Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
"Aku kecewa karena suamiku sendiri berniat menjandakan aku demi membahagiakan wanita lain."
Pelangi Faranisa, seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal. Di malam resepsi pernikahan, ia dipermalukan oleh suaminya sendiri yang pergi tanpa permisi dan lebih memilih mabuk-mabukan.
Pemberontak, pembangkang, pembuat onar dan pemabuk berat. Itulah gambaran sosok Awan Wisnu Dewanto.
"Kamu tidak usah terlalu percaya diri! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu, meskipun kamu tidak memakai apa-apa di hadapanku!" ~ Awan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersadar?
Ayah Fery berdiri meninggalkan tempat duduknya ketika melihat Zidan keluar dari sebuah ruangan dengan lengan kemeja tergulung hingga batas sikut. Ujung jari telunjuk kirinya tampak menekan kapas kecil di lipatan lengan kanan.
Ia menepuk pundak pemuda itu. “Zidan, terima kasih untuk bantuan kamu, Nak. Ini sangat berarti bagi Om.”
Zidan tersenyum tulus, seolah tiada beban di wajahnya. “Tidak apa-apa, Om. Saya ikhlas.”
“Om tidak tahu harus bagaimana untuk membalas kebaikan kamu.”
“Kalau Om dan keluarga mau membalas, tolong perlakukan kakak saya dengan baik saja. Itu sudah cukup.” Zidan melirik pelangi yang masih setia berdiri di depan jendela kaca dengan tatapan mengarah ke dalam ruangan. “Dia memang terlihat kuat di luar, tapi di dalam sangat rapuh.”
Ayah Fery menundukkan kepala. Garis sedih wajahnya sudah cukup untuk menggambarkan rasa bersalah dan malu yang teramat. Bagaimana pun juga, dirinyalah yang merasa bertanggungjawab untuk sikap buruk anak dan istrinya terhadap menantu mereka.
“Zidan, maafkan tante atas semua perkataan tante. Tante sadar itu sangat melukai perasaan kamu dan orang tua kamu, terutama Pelangi,” lirih Bu Sofie penuh sesal.
“Tidak apa-apa, Tante. Saya juga minta maaf.”
Bu Sofie tertunduk, kebaikan Zidan dan kesabaran Pelangi telah membuka mata hatinya. Ia lalu melangkah mendekati Pelangi. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah katapun memeluk menantunya.
Isak tangis pun kembali memenuhi ruangan itu. "Maafkan ibu, Pelangi! Ibu banyak salah sama kamu."
...........
Awan terbaring tak sadarkan diri dengan beberapa alat medis yang melekat pada tubuhnya. Hati Pelangi bagai tersayat melihat kondisi sang suami yang terbalut perban di beberapa bagian tubuhnya, akibat luka yang ditimbulkan dari kecelakaan tadi. Sudah beberapa jam pula, ia tak beranjak sedikit pun dari sisinya. Ayah Fery sudah memintanya untuk pulang dan beristirahat, tetapi Pelangi menolak dan memilih menunggu suaminya tersadar.
Sedangkan Ibu sofie sudah pulang setelah beberapa kali Ayah fery membujuknya. Menangis selama berjam-jam akibat syok membuat tubuh wanita itu menjadi lemah dan membutuhkan banyak istirahat.
Pelangi meraih jemari dan mencium punggung tangan suaminya. Matanya berkaca-kaca menatap kulit putih dengan beberapa luka goresan kecil di sekitar lengan.
“Syafakallah, Hubby!” bisiknya dengan lembut, lalu merebahkan kepalanya di bantal yang sama.
Baru saja matanya terpejam, sayup-sayup terdengar suara lembut Zidan menyapa. “Kak, aku antar pulang saja, ya. Kakak istirahat, biar aku yang jaga Kak Awan di sini.”
Pelangi mendongak menatap adiknya. “Kakak mau menunggu Mas Awan. Kamu saja yang pulang, bukannya kamu besok ada kuliah? Kamu kan juga harus kerja.”
“Iya, sih. Tapi tidak apa-apa.”
Pelangi meraih jemari adiknya. “Dek, terima kasih untuk bantuan kamu. Maafkan suami dan mertua kakak kalau ada lisan yang membuat kamu sakit hati.”
Sambil tersenyum, Zidan menggeleng pelan. Menarik sebuah kursi dan duduk di sisi kakaknya. Ia menghela napas panjang setelahnya. “Bukan aku, tapi Kakak. Kakak yang paling banyak merasa sakit di sini.”
“Seperti kata kamu, ini adalah bentuk kecintaan Allah kepada kakak.”
Zidan mengangguk dengan senyuman. “Tetaplah istiqomah, Kak. Agar tetap bersujud saat yang lain angkuh, agar tetap teguh di saat yang lain runtuh, dan agar tetap tegar di saat yang lain rapuh.”
“Insyaa Allah.”
Zidan mengeratkan genggaman tangannya. “Begitu Kak Awan sembuh nanti, kita ajak dia hijrah sama-sama. Kalau setelah itu dia masih memilih yang bathil dan mencampakkan yang haq, maka Kakak juga masih punya pilihan yang lain.”
........ ...
Pelangi masih terlelap ketika sayup-sayup mendengar suara lenguhan lemah. Perlahan, kedua matanya terbuka. Ia langsung bangkit ketika menyadari suaminya telah siuman.
Mata Awan masih terpejam rapat, diiringi lenguhan yang lemah dari bibirnya. “Aah ... sakit sekali,” lirihnya.
Tangannya bahkan tak kuasa bergerak untuk menyentuh kaki yang terasa nyeri. Hanya jemarinya yang terlihat bergerak lemah.
“Mas Awan sudah sadar?” Tangan Pelangi gemetar, begitu juga dengan suaranya. Ingin menyentuh tubuh suaminya, namun takut Awan akan semakin kesakitan.
"Tunggu sebentar, aku panggil dokter."
Awan hanya merespon dengan mengerjapkan matanya. Naluri Pelangi membawa dirinya untuk segera berlari keluar untuk memanggil perawat yang berjaga.
........ ...
Pelangi berdiri di sudut ruangan dengan jari-jari saling meremas. Ia belum berani mendekat dan hanya menatap suaminya yang sedang diperiksa oleh beberapa dokter.
Ayah Fery, Ibu Sofie, serta Ayah Ahmad dan Ibu Humairah juga sudah berada di ruangan yang sama. Mereka langsung menuju rumah sakit begitu mendengar kabar Awan telah siuman.
Sesekali terdengar suara Awan melenguh dan itu membuat mata Pelangi terpejam. Ia pun merasakan kesakitan yang sama setiap kali mendengar suaminya meringis.
Bola mata Awan berputar menatap satu-persatu orang yang berada di ruangan itu. Tampak seperti mencari sesuatu.
"Ibu ..." Tangan Awan bergerak seolah meminta Bu Sofie mendekat, sehingga ia perlahan melangkah maju dan menyambut uluran tangan putranya.
"Kamu kenapa, Wan?"
Lenguhan kembali terdengar, membuat Bu Sofie melirik dokter-dokter itu. “Dokter, tolong lakukan sesuatu untuk mengurangi sakitnya.”
"Sabar, Bu. Dokter pasti memberikan yang terbaik untuk Awan," bujuk Ayah Fery.
"Bu ...."
"Iya, Awan. Ibu dengar, Nak."
Awan menatap Bu Sofie, dengan kedua alis yang saling bertaut menyiratkan rasa sakit, lalu berbisik, "Bu ... tolong panggilkan Priska ke mari!"
............