Kelahiran Gara menjadi pertanda karena bertepatan dengan kematian Hybrid yang telah membawa malapetaka besar untuk daratan barat selama berabad-abad. Pertanda itu semakin mengkhawatirkan pihak kerajaan ketika ia belum mendapatkan jati dirinya diusia 7 tahun. Mendengar kabar itu, pemerintah INTI langsung turun tangan dan mengirimkan Pasukan 13 untuk membawanya ke Negeri Nitmedden. Namun Raja Charles menitahkan untuk tidak membawa Gara dan menjamin akan keselamatan bangsa Supernatural. Gara mengasingkan diri ke Akademi Negeri Danveurn di wilayah Astbourne untuk memulai pencarian jati dirinya.
Akankah Gara mendapatkan jati dirinya? Bagaimana kehidupan asramanya di Akademi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cutdiann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 31: SPENDING TIME TOGETHER.
"Tadi itu sungguh menakjubkan, dan mengerikan!" Pekik Bertha Amarix dari Demon clan sambil kembali melahap makanannya.
"Tidak keren sama sekali, Bertha. Area latihan kita jadi berantakan" komentar Hydra.
Tiba-tiba petir menyambar, sebagian anak-anak berteriak kaget lantaran suaranya yang besar dan seakan berada di atas mereka. "Badainya belum reda sampai sekarang, petirnya membuat aku khawatir" ucap Azalea.
"Makan malam kita harus menengangkan seperti ini, sangat menyenangkan" ungkap Aera semangat.
Hujannya tidak berhenti sampai makan malam tiba. Badai menyelimuti kehangatan malam di lembah Astbourne. Kilat sedari tadi menyambar, suara petir seakan menjadi melodi lagu tidur. Saat ini mereka, murid-murid sedang makan malam di pondok yang ada di tengah-tengah perkebunan Akademi.
Kedatangan Allegro disambut baik oleh semuanya, begitu juga Lucier. Namun, kedua iblis bersaudara itu belum saling berbicara satu sama lain.
Gara selesai dengan makanannya dan bertanya kepada Allegro, "Laki-laki yang bersama mu tadi, seorang Demon."
"Ah, dia adik kembar Xavier. Namanya Lucier. Dia datang ke Angkara, dan yah, dia ikut denganku ke sini" jelas Allegro yang duduk di depannya, menyantapi makan malam bersama.
"Oh begitu" ucap Gara. "Hujannya tidak berhenti" Gara berdiri memegang piring kosongnya hendak menaruhnya ke maja piring kotor
"Tidak apa, Gara. Taruh saja di meja, bukankah kau tidak boleh banyak bergerak dulu?" Ujar Selena yang duduk di meja yang sama dengan Gara, bersama teman-teman satu clan nya.
"Tidak apa, lagipula aku harus kembali ke kantor Mr. Abraham. Setelah bertransformasi tadi, sepertinya sedikit lukaku terbuka. Aku hanya perlu obat dari guru saja" jujur Gara sambil kembali duduk dan meletakkan piringnya di depannya. .
"Kau terluka? Kau tidak mengatakannya padaku" tanya Allegro.
Sedetik kemudian Gara tersadar, bahwa dia tidak sengaja membicarakan lukanya yang ia rahasiakan pada Allegro. Gara melirik Allegro, "Hanya luka kecil. Anak-anak sering melakukan kesalahan 'kan?"
"Pangeran Allegro, Gara bohong. Dia punya luka tusukan diperutnya" ungkap Edward membocorkannya sambil tertawa.
"Ah, tolong jangan panggil dengan sebutan itu. Tapi, apa maksudmu luka tusukan?! Aku mau lihat-"
"Kak, jangan di sini, bagaimana jika orang-orang melihat?" Alasan Gara ketika kakaknya hendak membuka pakaiannya.
"Hanya aku yang melihat-"
"Mereka bisa kehilangan selera makan."
"Tidak, kami semua sudah selesai. Aku sendiri belum melihat dengan jelas luka mu" kata Xavier yang mendengar perbincangan Gara dengan Allegro. Begitu juga dengan yang lain, mereka menyelesaikan makanan mereka secepat mungkin dan menghampiri meja makan itu.
"Kalian ini..." Pasrahnya.
Gara membuka sedikit bajunya, memperlihatkan dengan jelas perutnya yang terluka. Luka itu mulai tertutup, disekitarnya membiru sampai keunguan. Seperti yang dikatakan Gara, lukanya sedikit terbuka, mengeluarkan sedikit darah yang sudah mengering. Pikirnya, mereka tidak ingin melihat hal mengerikan seperti itu. Tapi teman-temannya menatap dengan tatapan serius pada luka diperut Gara.
"Itu pasti sakit" ucap Iris.
"Sakitnya sangat nyata setelah aku keluar dari danau. Tapi karna obat Mr. Abraham, perutku seakan mati rasa. Makanya, karena luka ini terbuka lagi, aku perlu obat dari guru sebelum rasa sakitnya datang" kata Gara.
"Luka dari ekor Psychofágos memang berbahaya dan sangat menyakitkan, luka itu terasa panas seperti terbakar" jelas Xavier.
"Huh, tapi Gara tidak pernah mengatakan soal rasa panas dilukanya" protes Castiel.
"Kupikir, tidak perlu dikatakan. Lagipula tidak terlalu panas, rasanya hangat."
"Wah, benarkah..."
Setelahnya, mereka para murid, dan dua tamu yang berkunjung, menikmati malam diruang berkumpul yang ada di asrama.
Ketibaan Allegro dan Lucier disambut oleh semua murid dari berbagai kelas tahun.
Lalu setelah waktu bebas berakhir, mereka bersiap untuk kembali ke kamar masing-masing. Allegro tidur bersama Gara di kamarnya, dia sangat takjub dengan sihir yang digunakan di kamar mereka. Sebenarnya dia diberikan kamar tamu di Akademi, tapi Allegro menolak. Hanya Lucier seorang yang menempati kamar tamu tersebut.
Allegro sedang mencoba untuk akrab dengan murid Lycanthrope clan lain, sementara Gara memperhatikan apa yang sedang dilakukan Ardan. Mereka berkumpul di sisi ruangan Gara dan Chlea.
"Apa ini sebabnya kau meminta cairan warna dari Piers?" Tanya Gara, menghampiri Ardan yang duduk di kasur miliknya.
"Iya, Fairy clan bisa membuat cairan warna dari bunga. Kemarin aku mencari bunga yang ada disekitar sini dan meminta bantuan Piers" jelas Ardan sambil memperhatikan Light si burung gagak yang ikut masuk ke kamar, dia sedang tertidur disudut kasur Gara. Tangannya juga dia arahkan menuju Light, seakan hendak mengambil gambar.
"Aku tidak tau kau bisa melukis" kata Gara.
"Sebenarnya aku juga tidak yakin, aku suka melukis sejak kecil, tapi rasanya aku ingin mendokumentasikan momen-momen kita di sini. Aku hanya perlu berlatih."
Ardan mencelupkan ujung kuas pada cairan kental berwarna hitam yang ada di botol kaca kecil. Dia bahkan mendapatkan kotak untuk menyimpan semua alat dan bahannya melukis, pemberian dari Piers. Ardan membuat garis-garis tidak jelas pada kertas melukisnya. Kadang ia membasahi ujung kuas dengan air.
"Itu terlihat seperti Light" seru Gara, memperhatikan Light dan lukisan Ardan secara bersamaan.
"Tidak, ini baru badannya saja. Sayang sekali tidak ada apa-apa lain didekat Light untuk ku lukis."
"Bagaimana jika aku membantumu? Aku bisa berpura-pura tertidur di dekat Light" ujar Gara, kembali ke kasurnya lagi.
"Ah, kau benar. Terimakasih Gara."
Gara berbaring di kasurnya secara terbalik. Kepalanya kini berada di ujung kasur, tepat didekat Light sedang tidur. Gara menutupkan matanya, seperti yang ia katakan. Dengan sigap, Ardan langsung melanjutkan lukisannya. Tatapan Delta itu benar-benar sangat fokus. Garis-garis yang ia buat dengan tenang. Dengan cahaya lampu yang ada di atas nakas, Ardan berhasil membuat lukisan itu seakan nyata.
...════════ ◖◍◗ ════════...
...SAGARA POV...
"Kau sudah mahir menggunakan busur!" Seru kak Allegro yang berdiri jauh di belakang ku. Dari tadi, dia menemani ku berlatih seorang diri.
Aku menghampiri kak Allegro, "Tidak semahir sepertimu."
Kami berdua berjalan hendak menuju asrama, untuk menyudahi hari ini. Sudah tiga hari kak Allegro di sini. Tidak melakukan banyak hal, namun kehadirannya adalah sesuatu yang istimewa bagiku. Aku berharap dia ikut belajar di Akademi ini, tapi itu juga tidak mungkin sebab ia punya Akademinya sendiri di Urcmoonth. Tidak apa, asal aku tau kak Allegro hidup, itu saja membuatku senang.
"Hey, ayo berkeliling hutan sebentar saja. Aku juga ingin membicarakan sesuatu padamu" ucap kak Allegro sambil mengubah arah. Aku penasaran, apa yang ingin kak Allegro bicarakan.
Setelah meletakkan busur dan beberapa anak panah itu di rak busur yang ada di lapangan hutan, aku berlari kecil mengikuti kak Allegro, masuk ke dalam hutan. Anginnya membuat suasana menjadi lebih menyenangkan. Sinar matahari yang masih menggantung di langit tembus disela-sela ribuan daun. Suara serangga juga memenuhi hutan seperti lagu saja. Aku berjalan tepat di belakang kak Allegro. Dia lebih tinggi dariku. rambut pirang sebahu itu mirip dengan rambut ibu. Aku baru sadar, sekarang ia menggunakan bando di kepalanya.
"Aku tidak ingin pergi, aku ingin terus bersamamu untuk melindungimu. Mendengar Pasukan-13 yang dikerahkan INTI untuk mencari keberadaanmu saja membuat aku terganggu" katanya tiba-tiba.
"Vale ingin menandaiku, dan tenang saja, dia tidak akan bisa menemukanku di sini."
Kak Allegro berhenti dan berbalik melihatku, dengan senyuman yang selalu ia lakukan. Ia mengusap kasar kepalaku, "Kakakmu ini sedang khawatir, tau!"
"Hahaha, berhentilah. Aku bukan anak kecil lagi, kak!"
"Baik-baik. Oh ya, besok aku harus kembali ke Angkara, kau tau 'kan ayah akan naik tahta tak lama lagi" katanya.
"Ah, aku akan merindukanmu lagi, kak. Padahal aku berencana hadir di hari kenaikan ayah, tapi Pasukan-13 masih dikerahkan" aku memperhatikan langkah kaki yang sengaja ku samakan dengan kak Allegro.
"Aku akan menceritakan hari itu padamu. Bahkan lebih baik kau tetap di sini. Mungkin mereka berjaga di sekitar kerajaan dan Pack tanpa henti. Pikiran mereka mudah ditebak" kak Allegro merangkulku.
"Apa menurutmu para mantan Hunter itu akan hadir di sana?" Tanyaku.
"Tentu saja, lagipula mereka adalah rekan ayah sampai sekarang."
Aku terdiam sesaat, "Raja dan Ratu dari kerajaan tertinggi lain pasti ikut hadir, bukan?"
"Iya, pastinya begitu. Aku tau, kau ingin menanyakan tentang anak-anak mereka. Ku rasa teman-temanmu juga tidak akan pergi. Sebagian temanmu tidak ingin berjumpa dengan orang tua atau bagian dari keluarganya sendiri, bisa saja mereka lebih memilih untuk tetap di sini. Terlebih Pangeran Xavier, Iris, dan Piers" ungkap kak Allegro.
"Kau melihat masa lalu mereka, iya 'kan kak?" Tebakku.
Kak Allegro tersenyum simpul, "Aku hanya iseng. Hey, kau tidak memperkenalkan serigalamu padaku?" Tanya kak Allegro.
"Ah, baiklah."
Aku membiarkan Saga mengambil alih tubuhku. Saat ini aku berada di alam bawah sadarku. Tempat ini terang sekali. Aku tidak bisa melihat apa yang aku pijak, atau apa yang ada di atasku. Tempat ini seakan ruang kosong yang tidak ada apa-apa, hanya dipenuhi oleh cahaya-cahaya bintang-bintang jatuh. Di sana, ada sebuah meja bundar dan 3 buah kursi. Di atasnya ada teko teh, dua buah cangkir dengan posisi terbuka, dan ada satu lagi dengan posisi tertutup.
Salah satu kursinya diduduki oleh diriku sendiri, itu adalah sisi Vampireku. Dia memperhatikan langkahku yang menuju meja itu.
"Sekarang kau bisa mengontrol dirimu sendiri, aku terkesan" ucapnya sambil menyeruputi tehnya.
Aku mengambil duduk di depannya, dan membuka cangkir yang tertutup itu, lalu menuangkan teh hangat dari teko untuk diriku sendiri, "Kau dan Saga, menghabiskan sepanjang waktu di sini?"
"Ya, di tempat yang kosong seperti ini. Tapi kadang kami memperhatikan tanaman kecil itu" ia menunjuk ke sebuah tanaman kecil yang tumbuh di sebuah genangan air. Sangat kecil, bahkan jika di pijak saja mungkin tanaman itu akan mati.
"Tanaman apa itu?"
"Tidak tau, tapi kadang ia mengeluarkan suara-suara aneh. Seperti suara ayah dan ibumu."
Aku menatap benda kecil itu, lalu memperhatikan sisi Vampireku ini, "Mau ku berikan nama?"
"Huh, menggelikkan sekali."
"Hm, terserah."
"Ck, cepat berikan. Nama yang bagus seperti Saga."
"Sara."
"Tidak, itu terdengar seperti perempuan."
"Itu ada di dalam namaku, Sagara. Saga, Gara, dan Sara. Terima saja."
Dia menghela dan mengangguk dengan wajah tidak suka. Kemudian muncul bayangan yang tembus pandang di depan kami. Itu adalah kak Allegro dan diriku yang sedang di ambil alih oleh Saga. Mereka seakan nyata, tapi aku juga mengerti, itu hanya gambaran biasa.
"Jadi begini cara kalian melihatku?"
"Begitulah. Kami bisa mengetahui apa saja disekitar mu dari jarak terjauh sekalipun. Tapi kami lebih sering menggunakan benda seperti peta timbul dengan skala lebih besar" Sara menunjuk ke sisi lain dari gambaran kak Allegro dan Saga. Sebuah peta timbul yang juga tembus pandang, membentang seperti karpet di atas meja yang lebih besar lainnya. Bahkan aku baru menyadari benda itu ada.
Aku memperhatikan mereka berdua lagi, yang sedang berjalan di depanku, tidak berpindah tempat.
"Aku merinding hanya karna kedatanganmu, serigala Gara. Kau terlihat jauh berbeda dari penampilan Gara" ucap kak Allegro memperhatikan wajah Saga yang serupa denganku.
"Panggil aku dengan Saga, Gara memberikanku nama itu."
"Nama yang indah."
"Sangat jauh berbeda dari Gara sampai kau melihatku seperti itu?" Saga sedikit menjauhkan dirinya dari wajah kak Allegro yang terus menerus menatap wajahnya.
"Sangat jauh. Kau punya garis hitam di bawah matamu, dan warna merah tua yang menghiasi ujung kelopak matamu. Kau seperti sedang menggunakan riasan ibuku" kata kak Allegro.
"Ah, itu memang ada sejak dulu. Setiap serigala punya ciri khas masing-masing" jujur Saga.
"Oh begitu, jadi... apakah sisi Vampire Gara punya ciri khas seperti itu juga?" Tanyanya.
"Hanya ada sedikit warna putih atau silver di ujung matanya. Dia tidak setampan aku" sombong Saga. Akupun melihat Sara di depanku, bahkan aku baru sadar dia memilikinya juga.
"Hei, jagalah adikku."
Kalimat itu membuat aku kembali menatap kak Allegro. "Kau yang paling terdekat dengannya."
Aku terus memperhatikan wajah serius kak Allegro, sama sekali tidak ada kesan main-main di sana. Dia tampak percaya pada Saga. Hal itu membuatku senang.
"Adikmu adalah aku, dan aku adalah adikmu. Tentu saja aku akan menjaganya, itu sama saja dengan menjaga diriku sendiri. Kau tidak bisa berpikir dengan benar" ledek Saga sambil menyenggol kak Allegro.
"Huh?!"
"Saatnya pergi!"
Tiba-tiba Saga muncul di depanku, dia langsung menghampiri aku dan Sara, lalu duduk di kursinya. "Aku mengantuk, ucapkan 'Aku ingin tidur' pada kakakmu."
Tanpa menunggu Saga, aku kembali bersama kak Allegro, keluar dari alam bawah sadarku. Dia terlihat kesal dengan tatapannya yang sangat terlihat jelas mengarah padaku. "Kau tidak bersungguh-sungguh- Oh! Gara?"
"Iya, ini aku. Saga bilang dia mengantuk."
Kak Allegro menghembuskan nafasnya kasar, "Dia sedikit tidak sopan."
Aku tertawa kecil melihat wajah kesal kak Allegro, aku menyukai wajah itu setiap saat. Bahkan ketika aku sengaja menjahilinya sesekali, seperti pura-pura tidak mendengar ia ketika berbicara padaku, atau saat aku tidak mengikuti perintah baiknya. Kak Allegro akhirnya ikut ketawa bersamaku.
"Ah, perutku geli sekali. Aku bisa ketawa karna melihatmu tertawa."
"Aku tertawa karna-"