Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7 Calon Suami Posesif
Inara telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia sedang bersiap untuk pulang. Mematikan komputer, memasukkan ponsel beserta charger ke dalam tasnya. Sementara Reyhan sudah menunggu di depan pintu. Mereka berbeda devisi.
Reyhan menunggu dengan sabar. Sesekali menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Aduh, sakit banget, kah? Aku tuntun.” Reyhan merangkul Inara, mengalungkan tangan sahabatnya itu pada pundaknya.
“Aku gak papa, Pak Reyhan,’’ ucap Inara. Mereka kapanpun bisa mengubah gaya panggilan. Keduanya berteman sudah lebih dari tiga tahun, bahkan jauh sebelum bekerja di kantor ini.
“Jangan sok kuat! Udah, ayo!”
Beberapa langkah Inara dan Reyhan melangkah, keduanya harus berhenti saat melihat Argha yang berdiri di depan mereka dengan wajah judesnya. Jangan lupakan tatapan mata yang tajam, dengan bersedekap dada, seolah sedang mengintimidasi.
“Pak Argha,” sapa Reyhan dengan sopan.
Inara diam saja. Ia masih kesal, karena sebelumnya Argha tiba-tiba meninggalkannya di ruangan Artha. Ah, kenapa harus kesal? Namun, Inara justru memalingkan wajahnya.
“Kalian mau ke mana?” tanya Argha dengan dingin, matanya melirik tangan Inara yang ada di bahu Reyhan.
Reyhan melepaskan tangan Inara, kini justru terlihat gelagapan. “Ka-kami mau pulang, Pak.”
“Kami ada perlu!” sahut Inara sedikit ketus. Hal ini justru membuat Reyhan bingung, sejak kapan Inara berani pada Argha?
“Perlu?” kening Argha mengkerut. Penasaran. Atau ia hanya mengira Inara sedang menghindarinya saja.
“Maaf, kami tidak bisa mengatakan ini. Ayo, Rey!” Inara menarik tangan Reyhan, bergeser untuk melewati Argha.
“Misi, Pak.”
“Tunggu!” sergah Argha membuat langkah Inara dan Reyhan berhenti. Inara yang memunggungi Argha memejamkan mata. Semenjak berurusan dengan bosnya itu, hidupnya menjadi tidak tenang. “Ada urusan apa kamu pergi berduaan seperti itu?”
Inara menoleh, tatapannya tak kalah dingin dari Argha. “Kenapa Anda harus tahu?”
“Jelas! Kamu calon istri saya. Saya harus tahu, apa yang akan calon istri saya lakukan, apa lagi dengan seorang pria,” jawab Argha dengan menekan kata calon istri pada Inara dan Reyhan.
Mata Reyhan mendelik sempurna. Ternyata, gossip itu memang benar adanya. Inara tidak akan menikah dengan Artha, melainkan dengan Argha? Masalah apa yang terjadi? Ia menatap bingung sahabatnya itu.
“Pak, Anda—“
“Ikut saya!” Argha menarik Inara dan gadis itu memekik kesakitan, Reyhan tak tinggal diam, ia menahan tangan Inara. Sehingga, keduanya terlihat seperti sedang tarik menarik.
“Lepasin!” teriak Inara, serentak Reyhan dan Argha melepaskan tangannya. “Sakit, tahu!”
“Pak, saya tidak tahu dengan masalah apa yang kalian alami, tapi tolong, jangan kasar sama cewek,” tegur Reyhan merasa prihatin, mengingat kaki Inara juga masih sakit.
Argha maju dua langkah, tatapan dinginnya itu benar-benar membuat Inara dan Reyhan menggigil. “Kamu siapa menasehati saya?”
“Tapi Inara—“
“Saya tahu, apa yang harus saya lakukan.” Argha menghampiri Inara. Ia langsung menggendong Inara ala bridal style, membuat gadis itu tercengang.
Semua orang melihat itu. Inara benar-benar sangat malu.
“Pak, turunin saya!” desis Inara merasa risi.
“Diam, atau saya akan berbuat lebih dari ini,” ancam Argha membuat Inara diam seketika. Argha langsung membawa Inara pergi.
Inara memberikan kode dengan ponsel. Ia akan menghubungi Reyhan setelah ini. Sementara itu, Reyhan hanya bisa mengangguk, karena ia tak bisa berbuat apapun. Melawan Argha sama halnya dengan bunuh diri.
Perlakuan Argha ini menjadi pusat perhatian para karyawan yang bersiap untuk pulang. Demi apapun, Inara merasa sangat malu atas perlakuan bosnya ini. Banyak dari karyawati yang saling berbisik, terlebih para hatters Inara. Ah, mau ditaruh di mana mukanya nanti. Belum lagi, rumor tentang hubungannya dengan Artha masalah orang ketiga yang disebabkan olehnya selingkuh. Tidak, bahkan mereka semua tak tahu, jika Inara adalah korban yang sesungguhnya.
“Pak, turunin saya, Pak.”
“Kamu jalannya lama.”
“Tapi, Pak—“
“Kamu bisa diam gak, sih! Jadi tambah berat tahu, gak!” dusta Argha. Inara baginya tidak berat sama sekali, bahkan sangatlah ringan. Hanya saja, gadis itu terus saja mengoceh dan membuat kepalanya pening.
Dengan menahan malu yang besar, Inara justru menenggelamkan wajahnya pada dada Argha. Namun, alih-alih ingin menyembunyikan wajah dari para karyawan lain, ia justru terlena dengan aroma tubuh atasannya itu. Yang berbaur dengan wangi cologne yang maskulin. Argha tersenyum miring, gadis seberisik Inara bisa tenang juga.
Seorang supir membukakan pintu untuk Argha, hanya saja, Argha menggelengkan kepalanya. Pria tampan itu menunjuk bangku depan sebelah kemudi. Pintu terebut dibuka, Argha langsung mendudukkan Inara di sana, kenyamanan gadis itu terusik. Inara tidak sadar, kalau ia telah sampai di dalam mobil. Wajahnya tampak sangat terkejut.
“Gak mau digendong, tapi kaya nyaman banget,” cibir Argha membuat rona merah di pipi Inara terlihat begitu jelas.
“Siapa yang nyaman?”
Argha tak menggubris jawaban Inara. Ia langsung menutup pintu mobilnya. Mata dinginnya kini beralih pada sang supir yang terlihat menunggu instruksi. “Kamu naik taksi atau apapun. Saya akan membawa mobilnya.”
“Baik, Tuan.”
Argha mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu, lantas dimasukkan ke kantong saku supirnya sambil melenggang pergi menuju bangkunya dan berkata, “buat ongkos.”
Sang supir minggir, membiarkan bosnya itu lewat dengan mobil mewah. Ia hanya mengedikkan bahu. Terkadang Argha memang suka marah-marah, namun sejatinya pria iti berhati baik dan lembut.
Inara tampak bingung. Jalan yang ia lalu bukan ke arah kost-nya, atau bukan ke arah rumah keluarga Winata. Ia menoleh pada bosnya yang bermuka datar itu. “Pak, kita mau ke mana? Ini bukan jalan menuju kost-an saya, kan?”
“Siapa bilang saya mau ke kost kamu? kaya kurang kerjaan saja.”
Mata Inara mendelik. Lantas, menghela napas panjang. Mencoba untuk menenangkan diri supaya tidak terpancing emosi. Terkadang, ucapan Argha memang setajam belati.
“Pak, ngomong-ngomong, saya mau diajak ke mana?”
“Diam. Kamu cerewet sekali. Tinggal duduk.”
Inara memalingkan wajahnya, cemberut sambil menatap jalanan. Lampu jalanan yang kini menjadi pusat perhatiannya. Dalam hati terus menggerutu karena kelaparan. Ah, Inara mulai merindukan mie instan yang ada di kost-kostannya.
“Apa makanan kesukaan kamu?” tanya Argha tanpa menoleh sedikitpun.
Bukannya menjawab, Inara hanya menghela napas. Bukannya ia tak dengar Argha berbicara, hanya saja ia tak begitu jelas apa yang Argha bicarakan. Ia pikir, Argha sedang bergumam, mengingat pria itu menyuruhnya untuk diam.
“Saya nanya ke kamu, Inara Ambar Pratiwi!”
Inara berjengit. Lantas, menoleh ke atasannya itu. “Bapak nanya ke saya?”
“Ya! Siapa lagi? Hantu?”
Inara nyengir seraya menggerayangi bagian belakang kepalanya. “Tadi Bapak nyuruh saya diam soalnya. Hehehe.”
“Selain bodoh, kamu juga budeg!”
‘Budeg gak tuh?’ batin Inara nelangsa. “Ya maaf, Pak. Saya lagi mengkhayal makan mie instan di kostan. Soalnya laper. Hehehehe. Ngomong-ngomong, Bapak tadi nanya apa?”
“Gak jadi!” Argha fokus pada jalanan. Pantang baginya untuk mengulang kalimat untuk yang kedua kali.
“Oh, ya sudah.”
Hening
Inara merasa, mobil Argha sangatlah nyaman, makanya ia membungkam mulutnya yang menguap. Inara merasa ngantuk. Ia memeluk dirinya sendiri, sesekali mengusap lengan atasnya karena dingin.
Argha melepaskan jas hitam yang ia kenakan, lantas melemparnya pada Inara, membuat gadis bermata lebar itu mendelik karena terkejut. “Pakai itu!”
“Ta-tapi—“
“Gak ada tapi-tapian. Pakai dari pada masuk angin, kamu hanya nyusahin saya.”
Tak banyak bicara, Inara memakai jas yang terasa kebesaran itu. Tak hanya membuatnya hangat, wangi parfum Argha juga mampu menenangkan Inara, tak tersa senyum Inara begitu sangat lebar dan manis. Argha yang sempat melirik itu bahkan sampai hilang fokus, hampir saja ia menyerempet mobil.
“Pak, Anda baik-baik saja?” tanya Inara khawatir.
Argha menggeleng. Ekspresi wajahnya masih tak terbaca. Inara sendiri mencebik saat mendengarnya berdeham.
‘Yang modelan begini nanti bakalan tinggal serumah bareng? Apa ya gak makan hati tiap hari gue ya?’ batin Inara nelangsa.
“Pilih Negara yang kamu sukai untuk honey moon,” ucap Argha kemudian.
Di tengah kalutnya perasaan, Inara tersendak air liurnya sendiri. Terkejut mendengar pertanyaan Argha.
Uhuk uhuk.
Argha memijat keningnya. Mencoba untuk menekan emosinya itu.
“Ho-honey moon?”
.
.
Catatan Author
Hai guys, jangan lupa like dan komen ya, biar semangat ngetiknya. Makasih