Ketika seorang perempuan tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan yang baru seumur jagung, Humairah rela berbagi suami demi mempertahankan seorang pria yang ia cintai agar tetap berada dalam mahligai yang sama.
Aisyah Humairah menerima perjodohan demi balas budi pada orangtua angkatnya, namun siapa sangka pria yang mampu membuatnya jatuh cinta dalam waktu singkat itu ternyata tidaklah seperti dalam bayangannya.
Alif Zayyan Pratama, menerima Humairah sebagai istri pertamanya demi orangtua meski tidak cinta, obsesi terhadap kekasihnya tidak bisa dihilangkan begitu saja hingga ia memberanikan diri mengambil keputusan untuk menikahi Siti Aisyah sebagai istri keduanya.
Akankah Alif adil pada dua
Aisyahnya? atau mungkin diantara dua Aisyah, siapa yang tidak bisa bertahan dalam hubungan segitiga itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wheena the pooh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Humairah mengayunkan tangannya yang masih dalam genggaman seorang Alif Zayyan Pratama sang suami tercinta.
Mereka baru akan mengetuk pintu rumah papa Imran, Humairah tersenyum menoleh pada suaminya yang mulai terasa berkeringat dingin pada tangan yang menggandeng tangan Humairah. Perempuan itu melihat-lihat sekeliling, hening dan menentramkan.
"Apa kau gugup?"
Alif mengangguk, "Rasanya seperti akan bertemu calon mertua untuk pertama kalinya, padahal kami sudah cukup dekat selama ini. Entahlah aku begitu gugup sayang, mungkin karena ada banyak obrolan penting yang akan ku hadapi nanti," jawab Alif seraya mengatur napasnya.
Humairah tersenyum lagi, "Iya mungkin juga karena kau akan menghadapi mertuamu yang sesungguhnya."
Alif mengangguk lalu mengecup punggung tangan istrinya agar lebih tenang.
"Apa papa akan marah padaku?"
"Tegantung bagaimana kau menjawab pertanyaannya nanti, bisa jadi papa marah karena kau cukup jahat padaku diawal pernikahan."
"Sayang....." rengek Alif menatap memelas pada Humairah.
"Aku hanya bercanda, bukankah kalian sudah lama dekat jadi tentu saja pertemuan ini akan mudah," balas Humairah lagi.
"Hmmmm iya, entahlah aku merasa sangat gugup sekarang. Kau merasakannya?" ucap Alif saat menempelkan tangan istrinya ke dada.
Humairah terkekeh, dada suaminya berdegup keras hingga bisa ia rasakan dengan tangannya.
"Silahkan masuk nona Humairah, tuan besar sudah menunggu di ruangannya," suara pelayan membuyarkan fokus suami istri itu.
"Oh iya, terimakasih bi boleh kami masuk?"
"Silahkan nona Aisyah," ucap pelayan itu lagi seraya menunduk hormat mempersilahkan Humairah dan suaminya untuk masuk.
"Panggil aku Humairah saja, biar kalian tidak bingung karena ada dua Aisyah yang ada di rumah ini mulai sekarang."
"Maaf nona, tuan besar memerintah kami untuk memanggil nona Aisyah, kata beliau hanya ada satu Aisyah dalam keluarga ini seperti seharusnya," jawab sang pelayan.
Alif mendengar ini bisa merasakan aura yang berbeda ketika masuk rumah ini, ia menjadi tahu pula bahwa istri keduanya tidak akan baik-baik saja setelah semua yang terjadi.
"Oke baiklah, kau bisa bekerja lagi. Terimakasih sudah membukakan pintu," seru Humairah yang tidak ingin memperpanjang obrolan itu.
Humairah menggandeng suaminya berjalan menuju ruangan yang biasa papa Imran menyelesaikan pekerjaan kantornya jika di rumah.
"Assalamualaikum papa."
"Oh sayang kau sudah datang, waalaikumsalam nak masuklah!" perintah tuan Imran seraya menyambut Humairah yang segera memeluknya.
Alif tertegun, pemandangan ini cukup berbeda di matanya, jika ia telah terbiasa melihat papa Imran dan Aisyah berinteraksi namun tidak sehangat pemandangan ini, ia tidak pernah melihat papa Imran memeluk istri keduanya selama mereka saling mengenal.
Lelaki itu mengedarkan pandangan pada sekeliling, ia sering berkunjung kemari namun tidak pernah masuk ke ruang kerja pribadi papa Imran. Tampak di dinding berderet rapi beberapa figura photo Aisyahnya yang masih kecil, iya itu adalah beberapa gambar keluarga memuat wajah Humairah kecil yang menampilkan senyum lebar dan lesung pipi yang khas.
Alif teringat pula saat ia menemukan Humairah di hutan waktu itu. Alif tersenyum melihat ada banyak photo gadis kecilnya di dinding itu, tidak ada satupun photo yang memuat istri keduanya Aisyah yang bernama kecil Mayang Sari di sana.
"Nak Alif," tegur papa Imran pada menantunya yang mematung.
"Papa," Alif segera menyalami mertuanya, terbiasa tidak pernah mendapat pelukan sang mertua namun kali ini entah mimpi apa ia semalam, papa Imran memeluknya juga.
Mata Alif tiba-tiba mengembun, ia sudah sangat lama tidak merasakan pelukan seorang ayah, karena ayahnya telah meninggal ketika ia masih kuliah.
"Duduklah!"
Alif mengangguk, ia labuhkan tubuhnya untuk duduk di kursi seberang meja kerja papa Imran.
"Sayang, kau boleh bernostalgia dengan kamarmu lagi.... Papa rasa ini hanya obrolan para lelaki, minta pelayan membuatkan minum untuk kami berdua."
Papa Imran berkata pada Humairah.
"Baiklah..... Sepertinya papa mengusirku dengan cara halus," canda Humairah.
Alif menoleh saat Humairah ingin melewatinya, "Sayang," lirih Alif dengan pelan.
"Tenanglah, papa tidak akan memakanmu mas Alif," kekeh Humairah sambil berbisik dan mencium pipi suaminya sebelum beranjak pergi.
Papa Imran yang telah duduk di seberang Alif saat ini melihat kemesraan putri dan menantunya tadi.
"Apa kau mencintainya?"
Alif terhenyak mendapat pertanyaan dari papa Imran yang tanpa basa basi.
"Sangat mencintainya," jawab Alif cepat tanpa keraguan.
"Lalu istri kedua mu?"
Alif terdiam.
"Nak Alif, kau pasti sudah tahu dengan semua yang telah terjadi saat ini."
Alif mengangguk.
"Iya, istriku sudah menceritakan semuanya."
"Kau tahu apa yang ingin papa sampaikan padamu?"
Alif menggeleng.
"Meski papa ingin sekali marah padamu karena berani menduakan putriku, tapi papa sadari pula tidak memungkiri bahwa karena kau pula membawa putriku yang sesungguhnya kembali."
Alif diam tidak berani menjawab.
"Karena kau membawa Humairah bertemu denganku pertama kali saat resepsi mu dulu, hingga dia bisa tahu keberadaan papa saat ini ketika Humairah mengingat semuanya saat itu. Kami terpisah lebih dari lima belas tahun, dan itu sangat berat kami lalui selama ini. Kau bahkan tidak mengetahuinya sama sekali kan?"
"Aisyah tidak pernah cerita tentang papa yang punya putri kandung yang hilang," jawab Alif pelan.
"Entah apa maksudnya, tapi ketahuilah papa tidak bisa memaafkan begitu saja. Papa menyematkan dan mengubah identitas dirinya menjadi Aisyah agar dia bisa menjadi putriku dan mengingatkan kami pada Aisyahku yang hilang. Hilang karenanya. Tidak ada yang menyangka anak sekecil itu bisa bermain licik hingga tertutup belasan tahun lebih. Bagaimana menurutmu?"
Alif terdiam lagi.
"Papa tidak akan ikut campur atas hubungan yang telah kalian buat, tapi ketahuilah Alif.... Sejak bertemu Humairah, papa rasa papa tidak bisa melihat putri kandungku terus berada dalam pernikahan yang sudah pasti banyak kesakitan di dalamnya."
Alif mengerutkan dahi.
"Papa tidak akan menyuruhmu memilih satu diantara mereka, namun jika kau memang tidak bisa menjadi suami yang baik, bisakah kau mengembalikan Humairah padaku dengan cara yang baik? Dia Aisyahku, dia Aisyah Humairah kami yang telah kembali, putriku tidak pantas disakiti oleh siapapun itu sekali kau suaminya sendiri," tegas papa Imran menatap netra Alif tanpa keraguan di sana.
Alif menciut seketika.
"Papa, jangan berkata seperti ini.... Aku tahu aku pria bodoh yang paling bersalah, tapi ketahuilah aku tidak akan melepaskan Humairah sampai kapanpun, aku mencintainya sangat mencintainya. Aku tidak bisa hidup tanpa Humairah istriku, aku mohon papa jangan berkata seperti ini."
"Lalu bagaimana dengan istrimu yang kedua? Bukankah kau lebih memilihnya selama ini? Jangan kira papa tidak tahu apa yang telah kau perbuat pada Humairah nak Alif, papa tahu semuanya. Sesungguhnya kau tidak pernah menganggap dia benar-benar ada dalam hidupmu jika bukan karena Humairah adalah pilihan mamamu mungkin sudah kau campakkan dari dulu."
Alif terdiam.
"Tenanglah.... Papa hanya ingin kau menentukan nasib pernikahan yang tidak sehat ini, kalian mencoreng nama poligami dalam arti yang sesungguhnya. Jika bisa, kembalikan Humairah padaku dengan cara yang baik tidak dengan menyakitinya lagi."
"Aku tidak akan menyakitinya pa, aku berjanji.... Berilah aku waktu, aku juga sedang memikirkan seperti apa aku akan bersikap setelah semua ini, aku juga tidak baik-baik saja saat tahu bahwa Aisyah bisa berbuat sejahat ini dalam waktu yang sangat lama," jawab Alif memelas.
"Meski papa kecewa dan marah tapi Aisyah sudah ku asuh layak anak sendiri selama ini, papa hanya berharap kau bisa menyelesaikan masalah ini dengan sebaik mungkin, jika kau mampu adil maka papa akan mempertimbangkan Humairah tetap padamu."
"Satu hal yang papa syukuri, Humairah mengingat semuanya disaat umur papa masih ada, dia putri kandungku yang berharga, Humairah putri semata wayang yang pernah kami miliki. Kenangan mama Rania melekat padanya, wajah istriku terpatri di wajah Humairah mereka sangat mirip. Papa akan ikut terluka jika kau sampai menyakitinya lagi," tegas papa Imran sambil membuka kacamata mengelap sudut matanya yang tampak berair.
Alif menahan sekuat tenaga agar ia tidak cengeng di hadapan mertuanya saat ini, jika bisa ia ingin sekali mengatakan hal yang sama, Humairah juga sangat berharga baginya, ia begitu menyesali apa yang pernah ia perbuat pada awal pernikahan.
Humairah adalah Aisyahnya yang hilang, cinta pertama yang membuatnya jadi pria penuh obsesi pada setiap wanita bernama sama dengan gadis kecil yang tidak ia jumpai lagi setelah hari itu.
Siapa yang akan menyangka, gadis yang dipilihkan ibunya untuk jadi istri adalah orangnya, orang yang telah membuatnya buta akan obsesi semata, perempuan yang ia tidak acuhkan dalam waktu yang lama. Tidak ada yang bisa menakar betapa besar penyesalan Alif akan hal ini.