Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - Hak dan Kewajiban (Suami-Istri)
Aliya terdiam. Mulutnya masih terbuka, ingin membela diri, tapi kata-kata itu tidak jadi keluar. Pandangan mereka bertemu beberapa detik, Bagaskara dengan tatapan seriusnya, Aliya dengan wajah memerah antara malu dan panik.
Akhirnya, ia hanya mengangguk kecil. “Baik … aku mandi dulu,” ucapnya lirih, sebelum segera berjalan ke kamar mandi, berusaha menyembunyikan wajah yang terasa panas setengah mati.
Di dalam kamar mandi, suara gemericik air mengisi ruangan, berpadu dengan aroma sabun yang segar. Aliya berdiri cukup lama di depan pancuran, membiarkan air mengalir melewati wajah dan tubuhnya.
Meski tubuhnya ingin segera menyelesaikan ritual mandi, pikirannya justru melayang pada noda merah yang sempat ia tinggalkan di seprai tadi.
“Astaga, gimana bisa sederes itu? Malu banget,” bisiknya dalam hati, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Bayangan Bagaskara yang tadi menatapnya dengan ekspresi setengah bingung setengah serius membuatnya semakin panas. Hatinya berdebar campur gugup, seakan-akan kejadian kecil itu adalah dosa besar yang sulit dimaafkan.
Alhasil, mandi yang biasanya singkat, kali ini terasa lebih lama. Aliya berusaha menenangkan dirinya, seolah air yang mengalir bisa mencuci bersih rasa malunya.
Hingga, selang beberapa menit kemudian, ia akhirnya mematikan pancuran dan melilitkan handuk ke tubuhnya. Setelah berpakaian seadanya di dalam kamar mandi, barulah ia memberanikan diri membuka pintu dan keluar.
Langkahnya terhenti. Pandangannya langsung jatuh pada ranjang. Tempat tidur itu kini sudah rapi sempurna. Seprai putih diganti dengan yang baru, licin tanpa kerut, bantal-bantal tersusun rapi di atasnya. Seolah noda memalukan tadi sama sekali tidak pernah ada.
“Kak Bagas ganti seprainya?” gumam Aliya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Tidak ada siapapun di kamar saat ini, tetapi ia bisa menebak hanya satu orang yang cukup sigap dan telaten melakukan itu, suaminya.
Aliya menggigit bibir bawahnya, hatinya kembali hangat bercampur malu. Dia bahkan tidak membiarkanku membereskan sendiri.
Tidak ingin terlalu lama hanyut dalam pikiran itu, ia buru-buru bergerak ke lemari, memilih pakaian formalnya.
Sebagaimana seorang dokter yang harus tampil sopan dan rapi, ia mengenakan atasan putih sederhana dengan celana kain.
Tidak ada waktu untuk merias wajah hari ini, ia hanya sempat mengoleskan lip balm tipis agar bibirnya tidak pucat. Rambut panjangnya ia ikat sederhana, memberi kesan segar meski tanpa polesan make-up.
Dengan sedikit tergesa, ia turun dari kamar. Suara langkahnya terdengar ringan, namun hatinya berdebar karena ia tahu Bagaskara pasti sudah menunggu.
Benar saja. Di ruang makan, pria itu duduk tenang di kursi, sudah berpakaian rapi dengan kemeja dan jas. Di atas meja, dua piring sandwich tertata manis, lengkap dengan segelas jus jeruk yang masih tampak segar.
Aliya sempat terdiam di ambang pintu, menatap pemandangan itu. Ada sesuatu yang menohok dadanya, bagaimana pria itu, meski keras dan penuh gengsi, tetap menyiapkan semuanya untuknya.
“Ayo,” ucapnya buru-buru, khawatir Bagaskara terlambat menghadiri rapat.
Namun, pria itu hanya melirik sekilas, lalu menggeleng tipis. “Sarapan dulu.”
“Oh okay,” sahut Aliya agak salah tingkah, kemudian segera menarik kursi dan duduk di hadapan suaminya.
Mereka menikmati sarapan dalam diam. Sandwich buatan Bagaskara sederhana saja, roti panggang, telur, sayuran, dan sedikit saus, tetapi rasanya hangat, apalagi dimakan bersama. Aliya tidak berani banyak komentar, takut suasana canggung itu berubah jadi tegang.
Usai sarapan, keduanya bersiap berangkat. Bagaskara mengambil kunci mobil, sedangkan Aliya buru-buru merapikan tas kerja dan tentu saja menyiapkan air minum yang sempat menarik perhatian Bagas kemarin.
Begitu di dalam mobil, suasana awalnya hanya diisi oleh suara mesin dan deru angin dari jendela. Aliya duduk tenang, namun perasaannya tidak karuan.
Dari semalam hingga pagi ini, ia merasa terus-menerus merepotkan Bagaskara. Mulai dari drama emosionalnya di ruang tengah, kemudian harus dibopong ke kamar, lalu noda seprai yang menyebalkan itu, hingga sekarang masih harus diantar ke tempat kerja.
Ia menoleh sedikit, memperhatikan wajah suaminya dari samping. Rahang tegas itu tetap terfokus pada jalan, tangan besar menggenggam kemudi dengan mantap.
Tatapannya serius, seperti biasa, namun entah kenapa kali ini Aliya justru merasa ada ketenangan yang menular hanya dengan melihatnya.
“Ehem, Kak Bagas.”
Suara lirih Aliya memecah hening. Bagaskara sempat melirik sekilas, alisnya sedikit terangkat, sebelum kembali fokus ke jalan. “Hem?”
Aliya menggigit bibir bawah, mengumpulkan keberanian. “Terima kasih ya.”
“Untuk?” Nada suara Bagaskara datar, tapi jelas mengandung rasa ingin tahu.
Aliya menarik napas pelan. “Untuk semua jasanya. Dari kemarin aku ngerepotin banget. Maaf ya, Kak.” Ia menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan.
Bagaskara tidak langsung menjawab. Matanya tetap lurus ke depan, tetapi sesaat kemudian bibirnya bergerak, mengeluarkan kalimat yang membuat Aliya tertegun.
“Tidak perlu berterima kasih. Itu kewajibanku sebagai suami.”
Aliya spontan menoleh, matanya membesar. Ia tidak pernah menduga pria itu akan menjawab dengan kata-kata sehangat itu, meski ucapannya disampaikan dengan tenang dan tanpa ekspresi berlebihan.
“Dan ....” Bagaskara menambahkan, kali ini matanya sekilas melirik Aliya, “hakmu sebagai istriku, Aliya.”
Deg
Hati Aliya bergetar hebat. Kata-kata sederhana itu menembus dirinya lebih dalam dari yang ia duga. Senyum tipis muncul di wajahnya, pipinya memanas. Ia bahkan sampai menunduk, takut kalau Bagaskara melihat rona merah yang mulai menyebar di wajahnya.
Namun, senyum itu mendadak terhenti ketika Bagaskara kembali membuka mulut. Suaranya tetap datar, tapi tegas, menembus udara hening dalam mobil.
“Dan aku harap, setelah ini kamu juga tahu kewajibanmu sebagai istri.” Ia memberi jeda, sengaja menoleh sekilas ke arah Aliya yang menegang. “Dan memberikan hak-ku sebagai suami, paham?”
.
.
- To Be Continued -