HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yg gamodal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Khaira semakin panas rasanya, belum lagi ketika dia menyadari Gibran justru terfokus pada Kanaya di sana. Marah, cemburu dan memang hal-hal itu sudah terjadi sejak Gibran memutuskan untuk melamarnya.
Keraguan akan cinta Gibran dan rasa bencinya pada Kanaya membuat Khaira seakan buta. Dan tanpa beban Khaira menginjak kaki Gibran dengan sepatunya.
"Aaawwww!!! Khaira kamu gila?!! Sakit," desis Gibran menatap kesal Khaira, memiliki istri emosional dan tidak bisa berpikir jernih seperti Khaira ternhaya cukup sulit juga.
"Kamu lihat kemana? Ke dia kan?!! Kenapa, kamu masih cinta sama dia, Mas?" tanya Khaira dengan emosi tertahan dan naluri untuk menjambak Kanaya.
"Apa salahnya? Bukankah di pesta pernikahan memang tamunya bakal melihat mempelainya?" tanya Ibra merasa dirinya tak salah, pria itu berdecak kesal dan menjauhkan kaki Khaira dengan kasar, sama sekali tidak ada lembut-lembutnya.
"Mas!! Kamu apa-apaan?"
Merasa tak terima dengan perlakun Gibran, mata Khaira kini berkaca-kaca. Sementara di sebeleah mereka, wanita paruh baya dengan bibir merah menyala tengah berusaha menahan emosinya, hingga pada akhirnya Widya lepas kendali.
"Dasar boddoh!! Kalian pulang saja kalau mau ribut," bentak Widya kesal bukan main, tamu yang duduk di dekat mereka jelas saja mencari sumber suara.
Saat ini, Widya tengah meratapi kebodohan dirinya sendiri. Betapa hidupnya terpenjara dalam sesal dan kini mencuri pandang pada Kanaya.
Dia malu, pada diri sendiri dan pada Kanaya tentu saja. Rasanya dia tak punya muka lagi untuk datang di tempat ini, namun karena Mahatma yang bersikeras mengajak mereka untuk datang demi menyaksikan akad nikah Kanaya, putri tiri yang entah karena apa Mahatma sangat menyayanginya.
Khaira jelas saja mengerutkan dahi, kenapa juga mamanya justru ikut marah. Padahal tadi dia tahu dengan jelas bahwa Widya menyetujui semua pendapatnya dan sejak dulu Widya tak pernah marah kepadanya.
"Ehem-ehem, ada masalah apa, Bu? Jika memang mendesak, silahkan keluar saja ... tidak enak sama yang punya acara, hargai pak Ibra dan istrinya."
Di tengah cekcok mereka, seorang wanita yang jika dilihat dari penampilannya adalah tokoh penting yang kerap mereka lihat di layar kaca.
"Maaf atas ketidaknyamanannnya."
Mahatma mengambil peran, wanita itu hanya mengangguk pelan. Tutur bahasa Mahatma memang berbeda, dia bisa menguasai diri dan tidak bertindak gila seperti mereka.
Abygail sebagai kakak kedua Kanaya tengah mengusap wajahnya gusar, orang-orang yang menjadi tamu di sini adalah tokoh penting yang cukup banyak ia kenal.
Para pemegang jabatan tinggi di perusahaan yang kerap ia kunjungi ketika menemani bosnya menjalin kerja sama, serta di antara mereka juga adalah anggota dewan pemerintahan.
Semakin terasa mereka sekecil apa, Ibra yang menyembunyikan identitasnya dan lebih memalukannya lagi dia sempat menghajar Ibra hingga babak belur kala pria itu melamar adik kandungnya.
"Aku tiba-tiba tidak enak badan, Pa, aku duluan ya," pamit Adrian tiba-tiba, ternyata yang merasakan ketidaknyamanan itu bukan hanya Abygail, melainkan Adrian juga.
"Tidak ada yang boleh pulang, kalian semua harus memberikan selamat untuk Kanaya."
Matilah mereka, bagaimana bisa memberikan selamat pada Kanaya sementara saat ini rasa malu sudah menyelimuti mereka. Rasanya benar-benar membingungkan, ingin rasanya Adrian lari dari tempat itu dengan cepat.
"Ayolah, Pa, jangan kekanak-kanakan."
"Tidak ada yang seperti anak-anak!! Ibra sudah melihat kita sebelum akad, dan akan lebih baik jika kita memberikan selamat lebih dulu sebelum pulang."
Keputusan Mahatma adalah keputusan mutlak dan tidak boleh diganggu gugat. Pria itu menatap tajam mereka bergantian, biarlah mau semalu apapun mereka, yang jelas mereka harus tetap berada di aula pernikahan ini hingga usai.
-
.
.
.
Dari sudut pandang Kanaya, dia tertegun melihat para tamu undangan di hadapannnya. Dia tidak sedang bermimpi bukan? Tamu undangan dari orang-orang luar biasa, makanan yang tersedia juga bukan makanan biasa, lampu kristal yang berada di atasnya di setiap sudut membuat Kanaya tengah merasa dirinya berada di dunia fantasy.
"Kenapa? Capek ya?" tanya Ibra sebegitu lembutnya, melihat istrinya yang terlihat lelah ia khawatir tentu saja, kandungan dalam diri Kanaya yang menjadi alasan Ibra begini.
"Enggak kok, aku nggak capek," jawabnya dengan senyum yang tertahan, entah kenapa saat ini Kanaya merasa dirinya tak mengenali Ibra lagi.
Jika sebelumnya Kanaya biasa saja, saat ini dirinya malu luar biasa. Bagaimana Ibra memperalukannya, sejak tadi selalu saja ada bulu mata Kanaya yang rontok dan Ibra dengan cepat menyingkirkannya.
"Kamu sakit, Kanaya?" tanya Ibra penasaran, padahal hanya bulu mata, sakit apa, pikir Kanaya heran luar biasa.
Kanaya hanya menggeleng pelan, dia sedikit menunduk dan menghindari tatapan Ibra. Apa benar begini rasanya penganti baru, Kanaya membatin penuh tanya.
"Kanaya."
"Haa? Papa?!!"
Kemana mata Kanaya hingga tidak menyadari keluarganya ada di sini. Ibra pun tidak mengucapkan apapun padanya terkait keluarga besar Kanaya.
"Selamat ya, Nak, Papa bahagia ... anak papa cantik sekali," tutur Mahatma sejujurnya, usai memeluk erat Kanaya dan mencurahkan kasih sayang serta mengutarakan maaf pada putrinya ini.
"Terima kasih, Papa, Naya jadi sedih."
Manja, mungkin karena itu Khaira tak suka kakak tirinya. Kanaya memang semanja itu pada Mahatma, namun bukan berarti dia berkehendak untuk merebut kasih sayang Mahatma dari siapapun, tidak sama sekali.
"Mama mana? Ikut kan, Pa?" Meski Widya membencinya, demi Tuhan Kanaya masih mengingatnya sebagai surga.
Mahatma mengangguk pelan, seakan memberikan ketenangan pada Kanaya bahwa dia masih punya keluarga. Meski, dia bingung menjawab apa, karena mengajak Widya untuk menjabat tangan Kanaya susah luar biasa.
"Papa panggilkan ya, Sayang," ucap Mahatma menggenggam jemari Kanaya, tersenyum singkat pada Ibra yang sejak tadi juga memerhatikan dirinya.
"Hapus air matamu, Kanaya, jangan menangis di depanku," tutur Ibra lembut namun terdengar seperti ancaman bahwa Kanaya harus diam. Dia tak suka air mata Kanaya kembali terbuang demi keluarga sinting itu.
TBC
monmaap, gabisa gak suujon ama si Widya..