Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Patuh, Gagap, Bingung dan Takut
"Mbak Ajeng! ayo ke kamar," ajak Sean dengan suara yang cukup tinggi hingga berhasil membuyarkan lamunan Ajeng, sejak tadi dia termenung di depan ruang kerja sang ayah.
"Sen," panggil Ajeng dengan suara yang lirih.
"Mbak Ajeng kenapa? papa marah?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Entahlah, aku bingung."
"Bingung kenapa?"
"Tidak tahu."
Arght!! Sean menggaruk kepalanya frustasi, lalu menarik tangan mbak Ajeng agar mengikuti langkahnya untuk naik ke lantai 2 dan menuju kamar.
Jika dilihat-lihat kini keadaan seperti berbalik, Sean malah terlihat seperti sedang mengasuh mbak Ajeng dan bukan sebaliknya.
Malam ini mereka harus menyusun misi untuk bisa menemui Mama Mona. Karena itulah Sean buru-buru mengajak mbak Ajeng untuk masuk ke dalam kamar.
Sean bahkan mengunci pintu kamar itu, sesuatu hal yang selama ini tidak pernah dia lakukan. Selama ini pintu kamar Sean selalu bisa dimasuki oleh siapapun dan kapanpun.
"Mbak Ajeng, kata Oma besok papa akan pergi ke luar kota selama 3 hari. Nah, itu adalah waktu yang tepat untuk kita bisa menemui mama."
"Tapi Sen, mbak Ajeng takut."
"Mbak Ajeng jangan takut, aku tahu rumah mama, aku tau alamatnya, jalan untuk menuju rumah itu pun aku sangat tahu, mbak Ajeng hanya perlu menemani aku saja, tidak perlu melakukan apapun," tegas bocah berusia 6 tahun itu. dia bicara dengan sungguh-sungguh bahkan menatap kedua mata Ajeng dengan sangat serius.
Entah lah, Ajeng selalu merasa bahwa Sean memiliki pemikiran yang jauh lebih dewasa dibandingkan umurnya.
Harusnya di usia ini Sean hanya tahu caranya bermain, tapi ternyata tidak, Sean bahkan bisa menyusun sebuah rencana untuk menjalankan misi.
Ajeng tidak tahu jika Sean adalah anak yang jenius.
"Apa tidak sebaiknya kita izin saja dengan Oma?" usul Ajeng, sungguh dia sangat cemas. tidak peduli Sematang apapun rencana Sean, dia tetaplah seorang anak kecil.
"Tidak, Oma Putri dan yang lainnya tidak akan pernah mengizinkan aku untuk bertemu dengan Mama, Aku sangat merindukan mama mbak Ajeng," lirih Sean, dia tahu jika mbak Ajeng ragu, Karena itulah kini dia menjual kesedihan.
Sangat tahu jika mbak Ajeng memiliki hati yang lembut, Mbak Ajeng tidak akan sanggup melihat dia yang menangis.
"Sstt, jangan menangis Sen, baiklah, mbak akan temani kamu, mbak akan pastikan kamu akan bertemu dengan mama."
Sean lantas memeluk mbak Ajeng dengan sangat erat.
Dan Ajeng pun membalasnya, mengelus puncak kepala Sean dengan penuh kasih sayang.
Malam itu mereka berdua bahkan tidur saling memeluk.
Berulang kali Sean mengatakan bahwa dia sangat merindukan ibunya.
Ajeng hanya coba mengertikan akan hal itu, dia tidak bertanya lebih Kenapa ayah dan ibunya Sean sampai berpisah.
Ajeng merasa tak punya hak untuk mengetahui hal itu, tugasnya hanyalah untuk menjaga Sean.
Pagi datang.
Semalam Sean dan Ajeng sudah menyusun rencana matang-matang.
Sepulang sekolah nanti mereka akan langsung pergi ke apartemen Mama Mona tanpa menggunakan mobil Sean, tapi mereka akan menggunakan taksi.
Sarapan kali ini Sean bersikap biasa saja, konsisten dengan sikapnya yang sudah berubah baik.
Sementara Ajeng tidak berselera sama sekali, dia hanya memasukan 1 suap makanan dan malah jadi ingin muntah.
Oma Putri sudah bertanya apa Ajeng sakit. Namun Ajeng menggelengkan kepala dengan kuat.
"Aku tidak sakit Oma, aku sangat sehat," jawabnya dengan mantap.
Rasa gugup Ajeng jadi semakin bertambah berkali-kali lipat saat Reza mengantarkan mereka pergi ke sekolah.
"Ajeng, ingat pesan ku. Jangan membuat ulah," ucap Reza. Sean sudah lebih dulu berlari masuk ke dalam sekolah setelah pamit pada sang ayah.
Dan kini Ajeng menghadap Reza sendirian.
Berulang kali gadis itu mengigit bibir bawahnya, cemas.
Rasanya sudah di ujung lidah untuk mengatakan semua rencananya Sean, tapi tiap ingat Kerinduan anak itu yang ingin bertemu dengan ibunya membuat Ajeng pun mengurungkan niat.
Entahlah apa yang terjadi nanti, tapi yang jelas sekarang pikirkan saja tentang Sean lebih dulu.
"Ba-baik Pa," jawab Ajeng patuh, gagap, bingung dan takut.