Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*14
"Vano."
Gegas Melia menyingkirkan laptop yang ada di atas pangkuannya. Dia pun segera beralih posisi dari duduk di atas kursi menjadi duduk di atas ranjang, tepatnya, di samping Vano yang masih berbaring lemah.
"Nona muda."
Vano ingin bangun saat matanya melihat Melia setelah membuka mata. Namun, reflek Melia menahannya dengan cepat.
"Jangan banyak bergerak dulu, Vano. Luka dalam yang kamu alami sangat serius. Kamu harus berbaring sekarang."
"Tunggu sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk memeriksa tubuhmu."
Selesai berucap, Melia ingin langsung beranjak. Tapi tidak, tangan Vano malah menahan tangan Melia dengan cepat.
"Jangan pergi, nona muda. Aku baik-baik saja sekarang. Aku gak papa. Aku gak butuh dokter untuk saat ini."
"Tapi, Vano. Kondisi tubuhmu harus segera di periksa oleh dokter. Gak papa. Aku gak akan lama."
Pada akhirnya, Vano harus tetap melepaskan genggaman tangan yang dia cengkram kan ke tangan Melia. Sedikit sadar diri meski hati sangat menginginkan. Kewarasan dan harga diri Vano masih terjaga dengan sangat baik.
Melia berjalan cepat meninggalkan Vano yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Dia bergegas menuju halaman ruangan si dokter yang ada di ujung lorong.
Saat terburu-buru, memang pikiran tidak bisa bekerja dengan baik. Harusnya, Melia tidak perlu melakukan hal tersebut karena dia bisa memanggil dokter hanya dengan ponsel. Tapi, karena buru-buru. Dia malah lupa.
"Nona muda."
"Segera periksa Vano. Dia sudah sadar," ucap Melia dengan napas terengah-engah.
"Tuan Vano sudah sadar?" Si dokter malah bertanya balik.
"Iya. Ayo ke kamarnya sekarang juga!"
"Ba-- baik, nona muda. Tapi, harusnya, nona tidak perlu berlarian seperti ini. Nona bisa minta yang lain buat datang memanggil saya. Atau, nona bisa gunakan ponsel nona untuk menghubungi saja, bukan?"
Melia terdiam. Sekarang, dia baru sadar akan kesalahan yang sudah dia perbuat. Harusnya, dia tidak perlu berlarian dengan susah payah untuk memanggil dokter. Dan lagi, dia tidak harus meninggalkan Vano sendirian di kamar itu tadinya.
"Astaga!" Melia menepuk dahinya dengan pelan. "Aku terlalu bahagia saat melihat Vano sadar. Jadi malah melupakan apa yang seharusnya aku lakukan."
"Agh, ya sudahlah. Tidak perlu dipikirkan. Ayo bergegas ke kamar Vano. Priksa dia secepatnya. Aku tidak ingin dia kenapa-napa. Tidak ingin ada hal buruk yang menimpa dia."
Perhatian Melia pada Vano memang agak berlebihan. Jika orang asing melihat hal itu, mereka akan berpikir kalau Melia memang punya perasaan khusus untuk Vano. Tapi, buat mereka yang sudah terbiasa dengan hal itu, mereka tidak ingin ambil pusing lagi. Karena Melia memang memperlakukan rekan dan anak buahnya dengan sangat baik.
Melia memperlakukan mereka seperti keluarga. Selalu mengganggap penting apapun yang anak buahnya alami. Jangan kan terluak, lecet sedikit saja Melia akan sangat memperhatikannya. Baik wanita maupun lelaki, perlakuan, perlakuan itu setara.
Saat Melia dan dokter tiba ke kamar Vano, pria itu malah susah duduk di ranjangnya. Gegas Melia menghampiri dengan wajah cemas.
"Van, kok malah bangun sih? Aku kan udah bilang kalau kamu harus berbaring. Kok ngeyel sih kamunya?"
"Saya baik-baik saja kok, nona muda. Tidak ada yang perlu di cemas kan dari kondisi saya. Hanya terluka ringan. Tidak parah."
Hembusan napas berat langsung Melia perdengarkan. "Huft."
"Dokter, priksa pasien ini sekarang juga. Pasien ini terlalu keras kepala. Jadi, harus segera di tangani."
Si dokter malah tersenyum manis.
"Baik, nona muda."
Dokter tersebut lalu melakukan tugasnya dengan cepat. Di sisi lain, mobil yang Ricky tumpangi sudah pun tiba ke rumah mewah milik keluarga Amerta. Penjaga yang melihat kedatangan tuan muda mereka langsung bagun menyambut dengan penuh hormat.
Mobil pun akhirnya berhenti di depan rumah mewah tersebut. Sambutan dari para pelayan dengan memperlihatkan wajah cemas langsung terlihat. Sementara itu, Resta yang langsung sigap membantu Ricky untuk turun walau Ricky sudah dibantu oleh Fendi, sedang terlihat sangat berusaha dengan keras agar bisa memapah Ricky.
"Biar saya bantu masuk ke dalam, tuan muda."
"Fendi, kamu bantu aku menyiapkan ranjang agar tuan muda bisa langsung berbaring setelah masuk ke dalam."
"Tidak perlu di siapkan. Karena pak tua sudah menyiapkan semuanya." Ricky berucap dengan wajah sedikit acuh. Namun, bantuan untuk memapah yang Resta berikan tetap dia terima. Jadinya, saat ini, yang membantu dirinya berjalan masuk, lebih banyak Resta yang memberikannya.
"Tuan muda. Bagaimana keadaan anda sekarang?" Pak tua langsung melontarkan pertanyaan setelah matanya melihat Ricky.
"Saya baik-baik saja, pak tua. Tidak perlu cemas."
"Oh iya. Saya butuh istirahat dengan tenang dan nyaman. Jadi, kalau Citra datang, jangan izinkan dia masuk. Minta dia kembali saja, pak."
Pak tua langsung menatap lekat wajah Ricky. Tapi, dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Ricky dengan Citra. Ada cerita dibalik bertukarnya calon istri delapan tahun yang lalu.
"Baik, tuan muda." Pak tua berucap dengan tenang.
Sebaliknya, ucapan itu tentu saja membuat hati Resta bahagia. Dia punya peluang untuk merebut Ricky dari tunangan yang delapan tahun menjadi tunangan tapi tidak juga terdengar kabar pernikahan.
'Sepertinya, peluang untuk mengambil alih posisi istri Ricky masih sangat besar. Karena tunangannya yang sekarang ternyata sama sekali tidak ada kedudukan sedikitpun di hati Ricky. Posisi istri ini pasti akan jatuh ke tanganku jika aku berhasil memenangkan hati Ricky.' Resta bicara dalam hati sambil tersenyum kecil nan singkat.
....
Benar saja apa yang Ricky perhitungkan. Citra memang datang ke kediaman Amerta untuk menemui Ricky. Untung pak tua sudah menerima amanat. Jika tidak, Citra pasti akan leluasa masuk ke dalam tanpa ada hambatan sedikitpun.
"Kalian apa-apaan sih? Lupa kalian dengan siapa aku ini, ha?" Kesal Citra bukan kepalang ketika dua pelayan melarangnya masuk setelah dia tiba di depan pintu kediaman Amerta.
"Maaf, nona. Kami tahu siapa nona. Tapi, pesan tuan muda yang tidak mengizinkan nona masuk tidak bisa kami abaikan." Salah satu pelayan menjawab dengan sopan.
"Iya, nona. Kami hanya menjalankan perintah. Nona tidak diizinkan masuk karena tuan muda harus istirahat dengan tenang." Yang lainnya pula membenarkan.
Raut kesal Citra semakin tergambar dengan sangat jelas. Tangannya pun kini sedang tergenggam dengan eratnya.
"Kalian!"
"Aku tidak percaya kalau kak Iky yang melarang aku untuk masuk."
"Aku ini tunangannya. Calon istrinya di masa depan. Aku bisa merawat dia dengan baik. Bagaimana bisa dia melarang aku masuk saat dia sedang membutuhkan seseorang untuk menjaganya."
"Tuan muda tidak membutuhkan tunangan untuk merawatnya. Karena dia sudah punya dokter pribadi dan pelayan yang bisa melakukan hal itu dengan sangat baik," ucap Resti yang tiba-tiba muncul dari arah dalam rumah.
🌹 dulu... nanti lanjut lagi