang terdengar lebih keras dari biasanya. Aku mulai mengerjakan semua soal dengan hati-hati, mencurahkan seluruh perhatian pada setiap pertanyaan. Meski sulit, aku tetap tenang dan teliti.

Di sisi lain, Kael berusaha keras untuk mengingat setiap detail yang telah dipelajarinya. Ia menulis dengan cepat, terkadang berhenti sejenak untuk berpikir sebelum melanjutkan.

Ketika ujian berakhir, para murid keluar dengan wajah lelah namun lega. Aku dan Kael berjalan bersama menuju kantin, mencoba meredakan ketegangan dengan berbincang-bincang.

"Bagaimana, Kael? Lebih baik dari yang kau kira?" tanyaku sambil tersenyum.

Kael tertawa kecil. "Entahlah, Ikki. Aku merasa seperti melewati medan pertempuran. Tapi setidaknya aku berhasil menjawab semua soal."

Aku mengangguk setuju. "Itu yang terpenting. Kita sudah berusaha sebaik mungkin."

Mereka duduk di salah satu meja di kantin, menikmati makan malam dan menceritakan pengalaman mereka selama ujian.

"Aku rasa kita harus bisa masak agar tidak makan malam di kantin," ucap Kael yang terlihat lelah.

"Kalau begitu kamu masak dan aku yang akan memakan semuanya," balas aku sambil mengunyah makanan.

Setelah selesai kami berdua pulang, kembali ke asrama untuk istirahat karena besok adalah ujian praktek. Dalam perjalanan Kael bertanya padaku.

"Apa Alisa bisa memasak?"

"Tidak," jawabku singkat.

Hari Ketiga Ujian Semester Satu.

Hari ketiga tiba dengan suasana yang lebih tegang. Murid-murid akan menjalani ujian praktek sesuai dengan kelas yang mereka pilih. Aku, yang memilih Kelas Magic pada bagian elemen-elemen dasar, merasa tenang karena kelasnya sangat mudah. Aku tahu bahwa hari ini aku harus menggabungkan beberapa elemen dasar, sebuah tugas yang tidak semua murid bisa lakukan dengan sempurna.

Di lapangan praktek, murid-murid berkumpul dan berbisik-bisik, beberapa dari mereka terlihat cemas. Guru pengawas tua, seorang magister berpengalaman, memberikan arahan dengan tegas.

"Kalian akan memulai dengan penggabungan elemen dasar," kata sang guru. "Ingat, kesempurnaan dan kontrol adalah kunci. Jangan terburu-buru."

Aku mengamati murid-murid lain yang mulai mencoba menggabungkan elemen. Beberapa berhasil menciptakan campuran yang stabil, sementara yang lain terlihat kesulitan, elemen mereka saling bertabrakan dan menghilang.

Aku menarik napas dalam-dalam, dan memulai dengan mengendalikan elemen api dan air, dua elemen yang dikenal sulit untuk digabungkan. Dengan ketelitian dan konsentrasi, aku berhasil menciptakan bola energi yang memancarkan aura hangat namun lembut, sebuah campuran api dan air yang harmonis.

Para murid lain memperhatikannya dengan kagum, sementara guru pengawas mengangguk puas. "Bagus sekali, Ikki. Itu contoh pengendalian elemen yang sempurna."

Aku melihat kearah guru pengawas lalu berterima kasih dengan tulus karena sudah memuji hasil kerja keras ku.

Setelah selesai dengan penggabungan elemen, ujian berlanjut ke tahap berikutnya. Para murid diminta untuk menyebarkan MANA di dalam tubuh mereka dan menciptakan sesuatu dengan MANA tersebut tanpa bantuan rapalan atau lingkaran sihir. Tugas ini menguji kemurnian dan kontrol mereka atas MANA.

Aku, yang telah berlatih keras dan tubuh yang sudah terbiasa dengan MANA, mulai mengalirkan MANA ke luar dari tubuh dengan lancar. Aku menciptakan sebuah bola energi murni, yang bercahaya terang tanpa goyah. Guru pengawas kembali terkesan dengan kemampuan ku.

Ini sedikit berbahaya, aku harus melakukan sesuatu untuk membuat dia berhenti terkesan denganku. Pikirku saat melihat profesor tua tersenyum.

Tahap terakhir dari ujian praktek adalah melewati sebuah tempat yang penuh dengan energi sihir. Setiap murid harus menahan tekanan dari energi sihir yang semakin kuat di setiap lantainya. Ini adalah ujian ketahanan dan mental.

Murid-murid mulai memasuki area tersebut satu per satu. Tekanan energi sihir terasa berat sejak lantai pertama, dan semakin mereka naik, semakin kuat tekanannya. Banyak murid yang terhenti di lantai keempat atau kelima, tidak mampu menahan beban yang lebih besar.

Aku terus melangkah, menahan tekanan yang ada dengan tenang. Aku melewati lantai demi lantai, merasakan tekanan yang semakin besar namun tetap terkendali. Ketika mencapai lantai keenam, aku berpura-pura lelah dan berhenti.

"Sampai di sini saja, aku tidak mau mengambil risiko lebih," kataku dengan senyum tipis, meskipun sebenarnya aku bisa melanjutkan lebih jauh.

Guru pengawas mencatat hasil tersebut dengan anggukan puas. "Baik sekali, Ikki. Kamu berhasil menunjukkan kemampuanmu dengan luar biasa."

Apanya yang luar biasa? Aku hanya sampai lantai enam, lihat masih ada orang yang berada didalam dan sudah mencapai lantai kedelapan.

Ujian Hari Keempat

Hari keempat ujian semester satu adalah hari yang dinantikan sekaligus ditakuti oleh para murid. Mereka harus melawan seekor monster dari dunia buatan, sebuah ujian yang menguji keterampilan tempur dan strategi mereka. Aku berdiri di depan panel pilihan di dunia putih, jantungku berdegup tenang. Sementara, murid-murid lain sibuk memilih monster yang mereka anggap mampu mereka kalahkan.

"Kalau tidak salah dunia buatan untuk ujian semester berbeda dengan ujian masuk." Aku penasaran apa yang berbeda dari dunia buatannya.

Aku menekan opsi monster Orc, makhluk besar dan kuat yang terkenal dengan kekuatannya. Aku menunggu selama 10 detik, merasakan ketegangan yang menggantung di udara.

Tiba-tiba, dunia putih di sekelilingku berubah menjadi hutan gelap dengan pepohonan tinggi. Di depanku, seekor Orc muncul dengan geraman mengerikan, mata merah menyala menatap aku dengan penuh kebencian.

Aku cukup terkejut dengan perubahan ruangannya, namun aku harus memainkan aktingku dengan baik didalam sini.

Aku mengangkat pedang akademi dan bersiap-siap. "Ayo, Orc. Tunjukkan kekuatanmu!" Teriak aku.

Orc tersebut mengayunkan gada besar ke arah ku. Aku dengan lincah menghindar, serangan gada tersebut menghantam tanah dan menciptakan lubang besar. Aku membalas dengan tebasan cepat ke lengan Orc, menggores kulit tebalnya. Orc menggeram kesakitan dan menyerang lagi, kali ini lebih cepat.

Aku mengerahkan sihir, menciptakan bola api yang meluncur tepat ke wajah Orc. Ledakan itu membutakan Orc sejenak, memberi aku kesempatan untuk menyerang dari samping. Aku menusukkan pedang ke sisi tubuh Orc, namun dengan sengaja aku menahan kekuatan agar Orc yang aku lawan tidak langsung mati.

Orc berbalik dan memukul aku dengan punggung tangan raksasanya. Aku terlempar beberapa meter, berguling di tanah. Dan mengerang, berpura-pura kesakitan. "Ini cukup menarik," pikirku, sambil menyiapkan serangan berikutnya.

Selama 10 menit, pertarungan berlangsung dengan sengit. Aku menggunakan kombinasi pedang dan sihir, tapi aku selalu memastikan terkena beberapa pukulan agar terlihat lebih realistis dan tidak menarik terlalu banyak perhatian. Akhirnya, ketika Orc tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan, aku memutuskan untuk mengakhiri pertarungan.

Dengan lompatan cepat, aku melompat ke atas bahu Orc, menusukkan pedang ke leher monster tersebut. Orc mengerang keras sebelum jatuh ke tanah, dan dunia buatan di sekelilingku mulai memudar. Aku di teleportasi kembali ke dunia nyata.

1
GM Tyrann
Kalo kalian udah mulai baca terus ada nama MC dibagain sudut pandangnya padahal seharusnya Aku. Itu kesalahan penulisan, karena udah banyak jadi malas ganti, ada banyak sih pas sudut pandang MC seharusnya pake Aku dan Kami, tapi malah pake, nama MC, Dia dan Mereka.

Kalo dari sudut pandang karakter lain nama MC, y pake nama MC. Apa lagi.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!