Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Selamat nak, Kamu sudah melakukan langkah pertamamu. InsyaAllah, semuanya akan baik-baik saja. Ayah yakin kamu pasti bisa menjadi suami dan imam yang baik untuk istri kamu." Ucap Pak Ardhan sembari menepuk pundak Farhan dengan pelan.
Farhan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil yang menjadi sebuah tanda bahwa ia menghargai usaha ayahnya meski hatinya masih sekeras batu.
Sementara itu, Ustadz Yusuf menarik napas panjang. Wajahnya terlihat lega, sekaligus terharu. Ia menatap istrinya, Ummi Mariam yang berdiri tidak jauh, sambil memegang tisu untuk mengelap pipinya yang basah karena air matanya.
Dengan gerakan kecil dan tanpa bicara, ustadz Yusuf memberi kode pada istrinya kalau sudah waktunya untuk Kinara keluar dari kamar dan menemui suaminya. Ummi Mariam mengangguk pelan. Hatinya terasa hangat namun juga gugup, ia akan membawa putrinya keluar untuk pertama kalinya sebagai seorang istri.
Senyum lembut muncul di bibirnya, meski matanya masih berkilat oleh haru. Ia segera berbalik dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Suara langkahnya yang lembut itu mendekati kamar Kinara.
Di balik pintu, Kinara menghapus air matanya dan mencoba mengatur napasnya yang masih bergetar.
Ia tahu, detik itu akhirnya datang. Detik dimana ia harus berdiri meninggalkan masa gadisnya dan melangkah menuju laki-laki yang kini sah menjadi suaminya.
Jantungnya berdebar begitu kencang, seakan ingin melompat keluar. Dan saat pintu kamarnya perlahan diketuk, Kinara menghela napas panjang serta menyeka sisa air mata di pipinya.
“Assalamu’alaikum, Nak.”
Suara Ummi Mariam terdengar begitu lembut namun penuh makna.
“Wa’alaikumussalam, Ummi.”
Ummi Mariam masuk dan menghampiri putrinya yang masih duduk di depan meja riasnya.
"Ummi antar kamu ke depan, sudah waktunya bagimu untuk bertemu dengan suamimu." Ucap ummi Mariam yang membuat Kinara tersenyum lalu mengangguk pelan.
Lantunan sholawat nabi kembali mengalun merdu dari halaman pondok pesantren Darul Qur’an Al Majid. Suara para santri putra bersahutan dengan tabuhan hadrah yang ritmis, menggema, dan menggetarkan suasana.
“Sholli ‘ala Muhammad, Ya Rabbi sholli ‘alaihi wasallim.”
Langkah-langkah kecil Kinara terdengar pelan dari dalam rumah. Gaun putih sederhananya jatuh dengan lembut mengikuti setiap gerak tubuhnya, seolah ikut menjaga aura malu yang ia bawa. Ummi Mariam menggenggam lengannya, membantu menjaga langkah Kinara yang terasa mulai gemetar.
Para tamu yang duduk rapi mulai memalingkan pandangan ke arah pintu rumah. Suara bisikan pelan terdengar dari sana-sini—kagum, takjub, penuh rasa penasaran.
Sementara itu, Farhan berdiri membeku di sisi pelaminan sederhana yang sudah tertata. Pandangannya semula menatap kosong ke depan, hingga akhirnya pintu rumah itu terbuka. Dan seseorang melangkah keluar.
Seseorang yang kini menjadi istrinya.
Kinara.
Farhan baru sadar ia telah menahan napasnya terlalu lama. Rahangnya mengeras tanpa peringatan. Ia bahkan merasakan sedikit perih saat giginya terkatup terlalu kuat.
"Jadi ini perempuan yang dipilih Ayah? Ucap Farhan di dalam hatinya seakan menolak sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mengerti.
Ia mengedip pelan, mencoba memastikan kalau ia tidak sedang berhalusinasi.
Perempuan itu, wajahnya memancarkan ketulusan yang tidak ia lihat pada siapa pun selama dua tahun terakhir. Matanya yang jernih yang tidak tahu apa-apa tentang dunia kelam yang pernah menghancurkan dirinya. Senyum malu-malu yang entah kenapa membuat macam-macam sensasi aneh menjalar di dada Farhan.
Sebelas detik. Itu waktu yang Farhan habiskan hanya untuk menatap Kinara dan ia merasa kesal karena hal itu.
"Kenapa gue harus ngeliat dia kayak gitu?Kenapa jantung gue berdebar-debar? Bodoh.
Dia cuma perempuan. Sama saja. Semua perempuan sama saja." Teriak Farhan dengan kesal di dalam hatinya.
“Farhan, Nak?” tegur Pak Ardhan pelan ketika menyadari putranya berdiri terpaku saat melihat Kinara.
Farhan langsung mengalihkan pandangannya dengan cepat, begitu cepat, seolah ia bisa menghapus seluruh reaksi yang barusan terjadi hanya dengan berpaling. Ia menegakkan bahunya, menghela napas kasar, dan memasang wajah datar yang menjadi tamengnya selama ini.
Di sisi lain, Kinara melangkah makin dekat. Jantungnya berdetak tak karuan, seolah memikul semua rasa gugup sekaligus kebahagiaan. Ia mengangkat wajahnya pelan, dan tatapan mata keduanya tanpa sengaja kembali bertemu, hanya sesaat namun cukup untuk membuat Kinara menahan napas.
Farhan jauh lebih tampan dari yang ia bayangkan. Bukan sekadar tampan tapi tipe lelaki yang wajahnya bisa dengan mudah menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, tatapannya yang tajam namun dingin, menyimpan banyak cerita kelam.
Kinara menundukkan kepalanya lagi ketika ia merasakan pipinya memanas. Bukan karena malu semata tapi karena ada rasa yang baru muncul dan sulit ia deskripsikan.
Deg. Deg. Deg.
Langkah Kinara berhenti tepat di depan Farhan. Untuk beberapa detik, seolah semua suara menghilang. Para tamu memperhatikan dalam diam. Ustadz Yusuf berdiri di sisi lain Farhan, menatap keduanya dengan penuh haru dan doa.
Farhan menggerakkan bola matanya sedikit, mencuri satu tatapan singkat ke arah istrinya. Dan sial, jantungnya kembali bereaksi.
"Kenapa gue ngerasa begini? Ini salah. Ini nggak seharusnya terjadi. Gue nggak butuh perempuan dalam hidup gue lagi." Ucap Farhan dalam hatinya.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan, menekuk bibir dengan tidak nyaman, sebuah gestur yang tidak luput dari penglihatan Kinara.
Alih-alih tersinggung, Kinara justru tersenyum kecil. Suaminya terlihat bingung. Sepertinya, Farhan tidak pandai menyembunyikan perasaannya seperti yang ia kira.
Ustadz Yusuf kemudian melangkah maju.
“Kinara Sayang, Sebelum kalian melangkah lebih jauh dalam kehidupan rumah tangga, lakukanlah adab pertama dalam pernikahan. Cium tangan suamimu sebagai bentuk bakti dan penghormatan mu kepadanya.” ucap ustadz Yusuf dengan pelan yang suaranya bergetar karena haru.
Kinara mengangguk lembut sementara Farhan menegang.
Tatapan mata laki-laki itu langsung menajam ke arah Ustadz Yusuf, seolah berkata,
"Serius harus gini sekarang?"
Namun semua mata sudah tertuju pada mereka. Farhan tidak punya ruang untuk menolak tanpa membuat semua orang terluka terutama ayahnya yang memandang dengan penuh harapan.
Dengan gerakan lirih, Kinara mengulurkan tangan. Tangannya bergetar tapi ia tetap melakukan perintah abinya dengan mantap.
Jari-jarinya menyentuh tangan Farhan yang kini menggigil. Kulit Farhan serasa tersengat listrik. Ia langsung menatap Kinara, hampir ingin bertanya apa yang barusan terjadi pada dirinya, tapi ia menahan diri.
Dan ketika Kinara menunduk untuk mencium punggung tangannya, Farhan merasa seperti jantungnya dilempar keluar dari dadanya.
"Kenapa gue deg-degan? Kenapa gue merasa seperti ini? Adilla, lihat. Bahkan setelah semua yang lo lakuin, gue masih bisa ngerasain ini sama perempuan lain. Gue benci ini. Benci banget." Batin Farhan dalam hatinya.
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/