Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Konferensi Pers•
Ketika mobil perlahan melambat mendekati gedung konferensi, sorotan kamera dan kerumunan orang mulai terlihat dari balik kaca mobil. Puluhan orang sudah menunggu kedatangan mereka, berdesakan dengan kamera, papan tanda, dan suara gaduh yang memenuhi udara. Gemuruh itu terdengar bising bahkan dari dalam mobil yang tertutup rapat.
Liam menghela napas panjang, melirik sekilas ke arah Alina. Matanya sejenak menyiratkan perhatian,namun ia cepat-cepat menyembunyikannya di balik sikap dinginnya.
"Jangan buat masalah," ucapnya singkat, seolah itu adalah sebuah peringatan.
Alina mengangguk kecil. Ia memandang keluar jendela, melihat wajah-wajah penuh rasa ingin tahu, beberapa menatap tajam ke arahnya, seakan ingin menelannya hidup-hidup. Perasaan gugup menyusup ke dalam dirinya, tetapi Alina berusaha tetap tenang, mengingat apa yang telah ia sepakati dengan Liam.
Ketika pintu mobil terbuka, Liam turun lebih dulu. Ia menatap ke arah para wartawan dan orang-orang yang berusaha mendekat, dengan ekspresi penuh wibawa yang tak menyisakan ruang untuk keraguan.
Kemudian, ia berputar, mengulurkan tangan kepada Alina dengan sikap anggun namun kaku. Alina merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi ia mencoba mengabaikannya, menatap tangan suaminya sejenak sebelum menerimanya.
Begitu Alina melangkah keluar, kerumunan seakan meledak. Kilatan lampu kamera berkilauan tanpa henti, menyoroti setiap langkah mereka.
Liam menggenggam tangan Alina dengan erat, seolah ingin menunjukkan kepemilikannya. Raut wajahnya dingin dan angkuh, tetapi Alina bisa merasakan genggaman tangannya yang kuat, seolah memberikan sedikit perlindungan yang tak terucap.
Wartawan mulai berteriak-teriak, menanyakan berbagai pertanyaan yang bertumpuk satu sama lain.
“Liam, bagaimana hubungan Anda dengan Alina saat ini?”
“Alina, apakah benar pernikahan kalian hanya untuk pengalihan isu?"
"Liam, apakah ini hanya sekadar pernikahan kontrak?"
Liam tak menggubris satu pun pertanyaan. Ia menunduk, seolah tak mendengar, dan membimbing Alina dengan tegas menuju pintu masuk gedung.
Alina mengikuti, menyembunyikan kegugupan di balik tatapan lurusnya. Ia tahu, sekeras apa pun pertanyaan mereka, yang penting sekarang adalah menampilkan keberanian di depan semua mata yang menilai.
Saat mereka mendekati pintu masuk gedung, Liam menundukkan kepalanya sedikit, berbisik lembut namun tegas di telinga Alina,
"Bersiaplah, dan jangan membuat malu."
Alina hanya mengangguk pelan, matanya sekilas bertemu pandang dengan Liam. Di balik dinginnya ekspresi pria itu, ada sedikit keteduhan yang seolah memberi jaminan bahwa semua rencana akan berjalan dengan lancar.
Saat mereka melangkah masuk ke dalam gedung, suasana berubah menjadi lebih tenang, meski atmosfer tegang masih melingkupi ruangan. Di dalam aula konferensi, puluhan kursi telah dipenuhi oleh wartawan, reporter, serta perwakilan dari berbagai media, yang semuanya menunggu dengan mata tertuju pada podium di depan. Alina merasakan telapak tangannya dingin, meski genggaman Liam di tangannya cukup kuat untuk membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Di tengah ruangan, meja panjang dengan logo perusahaan Liam berdiri megah, tempat di mana pasangan itu akan mencoba meredam gelombang rumor yang kembali memanas.
Liam berjalan dengan mantap, memandu Alina ke podium. Sorot kamera dan tatapan tajam para jurnalis membuat Alina kembali gugup, tapi tatapan Liam yang sekilas diberikan padanya seolah menyampaikan pesan yang tak terucapkan, tetaplah berdiri di sisiku. Alina menelan ludah, membulatkan tekadnya.
Meski wajahnya tampak tenang, Alina merasa ada sesuatu yang berat menghimpit di dadanya. Suara gemuruh kamera yang tak henti-hentinya menyala mengiringi setiap langkah mereka menuju meja utama. Mereka tahu, ini adalah momen krusial, titik di mana reputasi keluarga dan perusahaan dipertaruhkan.
Mereka lalu duduk di kursi yang telah di siapkan, Liam menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. Sorot matanya tajam, penuh keyakinan.
"Kami ingin mengucapkan terima kasih karena sudah hadir di sini. Saya sadar, banyak dari Anda yang telah menunggu pernyataan resmi dari saya terkait tuduhan yang beredar tentang manipulasi saham yang menyeret nama saya dan perusahaan."
Suara Liam terdengar tegas, tapi di sudut matanya, Alina bisa melihat ketegangan yang hampir tak terlihat. Liam telah berjuang sendirian selama ini, dan sekarang mereka berada di sini bersama, menghadapi segala tuduhan yang semakin liar.
"Pertama-tama, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak pernah terlibat dalam tindakan ilegal yang merugikan siapa pun. Saya membangun perusahaan ini dengan integritas, dan saya tidak akan pernah menghancurkannya dengan skandal seperti ini.'
Di sebelahnya, Alina duduk diam, sepasang matanya nampak serius, dan pikirannya bergolak. Pernikahan mereka baru beberapa hari, dan kini dia harus ikut menghadapi mimpi buruk yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Ia memang tidak menyukai situasi ini, bahkan dirinya masih memendam kebencian terhadap Liam karena alasan pernikahan mereka yang lebih karena tekanan keluarga.Tapi dia tahu, dalam situasi ini, dia tak punya pilihan lain. Demi menjaga kehormatan keluarganya, Alina harus berada di sisi Liam.
Seorang wartawan berdiri, suaranya lantang sambil memegang mikrofon di depan mulutnya.
"Tuan Liam, apakah benar bahwa pernikahan Anda dengan Nona Alina adalah upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari skandal ini?"
Alina merasakan ketegangan di dadanya semakin meningkat.
Liam mengarahkan pandangannya kepada Alina, mengisyaratkan agar dia melanjutkan. Alina sempat terdiam sejenak, lalu merespon, mengambil alih kendali dengan ketenangan yang mengejutkan.
"Pernikahan kami bukanlah taktik atau cara untuk mengalihkan perhatian," katanya dengan suara lembut tapi penuh ketegasan.
"Ini adalah keputusan keluarga, keputusan pribadi. Menghubungkan hubungan kami dengan masalah bisnis adalah sesuatu yang tidak benar dan tidak adil."
Alina menatap para wartawan di hadapannya. Meskipun hatinya terasa hampa, dia tahu harus menunjukkan sikap kuat. Pernikahan mereka mungkin bukan didasari cinta, tapi ini adalah pertempuran yang harus dia hadapi bersama Liam.
Sebuah pertanyaan lain datang, lebih tajam.
"Nona Alina, apakah Anda merasa terjebak dalam pernikahan ini, mengingat skandal yang sedang terjadi?"
Sepasang manik Alina melengkung, seolah memberi mereka isyarat bahwa di balik cadarnya ia sedang tersenyum untuk menyangkal tuduhan itu.
"Saya tidak terjebak. Saya menikahi Liam karena saya percaya padanya. Saya tahu siapa dia, dan skandal ini tidak akan mengubah apa pun. Saya di sini sebagai istri yang mendukung suaminya, bukan karena kewajiban, tapi karena saya memilih untuk ada di sini."
"Saya rasa tidak ada orang yang ingin pernikahannya diwarnai dengan spekulasi dan gosip seperti ini. Saya dan Liam saling mendukung satu sama lain, dan saya percaya pada keputusannya, begitu pula ia pada saya. Kami di sini bukan untuk membela diri, tetapi untuk menunjukkan bahwa kami adalah tim yang saling mendukung."
Kata-katanya yang tenang membuat suasana di ruangan itu sedikit mereda. Liam melirik ke arah Alina dengan senyum puas, lalu mengenggam jemari istrinya itu.
Alina menatapnya sejenak, membaca pesan tersirat di balik gestur itu. Dengan enggan, ia membiarkan jemari mereka bertaut. Di mata media, itu terlihat seperti gerakan penuh kasih, namun bagi Alina, genggaman itu lebih menyerupai belenggu.
"Pernikahan kami bukanlah hasil dari skandal atau tekanan apa pun. Kami berdua membuat keputusan ini sebagai bentuk komitmen, dan kami meminta semua pihak untuk menghargai kehidupan pribadi kami." Liam melanjutkan dengan suara tegas.
"Apakah benar bahwa Anda setuju untuk membayar ganti rugi kepada para investor, Tuan Liam?" lanjut wartawan lain, berusaha mendesak.
"Apakah itu berarti Anda mengakui kesalahan?"
Liam menghela napas perlahan, lalu menjawab dengan lugas dan bijak.
"Pembayaran itu adalah tanggung jawab saya sebagai pemimpin perusahaan, bukan pengakuan atas kesalahan. Saya melakukannya demi menjaga kepercayaan para investor dan kelangsungan bisnis ini. Namun, itu tidak berarti bahwa saya atau perusahaan bersalah dalam tuduhan manipulasi ini."
Kilatan kamera kembali menyala, menangkap setiap momen ketegangan. Alina merasakan jantungnya berdegup cepat, meski dari luar ia tetap tampak tenang. Dia mengingat desakan keluarganya, keputusan menikah yang tak sepenuhnya menjadi pilihannya. Tapi kini, dalam situasi ini, Alina tahu bahwa dia harus bermain peran ini dengan sempurna.
Pertanyaan demi pertanyaan berlanjut, setiap jawaban terbungkus rapi dalam kata-kata penuh kehati-hatian.
Setelah menjawab beberapa pertanyaan lagi, Liam mengakhiri konferensi pers dengan kalimat yang tegas,
"Saya dan Alina berdiri di sini bersama. Kami tidak akan membiarkan rumor dan tuduhan palsu menghancurkan apa yang kami bangun. Pada akhirnya, kebenaran akan terungkap."
Konferensi pers selesai. Liam mengakhiri sesi dengan sebuah senyum diplomatis. Mereka berdua lalu berdiri dan berjalan keluar sambil terus bergandengan, memberikan kesan bahwa mereka adalah pasangan yang saling mencintai.
Alina bisa merasakan kehadiran Liam di sampingnya, begitu dekat namun terasa jauh. Di tengah semua kerumitan ini, dia tahu ada banyak hal yang harus mereka hadapi bersama, meski hatinya masih dipenuhi kebencian yang sulit ia pendam, namun ada rasa penasaran dari sikap suaminya yang membuat hatinya kian gelisah.
...[••••]...
...Bersambung......
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.