Jangan lupa follow Author yaaaaa!!!!!!!
Hidup Kayla yang awalnya begitu tenang berubah ketika Ayahnya menjodohkannya dengan seorang pria yang begitu dingin, cuek dan disiplin. Baru satu hari menikah, sang suami sudah pergi karena ada pekerjaan mendesak.
Setelah dua bulan, Kayla pun harus melaksanakan koas di kota kelahirannya, ketika Kayla tengah bertugas tiba-tiba ia bertemu dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya tengah mengobati pasien di rumah sakit tempat Kayla bertugas.
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana reaksi Kayla ketika melihat suaminya adalah Dokter di rumah sakit tempatnya bertugas? Apa penjelasan yang diberikan sang suami pada Kayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebetulan Sekali
Kayla, Jihan dan Celine pun sampai di kantin rumah sakit dan memesan makanan untuk mengganjal perut mereka, "Kasihan ya Nadia sama yang lainnya," ucap Celine.
"Ya mau gimana lagi, tapi jujur ta aku tiba-tiba pengen di bimbing sama Dokter kulkas itu deh," ucap Jihan.
"Kenapa?" tanya Celine.
"Aku dengar siapapun Dokter muda yang di bimbing sama Dokter kulkas, pasti jadi sukses. Contohnya Dokter Shandy, tau kan Dokter Shandy yang sempat viral karena jadi sukarelawan di pedesaan," ucap Jihan.
"Oh, jadi Dokter Shandy itu dulu koas disini dan di bimbing sama Dokter kulkas," ucap Celine dan diangguki Jihan.
"Tunggu deh. kalian dari tadi manggilnya Dokter kulkas, emangnya nama aslinya siapa?" ganya Kayla.
"Gue lupa namanya, Dokter Atha deh kayaknya," ucap Jihan.
"Oh Dokter Atha," ucap Kayla.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga pun selesai dengan makan siangnya, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Namun, suasana lobi begitu ramai dengan lalu lalang petugas dan di tengah hiruk-pikuk itu tiba-tiba beberapa perawat berlari kencang kearah pintu keluar.
Kayla, Jihan dan Celine pun melihat kearah pintu masuk dan betapa terjun Kayla ketika melihat Arthur yang berbeda dari yang ia kenal.
Arthur berada di atas ranjang pasien yang sedang didorong cepat oleh petugas dan perawat, kedua tangannya melakukan penekanan kuat pada luka di kepala pasien yang bersimbah darah, kemeja putihnya yang tadi pagi rapi, kini terkena bercak merah. Wajahnya mengeras, rahangnya terkatup rapat dan matanya memancarkan fokus yang mematikan.
"Cepat! Siapkan OK satu! Pasien penurunan kesadaran, risiko herniasi!" teriak Arthur dengan suara baritonnya yang menggelegar dan memerintah perawat dan residen di sekelilingnya.
Jihan, Celine dan Kayla hanya bisa terpaku di pinggir lobi, "Namanya bukan Dokter Atha, tapi Dokter Arthur! Gila auranya serem banget kalau lagi mode darurat gitu," ucap Jihan.
"Pantas saja dijuluki Dokter Kulkas, lihat tatapannya, dingin banget tapi sekaligus mematikan, aku aja sampai merinding cuma lihat dari jauh," ucap Celine.
Kayla tidak menyahuti obrolan Jihan dan Celine, jantungnya berdegup kencang bukan hanya karena takut, tapi karena rasa kagum yang tiba-tiba muncul. Pria yang semalam mengecup wajahnya secara diam-diam (meskipun Kayla tidak tahu) sekarang terlihat seperti pahlawan yang sedang bertarung melawan maut. Namun di sisi lain, ia juga merasa ngeri membayangkan harus berhadapan dengan Arthur dalam mode seperti itu.
Baru saja ranjang itu melesat masuk ke lift khusus bedah, tiba-tiba Dokter Bian muncul dari arah belakang mereka dengan wajah serius. "Dokter Muda, kenapa masih di sini?" tanya Dokter Bian.
"Maaf Dokter, kami baru kembali dari kantin," jawab Kayla.
"Kebetulan sekali, Dokter Arthur baru saja membawa pasien kecelakaan karambol dengan trauma kepala berat. Beliau butuh bantuan tambahan untuk observasi pasca operasi nanti. Kalian berlima, ikut saya ke ruang operasi, kalian akan melihat bagaimana prosedur craniotomy darurat dilakukan oleh Dokter Bedah Saraf terbaik kita," ucap Dokter Bian.
"Kami juga ikut masuk ke ruang operasi Dokter Arthur, Dok?" tanya Kayla.
"Iya dong, ini kesempatan langka bagi kalian, aya," ajak Dokter Bian.
Setelah berganti pakaian steril dan melakukan prosedur cuci tangan, Kayla dan teman-temannya berdiri di sudut ruang operasi yang sangat dingin. Di tengah ruangan, di bawah lampu operasi yang terang, Arthur sudah berdiri dengan baju bedah hijau lengkap dengan masker dan pelindung wajah.
Suasana sangat hening, hanya terdengar suara detak jantung pasien dari mesin monitor.
"Pisau," minta Arthur dan Perawat instrumen dengan sigap memberikan alat yang diminta.
Tangan Arthur bergerak dengan sangat tenang namun pasti, tidak ada keraguan sedikit pun. Setiap gerakan jarinya terlihat sangat presisi, Kayla memperhatikan dari jauh, ia hampir tidak percaya bahwa tangan yang sangat ahli membedah tengkorak manusia itu adalah tangan yang sama yang mengusap kepalanya kemarin.
Tiba-tiba, Arthur berhenti sejenak. Matanya melirik ke arah barisan koas yang menonton di sudut ruangan, tatapannya jatuh tepat pada Kayla yang tersembunyi di balik masker bedahnya.
"Dokter Muda yang di pojok, yang memegang buku catatan," suara Arthur terdengar dingin di balik maskernya.
"I-iya, Dokter?" jawab Kayla gugup karena saat ini ia menjadi pusat perhatian orang-orang di ruangan itu.
"Sebutkan komplikasi paling fatal yang bisa terjadi dalam sepuluh menit ke depan pada pasien dengan kondisi seperti ini," tanya Arthur sambil tangannya kembali bekerja tanpa menoleh sedikitpun pada Kayla.
Seluruh ruangan mendadak tegang, Dokter Bian hanya diam, ingin melihat kemampuan anak didiknya.
"I-itu t-terjadi perdarahan ulang a-atau peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan herniasi batang otak Dok," jawab Kayla berusaha tenang meski kakinya lemas.
"Lalu apa yang harus kau lakukan jika monitor menunjukkan tanda-tanda itu?" kejar Arthur lagi, suaranya naik satu oktaf seolah memberi tekanan pada pertanyaannya.
"Sa-saya akan memberikan ma-ma-manitol dosis tinggi dan pastikan ventilasi pasien adekuat untuk menurunkan kadar CO2," jawab Kayla.
Ruangan tersebut pun hening sejenak, Arthur tidak memuji dan hanya mendengus kecil. "Setidaknya otakmu tidak tertinggal di kantin, perhatikan baik-baik, jangan hanya berdiri seperti patung. Jika kalian tidak mengerti apa yang saya lakukan, silakan keluar, saya tidak butuh penonton yang tidak berguna," ucap Arthur.
Celine dan Jihan saling berpandangan dengan wajah pucat pasi, Kayla hanya bisa menelan ludah. 'Gila! Benar-benar Dokter Kulkas, di rumah sakit dia benar-benar menganggapku orang asing bahkan lebih galak dari siapapun,' batin Kayla.
Setelah operasi yang melelahkan itu berakhir, Arthur melangkah keluar dari ruang operasi dengan langkah tegap dan mengabaikan tatapan kagum sekaligus takut dari para Dokter muda, ia melepaskan jas bedahnya yang bersimbah darah dan menyerahkannya kepada perawat tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kayla.
Kayla yang masih terpaku di tempatnya merasa seolah ada tembok es raksasa yang baru saja dibangun Arthur di antara mereka, 'Benar-benar profesional atau memang dia aslinya sedingin ini?' batin Kayla sambil merapikan catatannya yang sedikit basah karena keringat dingin di tangannya.
"Kay, gila ya jantungku mau copot pas dia nanya kamu tadi," bisik Jihan sambil melepas maskernya dengan wajah pucat.
"Aku juga, rasanya mending disuruh lari keliling lapangan daripada ditanya Dokter Arthur dalam mode kayak gitu," timpal Celine.
Dokter Bian menghampiri mereka sambil tersenyum tipis, "Jangan diambil hati, Dokter Arthur memang perfeksionis jika sudah menyangkut nyawa pasien. Sekarang kalian kembali ke bangsal dan buat laporan observasi, saya masih ada urusan," ucap Dokter Bian dan diangguki ketiganya.
Saat Kayla sedang berjalan di koridor menuju bangsal saraf, langkahnya terhenti ketika melihat Arthur sedang berdiri di depan nurse station, berdiskusi serius dengan seorang residen senior, Kayla sempat ragu, haruskah ia menyapa atau setidaknya mengangguk sebagai tanda hormat.
.
.
.
Bersambung.....