Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Setelah cukup lama berkeliling, Sabda mengajak Nuri makan dulu sekalian istirahat. Dia tak mau Nuri sampai kelelahan sekaligus kelaparan. Baginya, kesehatan Nuri dan janinnya adalah yang paling penting.
Disaat Nuri sedang sibuk makan, Sabda tiba tiba menyodorkan kartu debit karahnya. Nuri menatap benda itu dengan tatapan bingung.
"Ambillah."
"Ta, tapi," Nuri masih bingung. Biasanya Sabda memberinya uang cash setiap bulan.
"Maaf, aku baru tahu jika selama ini, ibuku mengambil uang yang aku berikan padamu." Sabda menunduk dalam. Rasanya malu sekali mau menatap Nuri. Terlalu banyak kedzaliman yang ibunya lakukan tadi dia tidak tahu.
"Darimana Kakak tahu?"
"Tak penting darimana."
Hening, keduanya sama sama diam setelah itu. Larur dengan pikirannya masing masing.
"Setelah ini, bisakah kau menceritakan tentang apapun padaku? Jangan membuatku seperti orang yang sangat jahat Nuri. Tinggal 3 bulan lagi. Setidaknya biarkan aku memberikan yang terbaik untukmu. Jadi saat kita berpisah nanti, kau akan mengenangku sebagai orang baik."
Nuri menggigit bibir bawahnya, menengadah melihat langit langit agar air matanya tak jatuh. 3 bulan lagi, kenapa kata itu terdengar sangat menyakitkan. Ini bukan karena dia mencintai Sabda kan?
Tidak Nuri, tidak. Kontrol perasaanmu. Jangan lagi lagi, menyakiti hatimu sendiri dengan kembali jatuh cinta pada orang yang salah.
"Seminggu lagi aku akan ke Jepang."
"Jepang?" Nuri heran, apakah kehidupan Sabda memang selalu seperti ini. Sering sekali bepergian. Nuri jadi berfikir, mungkinkah ini salah satu alasan Fasya berselingkuh? "Bukankah bulan lalu baru ke US?"
Sabda tersenyum getir. "Memang seperti inilah kehidupanku. Sekali lagi aku ingatkan, aku tak seperti Dennis. Aku sudah dididik keras sejak kecil sebagai penerus ayah. Masa mudaku habis tanpa dilalui dengan bersenang senang. Kadang, aku merasa jenuh dengan kehidupanku. Satu satunya penyemangatku hanyalah Fasya. Dia yang membuat aku masih bisa tersenyum menjalani hari yang begitu membosankan ini."
Kasihan sekali kau Kak. Aku tak bisa membayangkan saat kau tahu jika satu satunya penyemangatmu telah mengkhianatimu. Semoga saja saat kau tahu itu, kau masih bisa terus menatap dunia.
Ternyata materi yang melimpah tak menjadi jaminan seseorang akan merasa bahagia. Buktinya, Sabda merasa jika hidupnya terlalu membosankan dan melelahkan.
"Dulu aku pikir, saat Dennis sudah lulus kuliah, aku bisa sedikit berbagi beban padanya. Tapi ternyata takdir berkata lain. Dia telah pergi untuk selamanya. Pergi lebih dulu meninggalkanku."
Sabda merasa matanya panas. Kepergian Dennis yang mendadak masih masih lekat diingatannya. Dia masih belum bisa sepenuhkan mengikhlaskan kepergian adiknya itu.
"Tak tahu kenapa, rasanya aku berat sekali untuk pergi kali ini."
"Kenapa?"
Sabda menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Tapi rasanya, sangat berat. Seperti ada sesuatu yang menahanku. Sebelumnya, aku tak pernah merasa seperti ini. Hatiku ingin aku tetap ada disini."
Nuri tak tahu harus berkomentar seperti apa. Dia tak tahu apa yang membuat Sabda berat untuk pergi ke Jepang. Tapi satu hal yang saat ini ingin Nuri lakukan, yaitu membuat Sabda bahagia. Membuat pria itu melupakan kejenuhan dalam hidupnya. Dia tak ingin Sabda terlalu menggantungkan kebahagiannya pada Fasya.
"Gimana kalau setelah makan, kita main ke timezone?" ajak Nuri.
"Timezone?" Sabda mengerutkan dahi.
Melihat ekspresi Sabda, Nuri jadi kepikiran satu hal.
"Jangan bilang kalau Kakak tak pernah ketempat itu?"
Sabda malu mau bilang iya. Dia memang belum pernah ke timezone. Hanya pernah lewat saja.
Selesai makan, mereka langsung beranjak dari restoran. Tapi seseorang yang tampak tergesa gera, tak sengaja menyenggol Nuri. Hampir saja wanita itu jatuh jika Sabda tak sigap menahan pinggangnya.
"Kau tak apa apa?"
Bukannya menjawab, Nuri malah terpaku menatap wajah Sabda yang berada tepat dihadapannya.
Tampan.
"Maaf maaf, saya sedang terburu buru."
Nuri langsung terkesiap mendengar ucapan orang yang menyenggol bahunya tadi. Dengan dibantu Sabda, dia berusaha untuk kembali berdiri tegak.
"Lain kali lebih hati-hati. Istri saya sedang hamil, untung tak terjadi apa apa padanya," Sabda terlihat kesal. Dimatanya jelas sekali terlihat kemarahan yang dia tujukan pada pria itu.
"Sekali lagi saya minta maaf," pria yang terburu buru itu lalu pergi.
Tak mau kejadian seperti itu kembali terulang, Sabda langsung meraih tangan Nuri dan menggenggamnya. "Tak masalahkan jika aku memegang tanganmu? Aku hanya ingin memastikan jika kamu dan anakku baik baik saja."
Padahal Nuri ingin sekali Sabda menyebut janin itu anak kita. Tapi sepertinya itu tidak mungkin, karena setelah anak itu lahir, dia hanya akan menjadi anak Sabda, bukan anak Nuri.
Mereka lalu pergi ketimezone. Sabda bingung karena ini untuk yang pertama kalinya dia ketempat ini. Beda dengan Nuri, Dennis yang memang suka sekali semua jenis permainan, sering mengajaknya kesini.
Sabda seperti anak kecil yang pertama kali ke timezone. Pria itu terlihat sangat senang, sampai sampai Nuri geleng geleng. Sabda sampai lupa waktu hingga berjam jam mereka ada disana. Dia baru sadar saat Nuri memilih membiarkannya bermain sendiri sedang wanita itu duduk disebuah kursi.
"Apa kau lelah?" tanya Sabda yang menghampiri Nuri.
"Kakiku terasa pegal." Jawab Nuri sambil memijit mijit betisnya.
"Maaf karena sudah membuatmu lelah. Tunggu sebentar." Sebelum pergi, Sabda pergi untuk menukar hadiah. Tak lama kemudian, dia kembali ketempat Nuri sambil membawa sebuah boneka kelinci berukuran sedang yang sangat lucu.
"Untukku?" tanya Nuri saat Sabda menyodorkan boneka itu kearahnya.
"Untuk wanita yang hari ini membuatku merasa sangat senang." Sebuah pujian yang mampu membuat Nuri mengulum senyum dan melupakan sejenak lelahnya.
"Jangan terlalu menggantungkan kebahagiaanmu pada seseorang. Ingatlah, masih banyak hal lain yang bisa membuatmu bahagia."
Sabda mengangguk. Setelah itu dia membantu Nuri bangun lalu menggandeng tangannya hingga kedalam mobil.
Sesampainya dirumah, Sabda merasa lega karena tak ada ibunya yang menyambut dengan tatapan tajam. Entah dimana wanita itu sekarang.
"Duduklah dulu." Sabda mendorong pelan bahu Nuri menuju sofa yang ada diruang tamu.
Nuri yang duduk disofa, kaget saat Sabda berjongkok dihadapannya sambil melepas sepatu nya.
"Jangan seperti ini, aku bisa melakukannya sendiri." Nuri menarik sebelah kakinya yang masih mengenakan sepatu. Tak enak hati dengan perlakuan pria itu.
"Aku mohon jangan menolak." Sabda tetap memaksa melepaskan sebelah sepatu Nuri yang masih menempel. Setelah kedua sepatu itu terlepas. Sabda duduk disebelah Nuri lalu mengangkat kaki Nuri, meletakkan dipangkuannya.
"Kakak mau apa?"
"Diam dan nikmatilah." Sabda mulai melakukan pijatan ringan dikaki Nuri.
Nuri merasa senang sekaligus sungkan. Dia tak pernah menduga akan ada momen seperti ini antara dia dan Sabda.
Tanpa mereka ketahui, ternyata Yulia melihat semua itu. Tapi dia diam saja, sengaja tak menghentikannya.