Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi Ke Makam
Teeeet ... Teeeet ... Teeeet
Terdengar suara bel pertanda sekolah sudah selesai.
Murid-murid bersorak dan berhamburan keluar kelas, setelah mereka memberi salam kepada para guru yang mengajar di kelas masing-masing.
Dinda cepat-cepat membereskan buku-buku yang ada di meja guru yang ada di kelasnya itu.
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt
Tiba-tiba ponsel Dinda yang ada di atas meja itu bergetar, buru-buru Dinda mengambil ponselnya itu. Dia tersenyum saat melihat siapa orang yang menelponnya, dengan cepat Dinda mengusap layar ponselnya itu.
"Halo, Ada apa Pak Dio?" tanya Dinda.
"Lho, kok sudah mau jadi calon Nyonya, masih formal saja bicaranya? Bisa tidak sedikiiit saja romantis?" tanya Dio balik.
"Ehm, Maaf... belum terbiasa!" jawab Dinda tersipu.
"Kau harus terbiasa sayang, Oya, siang ini aku ada meeting dadakan dengan owner perusahaan besar, jadi terpaksa aku tidak bisa menjemput Chika, bisakah kau mengantar Chika pulang?" tanya Dio.
"Tentu saja, saya akan mengantar Chika pulang ke rumah!" jawab Dinda.
"Trimakasih sayang, sebenarnya kangen sama kamu, tapi sudahlah, nanti malam atau besok ku pastikan rasa rindu ini akan terobati!" ucap Dio.
Tak lama kemudian telepon mereka terputus.
Dinda tersenyum sebelum memasukkan ponselnya itu ke dalam tasnya.
Kemudian dia segera keluar dari kelasnya, dan langsung turun ke lobby.
Chika nampak sedang duduk menunggu di bangku lobby itu seperti biasanya, kemudian Dinda segera menghampiri Chika.
"Chika, tadi papa Chika telepon, katanya Papa sedang ada meeting penting di kantor, Jadi Chika pulang sama Bu Dinda saja ya!" ucap Dinda yang kemudian duduk di samping Chika.
"Waah, asyiik dong, Bu Dinda main ke rumahku lagi!" seru Chika senang.
"Tapi kita naik motor ya! Motor itu kan dibelikan Papa supaya Bu Dinda bisa antar Chika pulang, kalau Papa tak sempat menjemput!" kata Dinda.
"Aku malah senang naik motor kok Bu, karena aku tidak pernah naik motor!" sahut Chika.
"Baiklah, kita pulang sekarang ya!" ajak Dinda.
Dinda kemudian menuntun tangan Chika berjalan ke arah parkiran motor, sebelum Chika naik ke atas motor Dinda, Chika tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Bu Dinda!"
"Ya?"
"Mau tidak mengantar aku ke kuburan Mamaku? Tiba-tiba aku kangen!" tanya Chika.
"Boleh saja, tapi Chika tau tidak kuburannya di mana?" tanya Dinda balik.
"Tau, Papa beberapa kali pernah mengajakku ke sana, dekat kok!" jawab Chika.
Dinda menganggukkan kepalanya, kemudian dia membantu Chika naik ke atas motornya, setelah itu mereka keluar dari gerbang sekolah, menuju ke makam Mamanya Chika.
Ternyata makam itu tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 20 menit dari sekolah.
Dinda kemudian memarkirkan motornya itu di parkiran dekat makam itu, setelah itu Chika menuntun tangan Dinda menuju ke sebuah makam, yang terletak tidak jauh dari tempat motor Dinda terparkir.
Chika kemudian duduk bersimpuh di samping makam itu.
"Mama, ini Bu Dinda guru aku, Mama jangan marah ya kalau Bu Dinda bakal jadi mama baru aku! kasihan Papa Ma, setiap hari papa tidur sendirian, tidak ada temannya!" ucap Chika sambil mengusap-ngusap batu nisan yang ada di dekatnya itu.
Dada Dinda sesak mendengar ucapan Chika yang terdengar begitu polos.
Walaupun Chika terlihat nakal, namun dia memiliki cinta yang besar terhadap Papanya, sampai memperhatikan kebutuhan Papanya Itu.
Kemudian Chika menoleh kearah Dinda yang masih berdiri terpaku di belakang Chika.
"Bu Dinda, ayo sini, katakan sesuatu pada mama! Mamaku namanya Ranti, dia baik kok, Bu Dinda kenalan dulu sama mama!" kata Chika.
Dinda kemudian duduk di samping Chika, sejujurnya dia bingung apa yang harus dikatakannya.
Masa iya Dinda harus bicara pada kuburan.
"Ehm, Mbak Ranti, saya Dinda, gurunya Chika, jangan khawatir, saya akan menjaga Chika dan menyayangi Chika dengan sepenuh hati saya!" ucap Dinda.
"Tuh, Mama dengar kan, Bu Dinda akan jagain aku, juga jagain Papa, Bu Dinda bukan hanya sayang sama aku, tapi sama Papa juga!" lanjut Chika.
"Eh, kok Chika bicara begitu?" Dinda mulai keki.
"Tapi benar kan Bu Dinda sayang sama Papa? Buktinya sudah buat Papa bahagia kemarin itu!" sahut Chika.
Tiba-tiba langit menjadi gelap, terdengar suara petir yang menggelegar pertanda hari akan segera turun hujan, angin bertiup kencang, menyapu wajah dan rambut Dinda dan Chika yang pada saat itu masih ada di makam.
"Chika, sebaiknya kita pulang sekarang Nak, atau kita akan terjebak hujan!" kata Dinda.
Chika menganggukkan kepalanya, kemudian dia kembali menoleh kearah nisan itu, dan kembali mengusapnya.
"Mama, aku dan Bu Dinda pulang dulu ya, pokoknya aku akan kembali berkunjung ke makam Mama, Mama istirahat yang tenang ya!" ucap Chika sambil mengecup batu nisan itu.
Setelah itu dia menggandeng tangan Dinda dan berjalan kembali kearah motornya Yang terparkir.
Dinda mulai mengendarai motornya dengan cepat menuju ke rumah Chika, namun hujan sudah keburu turun sebelum mereka sampai di rumah Chika.
Sehingga Dinda dan Chika kehujanan dan basah kuyup ketika mereka sampai di depan gerbang rumah itu.
Mbak Yuyun tergopoh-gopoh datang dan menghanduki tubuh dan rambut Chika yang basah terkena air hujan, juga mengambil tasnya yang juga basah.
"Maaf Mbak, tadi hujannya tiba-tiba deras, saya tidak sempat berteduh, karena sudah hampir sampai di rumah Chika!" ucap Dinda.
"Tidak apa-apa Bu, namanya juga hujan, siapa yang bisa tahu!" sahut Mbak Yuyun.
Tiba-tiba dari dalam rumah itu muncul Bu Lian, Bundanya Dio.
Dia menatap tajam kearah Dinda, yang masih berdiri dengan rambut dan pakaian yang basah kuyup.
"Oma! Tadi Aku diantar Bu Dinda, terus kehujanan deh di jalan!" seru Chika.
"Yuyun! bawa Chika masuk kedalam, balurkan seluruh tubuhnya dengan minyak kayu putih, setelah itu pakaikan dia pakaian hangat, dan buatkan susu hangat untuknya!" titah Bu Lian.
"Baik Nyonya!" jawab Mbak Yuyun sambil menuntun Chika masuk ke dalam rumahnya.
Dinda masih berdiri di teras itu, dadanya berdebar, tidak tahu harus mengatakan apa pada wanita paruh baya yang kini ada di hadapannya itu.
"kau gurunya Chika?" tanya Bu Lian.
"I-iya!" jawab Dinda gugup.
"Sebagai guru yang baik, tentunya kau tidak akan membiarkan muridmu terkena hujan seperti ini! Apalagi Chika cucuku tidak pernah sedikitpun terkena hujan!" ujar Bu Lian.
"Maafkan saya, saya sudah berusaha secepat mungkin agar sampai di rumah sebelum hujan, tapi hujan tiba-tiba datang, sementara kami sudah hampir sampai di rumah ini!" jawab Dinda.
"Baik, berhubung kau seorang guru, kali ini kau ku maafkan! Sekarang masuk ke dalam, keringkan tubuhmu!" ujar Bu Lian, yang kemudian langsung masuk ke dalam rumah itu tanpa menoleh lagi.
Bersambung ...
****