"Assalamualaikum, boleh nggak Alice masuk ke hati Om dokter?" Alice Rain menyengir.
Penari ice skating menyukai dokter yang juga dipanggil dengan sebutan Ustadz. Fakhri Ramadhan harus selalu menghela napas saat berdiri bersisian dengan gadis tengil itu.
Rupanya, menikahi seorang ustadz, dosen, sekaligus dokter yang sangat tampan tidak sama gambarannya dengan apa yang Alice bayangkan sebelumnya.
Happy reading 💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi siapa?
"Astaghfirullah!" Alice semakin manjadi, karena bukan lagi usapan melainkan remasan yang sontak membuat Fachry mendesah.
Alice suka, herangan kecil itu. Fachry tampak macho, bahkan terlihat sangat seksi dalam waktu yang bersamaan. "Alice shake mau?"
"Mas lagi nyetir, Lice..." Fachry menegur, istri kecil memang sebutannya. Umur baru akan menginjak 19 tahun, tapi kelakuan tidak sesuai dengan usianya.
"Kurang- kurangin nonton film dewasa deh."
Alice tak peduli selain memeluk. Fachry mendesah pelan, kadang menyebalkan kadang menggemaskan, istrinya ini perpaduan antara polos dan terlalu bar- bar.
Sepanjang perjalanan, Fachry hanya ceramah, memberi tahu apa yang tidak dan boleh dilakukan seorang muslim.
Menasehati istri kecilnya dengan kelembutan karena, Fachry paham bagaimana ajaran agama yang dia anut memuliakan istri.
Meski pengang telinganya, Alice tak pernah melepaskan pelukannya. Keduanya seperti pasangan romantis yang saling mencintai meski Alice tahu hati Fachry masih abu- abu.
"Sayang..."
Alice sejuk mendengar kata sayang itu, tapi Alice yakin, kata sayang yang dilontarkan bukan karena Fachry cinta, melainkan karena Fachry terlalu hidup sesuai dengan aturan agamanya. Tak heran seorang Fachry begitu, karena Fachry takut laknat Tuhannya.
Menjadi suami yang baik, itu juga termasuk dari salah satu kewajiban Fachry. Dan Alice yakin, siapa pun istrinya, entah itu tua, muda, cantik, jelek, Fachri tetap akan memuliakan istrinya, dan Alice tak merasa spesial meski Fachry menyebutnya Sayang.
Terkadang Fachry geram dengan celetukan Alice, tapi juga menyukai, karena ternyata gadis itu tak sadar jika dia telah tertarik dengan kebenaran yang Fachry tuturkan.
"Makanya perbaiki hidup sendiri ya, Habibati Qolbi, supaya nanti setelah diangkat ke surga, Mas bisa langsung menemukan istri, Mas."
"Habibah siapa lagi?" tukas Alice. Setelah kemarin Almira, Nita, Cinta, ini perempuan mana lagi, ya Tuhan banyaknya!
"Itu panggilan sayang, Alice."
Sontak, Alice menghentak kaki berkali kali mendengar penjelasan suaminya. "Aaaa, kenapa ustadz so sweet banget sih!"
Fachry tertawa.
"Boleh Alice tanya?" Setelah banyak pikir yang wara wiri, Alice menyeletuk pada akhirnya.
"Hmm." Fachry mengangguk.
"Apa Ustadz masih cinta Kak Almira? ... Apa Ustadz udah bisa sayang sama Alice?"
Fachry mengusap kening, bingung harus menjawab apa. Sebab hatinya masih beku setelah pengkhianatan seseorang di masa lalu.
Semenjak tiga tahun yang lalu, belum ada lagi seseorang yang bisa dia ingini seperti saat dia menginginkan Almira. Yah, tapi mengaku cinta demi kebaikan mungkin tidak buruk.
"Lama gini jawabnya!" Baru ingin menjawab, Alice sudah berpaling. "Udah nggak usah capek- capek jawab! Alice tahu, Ustadz masih sayang sama Kak Almira!"
"Astaghfirullah." Fachry hanya beristighfar, sepertinya istrinya benar- benar dilahirkan kembar bersama detektor. Bisa mendeteksi perasaan yang dia pendam.
Keduanya menjadi diam- diaman setelah itu, sungguh Alice kesal jika mengingat kembali bagaimana ekspresi Fachry ketika ditanya cinta atau tidak, kepadanya.
Masih kentara sekali. Alasan Fachry berbaik hati memberikan uang jajan, memanggilnya dengan sebutan Sayang, hanya karena kewajiban sebagai suami yang baik.
Tiba di pekarangan rumah Fachry, rumah yang tidak terlalu besar. Hanya muat satu mobil untuk parkir, mobil itu berhenti.
Alice membuka pintu sendiri, hal yang sebenarnya jarang dilakukan istrinya karena semenjak menikah, Alice tak pernah mau turun sebelum Fachry membukakan pintu.
"Di rumah kunci pintu, ya." Fachry mengantar sampai ke dalam, tapi harus pamit lagi karena sore ini sudah ada jadwal operasi.
Alice diam saja ketika suaminya mengecup pucuk kepalanya. Dia tidak lebih spesial dari apa pun di mata Fachry. "Jangan lupa shalat!"
Ah entah lah, Alice memberengut cukup lama di depan televisinya. Tapi saat adzan maghrib ditayangkan Alice ingat shalat.
Malam sudah cukup larut, Fachry belum ada kabar akan pulang. Yah, memang kalau sudah aktif bekerja, Fachry harus rela mandi dan makan di tempat kerja.
RS, klinik, pesantren, kampus, itu waktu yang Fachry padati agar bisa melupakan Almira, tapi setelah beristri dia terjebak di dalamnya, Alice bahkan hanya memiliki sedikit waktu.
Pukul tiga dini hari, Fachry tiba di rumahnya, melihat istrinya tertidur pulas di atas sofa ruang tengah. Mungkin, sebelum tidur Alice menunggu, sedang Fachry baru selesai dengan urusan pasiennya di Rumah Sakit.
"Lice..." Fachry menggoyang kecil lengan Alice yang lekas menggeliat. "Nggak mau Rivald!" tolaknya.
"Rivald?" Fachry berkerut kening. "Kamu mimpi siapa?" tanyanya kemudian. Terlihat, Alice membuka mata kemerahannya.
"Hah?" Alice baru bangun, dia bahkan lupa ini pagi atau malam, tapi Fachry sudah mencecar dirinya dengan pertanyaan aneh.
"Kamu tadi sebut Rivald!" tukas Fachry.
"Mana ada," sanggah Alice. Perempuan itu bangkit dari sofa, duduk, lalu berdiri dan berjalan sempoyongan menuju kamar.
Fachry belum selesai bicara, makanya dia segera menarik selimut yang Alice tarik untuk menenggelamkan tubuhnya. "Memang Rivald siapa sampai ke bawa ke mimpi kamu hm?"
"Apaan sih Ustadz?" Alice bingung. "Orang ngantuk diintrogasi. Jauh dari surga udah ustadz mah, sama istrinya suka bikin kesel."
Fachry menghela napas, Alice yang menyebut nama pria lain di mimpinya. Tapi Alice juga yang kesal padanya. "Rivald mantan kamu?"
"Kayaknya iya deh."
Sontak, Fachry membuka kancing kemejanya secara ugal- ugalan. Bahkan runtuh anak kancingnya berjatuhan.
👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼👏🏼
🙏🏼☕