Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Menyerah??
Tiga hari berlalu, begitu saja. Maya sudah dinyatakan sehat dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Tapi, rumah mana yang ia akan tuju? Sudah tidak ada rumah, untuknya. Maya membereskan barang-barangnya, sambil berpikir kemana kakinya akan melangkah pergi.
Ia tidak boleh menyerah, toh dia pernah lebih susah dari ini sebelumnya. Ia hanya perlu, memulai dari awal.
Diparkiran, sudah ada ojek online yang menunggu. Motor matic, yang mampu membuat koper dan tasnya didepan supir. Kendaraan melaju, menuju kos-kosan yang dulu pernah ditempati Maya, saat awal kuliah.
Dulu, Maya tinggal di sebuah kos, dalam gang sempit yang dekat dengan universitas. Sampai akhirnya, Zamar membelikan apartemen untuknya. Tanpa sepengetahuan Zamar, Maya telah membayar uang sewa kos, selama lima tahun, tiga tahun yang lalu. Maya masih memiliki banyak barang, yang ia tidak bawa ke apartemen, untuk itulah ia tetap membayarnya.
Mungkin, ada hikmah, ia melakukan itu. Kini ia kembali, pada posisi semula. Dan bebannya sedikit berkurang. Ia hanya perlu, mencari pekerjaan, untuk melanjutkan hidup.
Tiba disana, suasana tampak sepi. Mungkin, penghuni kos yang kebanyakan mahasiswa sedang sibuk di kampus. Maya bisa menjadi lebih lega, jika mereka melihatnya kembali dengan banyak barang, tentu akan menjadi perbincangan.
Dulu, ia bukan siapa-siapa. Tapi, saat Zamar. mengadakan acara pertunangan mereka dengan megah, semua sorot mata tertuju padanya. Di kampus, ia banyak disegani. Bahkan, banyak para gadis dari kalangan atas menyebutnya cinderela.
Maya sudah masuk dalam kos. Tidak ada yang berubah, karena ia sering datang untuk membersihkannya. Hanya ada, tambahan kulkas kecil, yang ia beli beberapa bulan lalu. Maya mengatur pakaian dalam lemari dan mengganti seprai tempat tidur.
Selesai, ia duduk diatas bangku belajar, dengan sorot mata terkunci diatas tempat tidur. Dulu, Zamar pernah menginap disini. Pria itu mengeluh, dengan kasur Maya yang keras. Hingga akhirnya, menggantikan dengan yang lebih bagus. Mereka bercengkrama ditempat ini, menceritakan banyak hal.
Maya terisak pedih, dengan suara tertahan. Sekarang, semua tawa itu sudah lenyap. Ia sendirian sekarang. Ah, tidak. Ada malaikat kecil dalam kandungannya. Sosok yang akan menjadi tujuan hidupnya yang baru.
Lelah menangis, Maya bangkit dengan mengusap wajahnya yang basah. Tekadnya sudah bulat, untuk memulai dari awal. Pagi ini, ia akan ke kampus dan akan berbelanja kebutuhan pulang nanti.
Menggunakan rok model A line dan kemeja putih, serta sepatu flat. Maya berjalan kaki menuju kampus, karena jaraknya yang dekat. Sudah tiga tahun, dan ia kembali menapaki jalan ini. Bukan lagi, mobil mewah yang akan mengantar dan menjemputnya pulang.
"Oh, bukankah ini cinderela kita! Dua hari tidak masuk, sepertinya dia menjadi nona besar sekarang."
Maya tidak peduli, ia berjalan lurus menuju kursi. Sementara, para gadis yang menganggunya mengekor dibelakang.
"Wajahmu sembab? Apa tuan muda Zamar membuangmu? Hahahaha...."
Gadis berambut coklat, sebut saja namanya, Safira. Gadis sebagai ketua gang cantiknya, selalu membully gadis seperti Maya. Miskin dan menjadi cinderela, seolah menjadi dosa bagi mereka.
"Pergilah!" usir Maya, yang mengeluarkan bukunya diatas meja.
"Oh, ya. Kemana ibu perimu? Kalian janjian untuk bolos dua hari?" tanya Safira lagi, yang belum kehabisan bahan untuk mengganggu Maya.
Deg. Maya seketika menoleh.
"Sandra, tidak masuk dua hari?"
"Apa ibu perimu, tidak memberitahumu? Haduh, sayang sekali!"
Dua hari, Sandra menghilang. Tapi, Huan mengatakan dia keluar negeri, sudah seminggu. Sebenarnya, mana yang benar?
Safira dan gengnya, membubarkan diri, saat dosen masuk dalam ruangan. Maya duduk seorang diri tanpa Sandra, yang biasa menemaninya.
Hari ini, hanya ada dua mata kuliah yang harus Maya ikuti. Siang nanti, ia harus mengikuti arahan untuk persiapan magang dirumah sakit, bulan depan.
"Maya Irlihamndari."
"Iya, Pak."
"Silahkan ikut saya!"
Maya merapikan bukunya, lalu bangkit mengikuti langkah pembimbingnya.
"Silahkan duduk."
Maya menurut, didepannya ada tiga staf universitas. Salah satunya, adalah staf yang mengurus administrasi dan beasiswa.
"Ada apa, Pak?"
"Beasiswa mu telah dicabut. Jadi, mulai semester depan, kamu harus membayar spp, biaya magang, dan praktek," terang pria berkemeja coklat itu, tanpa basa-basi.
"Ap-apa?" Mata Maya sudah membulat. "Tapi, kenapa, Pak? Nilai saya masih bagus, saya juga tidak melakukan perbuatan yang melanggar peraturan."
"Maaf, Nak. Yayasan yang memberikan beasiswa, telah mencoret namamu. Jadi, kami tidak bisa melakukan apa-apa."
Maya membisu. Ke mana dia harus mengambil uang, sebanyak itu? Semester depan tinggal satu bulan lagi. Mustahil mengumpulkan uang, dalam waktu sesingkat itu. Ia juga harus magang bulan depan dan praktek yang membutuhkan uang tidak sedikit. Belum lagi, biaya skripsi dan penelitian.
Sore itu juga, Maya langsung pulang, tanpa mampir berbelanja untuk keperluan. Ia hanya membeli nasi bungkus, diperjalanan.
Dengan cepat, ia mencari buku rekening, yang terselip dilipatan pakaian dalam lemari.
Kepalanya berdenyut, melihat saldo dalam tabungannya. Ini adalah hasil kerja kerasnya, selama bekerja tiga tahun lalu. Maya bekerja sebagai kasir di sebuah supermarket, selama tujuh bulan. Lalu, pangeran berkuda putih menghampiri dan memberinya banyak kemewahan.
Selama berpacaran dengan Zamar, Maya tidak diperkenankan bekerja. Zamar mencukupi semua kebutuhannya. Tidak mungkin, Maya menyisipkan uang yang bukan hasil kerjanya.
"Ya, Tuhan. Bagaimana ini?" Maya hanya bisa menangis.
Tinggal setengah semester, maka ia akan menjadi seorang sarjana farmasi. Tidak mungkin, ia berhenti sekarang, saat masa depannya yang cerah sudah didepan mata.
"Ibu, aku harus bagaimana? Kenapa semuanya menjadi sulit? Jika dia membenciku, bukankah membuangku sudah cukup. Kenapa masih harus menghancurkan satu-satunya impianku?"
Air mata Maya, sudah tidak terbendung. Ia duduk memeluk lututnya diatas lantai. Menangis tanpa bersuara, karena tidak ingin terdengar oleh tetangga kosnya.
Dia meninggalkan panti asuhan, setelah lulus sekolah. Bekerja sampingan untuk kehidupannya dan untuk saudara-saudaranya dipanti. Gaji yang sedikit, harus dia bagi dua, setiap bulannya. Beruntung, ia mendapatkan beasiswa, hingga tidak perlu mencemaskan biaya kuliah. Kini, Maya seperti jatuh terhempas dengan keras diatas tanah, setelah berada diatas awan, cukup lama.
Sore itu, Maya menghabiskan waktunya dengan menangis. Banyak penyesalan, yang tertanam dalam benaknya. Seandainya, ia tidak pernah bertemu Zamar, mungkin hidupnya akan baik-baik saja.
Malam semakin larut, Maya masih berdiam diri dalam kegelapan. Hanya lampu-lampu tetangganya, yang menyinari kamarnya dari luar. Nasi bungkus yang dibelinya siang tadi, masih tergeletak diatas lantai, tanpa ia sentuh.
Maya bingung harus berbuat apa. Masa depannya dan impiannya, tidak mungkin ia menyerah. Tapi, kemana ia harus mencari uang dalam waktu satu bulan. Orang tua, saudara dan sanak keluarga, ia tidak punya. Jangankan mencari pinjaman, sekedar berkeluh kesah saja, ia tidak punya.
🍋 Bersambung
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️