UNWANTED BRIDE

UNWANTED BRIDE

Ch.1

Pagi yang cerah tak secerah hati Nazila yang selalu dirundung kesedihan. Apalagi saat melihat wajah murung sang ibu yang tak pernah terlihat tersenyum lagi, kecuali pada dirinya. Ya, hanya pada dirinya. Itupun tidak sampai menyentuh lekukan mata, hanya sebatas senyum sebagai isyarat 'ibu tidak apa-apa.' Dan ini telah terjadi sejak sekian tahun yang lalu.

Nazila Faradisa, gadis introvert yang dingin. Sangat tertutup, tak memiliki banyak teman. Ia hanya memiliki satu sahabat yang selalu setia menemani dan mendukungnya, yaitu Karin Cantika. Ibunya merupakan pemilik Angkasa Mall, sedangkan ayahnya seorang pengacara papan atas. Meskipun ia terlahir dari keluarga yang kaya raya, tapi ia tetap rendah hati. Berkat bantuannya pula, Nazila akhirnya dapat lulus dari perguruan tinggi dan bekerja di sebuah perusahaan bonafit yang memproduksi produk perawatan bayi, mulai dari popok sekali pakai atau diapers, minyak telon, baby oil, bedak, shampo, lotion, dan lain-lain. Bahkan perusahaan itu tengah mengepakkan sayapnya di bidang produk perawatan wajah dan kulit. Sebenarnya Karin sudah menawarkan Nazila untuk bekerja di perusahaan mamanya atau pamannya, tapi Nazila menolak. Ia tak mau makin berhutang budi pada sahabatnya itu.

"Selamat pagi, Bu." lirih Nazila pada ibunya yang masih berbaring di atas tempat tidur. Ibu Nazila pun menoleh lalu tersenyum tipis. Tatapan mata ibunya begitu sendu. Seperti tiada gairah kehidupan lagi. Kosong, hampa, hambar, tiada warna, tiada kebahagiaan.

"Ibu mandi dulu ya! Zila udah siapin air hangat untuk ibu. Selesai mandi, kita sarapan. Zila udah buat nasi goreng kesukaan ibu juga sama telur orek. Ibu suka kan!" lirih Nazila dengan berusaha tersenyum lebar, menahan perih di hati karena melihat keadaan ibunya yang tidak baik-baik saja.

Ibu Nazila hanya mengangguk samar. Lalu dengan hati-hati, Nazila memapah tubuh ringkih sang ibu ke kamar mandi dan memandikannya.

Selepas memandikan dan membantu berpakaian, Nazila mendudukkan sang ibu di kursi roda dan mendorongnya ke ruang dapur. Lalu Nazila pun membantu mengambilkan makanan dan meletakkannya di hadapan sang ibu. Lalu dengan gerakan perlahan, ibu Nazila mulai makan dengan tenang.

Dalam hati, Nazila bersyukur, walaupun ibunya mengalami kelumpuhan akibat stroke yang dialaminya, tapi sang ibu masih bisa makan sendiri. Itupun butuh perjuangan yang cukup panjang.

Nazila menatap nanar pergerakan ibunya yang begitu pelan. Ibunya, mataharinya, kini harus hidup menderita.

'Semua karena ayah dan wanita itu. Seandainya ayah nggak jahat. Seandainya ayah nggak nyakitin ibu. Seandainya ayah nggak diam-diam menduakan ibu dengan wanita murahan itu. Seandainya ... ' Nazila hampir saja tergugu di hadapan sang ibu bila tidak bi Arum datang dan memanggil namanya. Ia tidak boleh menunjukkan kesedihan di hadapan ibunya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh lemah.

"La ... " panggil Bi Arum saat sudah memasuki area dapur.

"Iya Bi." sahut Nazila seraya tersenyum saat namanya dipanggil Bi Arum yang merupakan adik ibunya.

"Kamu ngelamunin apa?" tanya Bi Arum dengan tatapan menyelidik.

"Nggak kok, Bi. Bi Arum udah sarapan? Kalau belum, ini Zila masuk nasi goreng agak banyak, jadi bibi bisa makan bareng ibu." tukas Nazila.

"Bibi udah sarapan kok. Tapi biarin aja nasinya, siapa tau bentar lagi bibi laper lagi. Taulah perut bibi ini mudah banget laparnya." tukas Bi Arum seraya terkekeh.

Nazila terkekeh. Memang bibinya itu doyan makan, sesuai dengan bobot tubuhnya yang sedikit gemuk. Sedikit ya! Bi Arum nggak mau dibilangin gendut, bisa-bisa tanduknya keluar.

"Bi, Zila titip ibu ya! Kemungkinan Zila lembur beberapa Minggu ini, soalnya sehabis rapat tahunan biasanya kita akan ngadain even dan gathering. Jadi lumayan sibuk." ujar Nazila setelah menandaskan teh miliknya.

"Ck ... nggak perlu dibilangin juga bibi udah tau kok. Kayak sama siapa aja. Kamu nggak perlu khawatir. Bekerja aja yang tenang, kalau bisa sekalian cari calon jodoh. Nggak mungkin kan kamu mau sendiri melulu kayak gini." tukas Bi Arum memberi nasihat.

Nazila tersenyum kecut mendengar nasihat adik dari ibunya tersebut. Memang nasihat bibinya ada benarnya, tapi dalam kamus Nazila, tidak akan pernah ada pernikahan. Ya, dia memang berniat tidak akan pernah menikah. Baginya menikah itu hanya akan menjadi sumber malapetaka. Ia tidak mau berakhir seperti sang ibu. Biarlah ia sendirian selamanya, yang penting hidupnya tenang, tiada beban, tiada tertekan, dan yang pasti tiada kesedihan. Kesepian? Sudah biasa jadi ia tak mempermasalahkan bila ia akan kesepian di sepanjang hidupnya.

Tak mau membahas tentang jodoh apalagi pernikahan, Nazila lebih memilih pamit setelah terlebih dahulu memeluk dan mencium punggung tangan ibunya. Walaupun kondisi ibunya tidaklah baik-baik saja, Nazila tetap mencintai, menyayangi, dan menghormati wanita yang telah berjuang melahirkannya ke dunia itu.

...***...

"Selamat pagi tuan. Jadwal Anda hari ini akan ada meeting dengan pihak Angkasa Mall jam 10 pagi lalu jam 2 siang Anda ada rapat dengan kepala cabang Surabaya." tukas Nazila yang membacakan jadwal kegiatan CEO PT Malikindo, Noran Malik Ashauqi di tablet miliknya

"Hmmm ... Baiklah." sahutnya sambil menatap layar komputer.

"Ada yang Anda butuhkan lagi, tuan?" tanya Nazila dengan berdiri tegap dan wajah datar. Tidak seperti sekretaris lain yang selalu bersikap ramah dan cenderung mencari muka, Nazila justru bersikap benar-benar datar.

"Oh ya, La, tolong reservasi restoran makanan Jepang untukku dan Sarah nanti siang."

"Baik pak. Kalau begitu saya permisi." ujar Nazila sambil menundukkan wajah dan berlalu dari sana.

'Gadis aneh. Sudah 2 tahun lebih bekerja di sini tapi ia tidak pernah satu kali pun tersenyum..Tapi itu bagus, dari pada sekretaris yang sukanya tebar pesona dan membuat muak.' batin Noran.

...***...

"Hei, Noran ada?" tanya seorang gadis cantik yang merupakan model papan atas di Indonesia.

Nazila sudah terbiasa melihat kedatangan gadis cantik itu jadi ia langsung saja mempersilahkannya masuk ke ruangan Noran.

"Silahkan, Bu. Tuan Noran sudah menunggu kedatangan Anda." tukas Nazila berusaha sesopan mungkin.

"Hmm ... " Sarah hanya menggumam lalu mengikuti langkah Nazila. Lalu ia pun masuk ke ruangan Noran setelah dibukakan pintu oleh Nazila.

"Hai, sayang. I Miss you." ucap Sarah dengan nada manja. Lalu ia segera bergelayutan di lengan Noran dan memeluknya. Tak puas hanya dengan sebuah pelukan, Sarah justru langsung menyergap bibir Noran tanpa rasa malu padahal Nazila masih ada di sana. Tak mau mengotori matanya, Nazila pun lekas menutup pintu tanpa berkata-kata lagi.

Noran mendorong pelan bahu Sarah saat Sarah telah melepaskan ciumannya. Dan mengecup dahinya singkat.

"I Miss you, too. Sayang, kamu harusnya liat-liat tempat dong. Nggak enak, tadi Nazila aja belum keluar kamu udah nyosor aja." ucap Noran lembut.

"Ck ... emangnya kenapa? Dia kan cuma sekretaris kamu. Kita juga udah biasa kayak gini jadi harusnya dia ngerti dong. Jangan bilang kamu ada perasaan sama dia?" tuding Sarah dengan mata memicing.

Noran terkekeh lalu mencubit pelan hidung Sarah.

"Jangan mikir macam-macam! Aku nggak enak aja. Mana mungkin aku suka sama dia. Dia pun kayaknya gitu, liat aja wajahnya, ditekuk mulu, nggak pernah senyum."

"Iya juga sih, mungkin dia cewek nggak normal kali ya! Masa' dia nggak jatuh hati sama cowok setampan kamu. Mana kaya lagi." ujar Sarah sambil mengerlingkan sebelah matanya nakal.

"Hust ... jangan sembarangan ngomong! Entar dia dengar terus resign dari sini kamu juga yang repot."

"Kok aku yang repot?" tanya Sarah heran sambil menunjuk wajahnya sendiri.

"Ya repot, pasti penggantinya nanti kayak sekretaris-sekretaris lain yang doyan paket pakaian seksi, berdandan, tebar pesona, ... "

"Eh ... jangan-jangan, aku udah nyaman kamu kerja sama dia sebagai sekretaris kamu. Dia juga kayaknya nggak berani macam-macam. Awas ya kalo kamu macam-macam!" potong Sarah khawatir apa yang diucapkan Noran benar-benar terjadi.

"Nggak lah sayang, mana berani aku macam-macam. Apalagi satu bulan lagi hari pernikahan kita. Aku udah nggak sabar menantikan hari itu." bisik Noran sambil memeluk tubuh Sarah dan mengecup puncak kepalanya.

"Aku juga. Aku udah nggak sabar jadi nyonya Malik." ujar Sarah dengan wajah berbinar cerah dan senyum merekah.

...***...

...Happy reading 🥰🥰🥰...

Terpopuler

Comments

Mimah

Mimah

baru pertama baca,keren lah

2024-11-08

0

Wy Ky

Wy Ky

ok

2024-12-11

0

Anonymous

Anonymous

k

2024-12-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!