Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Insomnia
...***...
“Selamat datang di Mc. Donald. Mau pesan apa?” Suara gue menggema lewat perangkat Bluetooth yang menempel di telinga.
“Happy Meals-nya dua. Hmm, sama satu Iced-Cofee, boleh, deh,” jawab customer itu.
Gue langsung pilih-pilih pesanan di komputer depan gue. "Ada lagi?”
“Enggak, itu aja.”
“Oke, totalnya jadi Rp.87.500. Bisa lanjut ke jendela pembayaran.”
“Makasih.”
Mobilnya berhenti di samping jendela gue, dan si cewek kasih kartu buat bayar. Gue ucapkan terima kasih balik dengan ramah sambil berdoa supaya enggak ada lagi mobil yang nongol di jalur Drive-Thru.
Capek banget, sumpah.
Meski begitu, jujur, gue lebih suka nge-handle orang yang ambil makanan dari dalam mobilnya ketimbang melayani orang-orang yang ada di dalam restoran.
Gue betulkan topi gue yang ada logo “M” Mc. Donald terus gue hembuskan napas. Masih ada sejam lagi sebelum shift gue kelar, tapi rasanya gue kepingin loncat keluar dari jendela.
Alarm di Drive-Thru berkedip, kasih tanda kalau ada mobil baru yang datang, dan gue mengomel dalam hati.
Sudah, dong! Please stop, dasar, malas banget!
“Selamat datang di Mc. Donald. Mau pesan apa?"
Gue dengar suara cewek ketawa cekikikan, terus kayak ada yang berdehem bersihkan tenggorokan. “Gue mau pesan Zielle buat dibawa pulang.”
Gue senyum-senyum sendiri kayak orang bego. “Silakan ke jendela berikutnya, Bu.”
Beberapa detik kemudian, Niria sudah ada di samping jendela gue, rambutnya rapi banget. Seperti biasa, dengan kacamata hitamnya yang keren dan riasan yang natural.
“Gue enggak percaya lo masih ngabisin sisa liburan sekolah di sini.”
“Gue butuh kerjaan ini, lo tahu itu. Ngapain lo di sini?”
“Gue mau nyulik lo.”
“Sejam lagi, gue baru bisa pulang.”
Niria senyum-senyum sendiri kayak kucing di Alice in Wonderland. “Lo, enggak boleh nolak.”
“Gue enggak bisa pergi.”
“Bisa, dong, dasar keras kepala!”
Gue siap buka mulut buat membantah, tapi gue merasa ada yang berdiri di belakang gue. Setelah menengok, ternyata itu Wibi, teman kerja gue. Rambut pirangnya yang cerah keluar dari topi, dan dia memperhatikan Niria sambil melongo.
Mata gue balik lagi ke Niria. “Ini apaan sih?”
“Wibi bakal gantiin sejam terakhir lo.”
Mata gue berpindah dari Wibi ke Niria. “Kenapa, memang dia mau?”
Niria angkat bahu. “Lo, memang teman yang baik, ya kan, Wibu?”
Wibi cuma melihat dia kayak orang bego. “Iya.”
Niria balik menghadap gue. “Oke, ambil barang-barang lo. Gue tunggu di parkiran. Kita harus cabut sekarang.”
Beberapa menit kemudian, gue sudah duduk di dalam mobilnya Niria dengan ransel kecil gue. “Gue enggak percaya ini.”
“Gue keren, kan? Gue tahu.”
“Wibi? Serius? Gue kira lo enggak suka sama cowok rambut pirang.”
“Ed Sheeran bikin gue berubah pikiran.”
“Terus lo ngapain ke dia?”
“Gue janji bakal terima ajakan dia buat jalan bareng.”
“Lo enggak bisa terus-terusan pakai kecantikan lo buat dapetin yang lo mau.”
“Tentu aja bisa.”
Gue hembuskan napas kalah. “Hmm. Mau ke mana kita?”
“Ke Insomnia, pastinya.”
Mata gue langsung melebar. Insomnia itu klub paling terkenal di kota ini, tempat favorit Niria tiap malam Jumat.
Gue belum pernah ke sana, umur gue belum cukup buat masuk, tapi Niria kayaknya lupa soal itu. “Pertama, gue masih di bawah umur. Kedua, lo benaran enggak ngarep gue datang dengan bau kentang goreng dan tampilan kayak begini, kan?”
“Pertama, itu udah diurus. kedua, kita bakal ke rumah gue dulu biar lo bisa ganti baju.”
“Biar lo bisa minjemin gue salah satu rok lo yang pendek banget itu? Mending enggak, deh!”
Niria ketawa. “Aduh, lo lebay banget sih. Cuma kelihatan lutut doang juga, Zielle! Itu enggak masalah.”
“Di rumah gue. Itu bisa jadi masalah.”
“Kita, kan enggak di rumah lo.”
“Hijau tuh,” teriak gue kasih tahu pas lampu merahnya berubah warna. Niria memang gampang banget ke-distract pas lagi menyetir.
“Santai aja, tinggal dua minggu lagi liburan, dan lo malah kerja mulu.”
“Oke, tapi gue enggak bakal keluarin duit sepeser pun.”
“Tenang aja.”
“Ya, gue lupa, lo kan selalu dapat apa yang lo mau.”
Niria taruh kacamata hitamnya di atas kepala sambil kibaskan rambutnya ke gue. “Oh, iya dong.”
Dia parkir mobilnya di garasi rumahnya. “ Waktunya dandan, bestie.”
Gue perhatikan dia, bukannya masuk lewat pintu depan, tapi malah menyelonong ke jendela kamarnya. “Niria?”
“Oh iya, gue lupa bilang, orang tua gue enggak tahu soal acara kita malam ini, jadi kita harus kabur diam-diam.”
Anak ini memang, Gila.
...***...
Akhirnya, setelah merasa lama banget tapi sebenarnya cuma sejam kemudian, kita sudah sampai di Insomnia. Dan ya, kita berhasil masuk. Gue juga enggak percaya ini benaran terjadi.
Niria pinjamkan gue setelan hitam yang pas banget di badan gue. Walaupun dia lebih berisi dari gue, dress itu cocok banget. Rasanya ini kayak sudah jadi milik gue dari dulu. Panjangnya juga enggak sampai lutut. Ya, sekitar empat jari di atas lutut gue, jadi gue merasa cukup nyaman.
Hal pertama yang gue sadari adalah enggak semua orang bisa masuk ke sini. Antreannya panjang banget, dan banyak juga yang akhirnya ditolak sama penjaga pintu. Begitu masuk, gue langsung mengerti kenapa.
Ini bukan tempat sembarangan, dekorasinya keren, modern, dan elegan. Ada lampu warna-warni yang berputar-putar di sekitar kita, sementara lantai dansanya luas dan penuh dengan pasangan yang lagi dansa bareng.
Musiknya?
Gue bisa merasakan getaran musik itu di seluruh tubuh, dan susah banget dengar apa pun selain suara musiknya. Dan, gue bingung. Bagaimana cara orang-orang mengobrol satu sama lain di tempat kayak begini?
Kayaknya Niria bisa baca pikiran gue, karena dia tiba-tiba mendekat.
“Gue mau ambil minuman dulu!” teriaknya di telinga gue, terus dia menghilang.
Gue goyang-goyangkan telinga yang agak budek dan mulai melihat-lihat sekitar. Banyak cewek cantik dengan outfit yang kece-kece. Gue sudah bisa menebak bakalan kayak begini, soalnya tahu Niria enggak bakal ke tempat sembarangan.
Keluarganya punya duit, enggak sekaya keluarga Anan sih, tapi dia tetap hidup dengan nyaman. Jadi ya wajar saja kalau tempat-tempat favorit Niria selalu yang kelas atas dan keren. Tapi tentunya bukan cuma cewek-cewek seksi saja di sini, ada banyak juga cowok ganteng.
Tapi tetap saja, enggak ada yang kayak Anan...
Anan gue?
Gue baru saja “klaim” dia tanpa izin, ya?
Pas gue masih asyik mengecek sekeliling, gue melihat ada lantai dua dengan meja-meja yang menghadap ke lantai dansa. Dan di saat itu, mata gue bertemu dengan sepasang mata biru yang selalu mengisi pikiran dan mimpi-mimpi gue.
Anan.
Cinta pertama gue duduk di sana, kelihatan sesempurna biasanya. Dia pakai celana hitam, sepatu, dan kemeja abu-abu dengan lengan yang digulung sampai siku.
Dia lagi mainkan bibirnya, bikin bibirnya terlihat mengkilap dan merah. Rambut hitamnya acak-acakan dengan sempurna, cuma dia yang bisa kelihatan keren dengan gaya rambut kayak begitu.
Tanpa sadar, gue mulai jalan ke arahnya, kayak logam yang tertarik sama magnet. Mata dia seperti mengikat, menghipnotis, gue enggak bisa ke mana-mana.
Gue baru sadar ketika bertemu sama petugas keamanan di depan tangga yang menuju ke “Pangeran” gue.
“Ini area VIP, Nona!” Tegas si petugas.
Gue alihkan pandangan dari Anan dan goyangkan kepala biar dia sadar.
“Oh, maaf... eh...”Gue lihat lagi ke Anan yang masih menatap gue dari atas. “Bukannya siapa saja bisa naik ke sana.”
“Enggak, aksesnya khusus.” Dia kasih isyarat supaya gue mundur, melanjutkan tugasnya jadi ‘Patung Hidup’ di depan tangga.
Wajar saja, Anan yang sombong itu ada di area VIP. Dia kan terlalu elite buat ikutan di antara orang biasa yang keringatan dan penuh bergerombol di lantai dansa ini.
Dengan setengah hati, gue mundur dan temui Niria.
“Gue kira enggak bakal ketemu lo lagi!” teriaknya sambil kasih minuman warna pink neon ke gue.
“Ini apaan?”
“Namanya Orgasmo! Lo harus coba!”
Memang ada minuman yang namanya Orgasmo?
Bahkan minuman ini saja sudah punya pengalaman lebih daripada gue.
Pelan-pelan, gue lihat gelas kecil itu dari segala sudut. Mencium baunya, dan langsung kena tampar aroma yang super kuat. Hidung gue sampai bersin.
Sementara Niria langsung telan minumannya dalam sekali teguk, bikin gue bengong. Dia menyemangati gue buat minum juga, dan entah kenapa, pandangan gue lagi-lagi ke arah area VIP itu.
Anan mengangkat gelas yang kelihatannya berisi minuman keras, sengaja kayak lagi kasih Cheers dari jauh terus minum.
Lo lagi nantang gue, Pangeran?
Gue minum isi gelas itu dalam sekali teguk, dan rasa asam manisnya meluncur di tenggorokan gue, membakar apa pun yang dilintasinya.
Percaya, deh, ini sama sekali enggak terasa kayak Orgasmo yang gue tahu!
Gue batuk, dan Niria tepuk-tepuk punggung gue. Kita lanjut ke bar, dan di sana Niria kasih gue dua gelas lagi. Gue kira masing-masing buat kita, tapi ternyata dua-duanya buat gue.
Setelah lima gelas, Niria membawa gue ke lantai dansa, dan alkohol yang sudah mengalir di badan gue bikin gue sudah enggak peduli lagi.
“Ayo joget!” teriaknya sambil menyelam di kerumunan. Gue ikuti dia, dan rasanya enak bisa spontan, lepas tanpa malu-malu.
Oh, jadi ini manfaat dari alkohol?
Gue joget, warna-warni lampu berputar-putar, dan musiknya menggetarkan seluruh tubuh gue. Karena penasaran, gue lihat ke arah ‘Pangeran’ di area VIP, dan dia masih di sana. Dan dia masih menyoroti gue, kayak elang yang mengawasi mangsanya dari atas sana.
Apa dia enggak bisa berhenti memperhatikan gue?
Zielle, jangan GR deh, dia jelas-jelas pernah bilang kalau dia enggak tertarik sama lo.
Tapi, kenapa dia terus lihat ke sini?
Baiklah, gue kasih lo sesuatu buat dilihat, Pangeran. Gue mulai joget pelan, mengikuti irama musik dengan goyangan pinggul.
Tangan gue perlahan jalan dari rambut, turun ke samping dada, pinggang, pinggul, terus ke ujung rok gue, sedikit membenarkan dan merapikan bagian bawahnya, sambil gue angkat sedikit.
Tatapan Anan jadi makin dalam dan gelap. Dia mengangkat gelasnya ke bibir, basahi bibirnya pelan terus menggigitnya. Bibir itu, yang pernah mendarat di leher dan paha gue, meninggalkan rasa penasaran yang belum terpuaskan.
Anan sudah mengejek gue dua kali, sekarang saatnya dia merasakan balasannya.
Gue bakal buktikan kalau gue enggak bakal lupa, dan bahkan seorang “Pangeran” pun harus dapat pelajaran dari gue.
Jadi, tunggu saja.