Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Sampah
Aluna menutup pintu mobil hati-hati, Raka di pangkuannya, perban kecil melilit di kepala bocah itu. Wajah anak itu pucat tapi matanya tetap cerah, bibirnya masih menyunggingkan separuh senyum ketika melihat rumah besar yang malam itu terasa begitu asing baginya. Aluna membopong Raka ke dalam rumah dengan satu tangan, tangan lainnya menutup kantong plastik berisi obat dan perban cadangan.
Begitu langkahnya menjejak ruang tamu, pemandangan yang membuat darahnya mendidih langsung menerjang, Tuti dan Miska duduk santai di sofa, seperti dua ratu yang baru saja memenangkan permainan. Tuti memegang cangkir teh, Miska bermain-main dengan ponsel ekspresi puas mereka jelas culas.
Aluna terhenti sejenak, napasnya menegang. Dia melepaskan Raka ke pelukan pengasuh dengan suara pelan, lalu langkahnya mendekat ke Tuti. Tanpa diduga, ia meraih lengan Tuti dan menariknya paksa ke posisi berdiri.
“Tuti!” suaranya padam, dingin seperti uap pagi. “Kau pikir apa yang kalian lakukan itu lucu?!”
Sebelum Tuti sempat menjawab, satu tamparan keras mendarat di pipinya. Tuti terhuyung dan tersungkur di lantai sofa, pipinya memerah. Sekejap ruang itu sunyi, hanya terdengar napas Aluna yang berat. Mata Aluna menyala penuh kemarahan.
“Kalian hampir membunuh anakku!” teriak Aluna, suaranya pecah. “Kalian bawa Raka pergi tanpa izin, kau biarkan bocah itu lari apa kau sadar kalau itu bisa berakhir fatal? Apa kau mau anakku mati demi permainan kotor kalian?!”
Tuti tergeletak, tangan menutupi pipi, matanya membara antara malu dan takut. Miska bangkit dengan cepat, wajahnya merah padam bukan hanya karena tamparan, melainkan juga karena rahasia rencananya yang hampir terbongkar.
Sebelum Miska sempat melancarkan serangan balik, Haris muncul dari tangga, ekspresi panik di wajahnya segera berubah menjadi marah saat melihat Tuti terjungkal.
“Aluna! Apa maksudmu mempermalukan istri orang di ruang tamu?!” Haris meloncat, menarik lengan Aluna dengan kasar. Semua bergerak dalam sekejap, Aluna menatap Haris, matanya menyala, namun Haris sudah lebih dulu kehilangan kontrol ia menampar Aluna keras hingga sudut bibirnya sobek dan darah tipis mengucur.
Suara tamparan itu bergema, kemudian hening. Luka di bibir Aluna menghitamkan udara, rasa sakit fisik menyengat, tetapi lebih dari itu ada penghinaan lama yang merekah kembali. Darah mengkilap di pipi membuat semua orang terkejut.
Aluna menahan air mata sejenak, lalu sebuah senyum getir terlukis di bibirnya. Dengan dingin ia menyeringai, dan sejurus kemudian dia membalas dengan tamparan keras tepat ke pipi Haris. Haris terhuyung mundur, ekspresinya berubah dari marah menjadi bengong. Aluna menatapnya tanpa belas kasihan.
“Kalian semua sampah!” suaranya menusuk. “Pantes berjodoh, kalian yang selalu menginjak orang lain demi kepentingan sendiri!”
Haris terkesiap, kemudian berteriak, “Jaga ucapanmu, Aluna! Kau tidak tahu sopan santun...”
Sebelum kata-kata itu selesai, pintu depan diketuk keras. Sesosok tinggi masuk dengan langkah cepat, yaitu Taka. Dia baru saja kembali dari urusannya dan memutuskan untuk pulang lebih dulu, mungkin karena firasat, mungkin karena panggilan hati. Wajahnya seketika berubah tegas saat menyaksikan adegan kacau itu, Tuti di lantai, Haris yang melempar kata-kata kasar, darah di bibir Aluna.
Taka mendekat dalam hitungan detik. Tanpa kompromi, ia menendang Haris dengan tenaga yang terkendali namun menghajar, membuat Haris jatuh tersungkur ke lantai. Tuti yang hendak menolong suaminya justru ditarik dan ditebas oleh satu tamparan Taka, ada kekerasan yang dingin dalam gerakannya bukan untuk menyakitkan tanpa alasan, melainkan untuk menghentikan.
“Jangan pernah lagi menyentuhnya!” suara Taka rendah, seperti gemuruh dari dasar. “Satu langkah lagi, dan aku patahkan kakimu. Kau mengerti?!”
Miska menjerit, Tuti menangis, Haris terkapar dengan muka pucat. Ada getar ketegangan yang menempel di udara, bukan sekadar perkelahian keluarga ini peringatan dari Taka.
Aluna merasakan sesuatu di dadanya mencair dan mengeras sekaligus melihat reaksi suaminya. Dia melangkah maju, menahan tangan Taka yang hendak menerjang lebih jauh.
“Hentikan,” pinta Aluna, nadanya bergetar namun tegas. “Jangan … jangan bunuh dia, Taka. Aku tidak ingin ini menjadi sesuatu yang akan menjerat kita semua.”
Taka menatap Aluna, napasnya terengah. Matanya menyiratkan badai, amukan yang sangat dalam, namun juga tunduk pada kata istrinya. Dia menarik tangannya kembali, menenangkan diri, membiarkan suara kasar itu mereda. Namun kata-kata terakhirnya tetap menggema, keras dan penuh ancaman.
“Satu kali lagi aku lihat kau menyentuhnya seperti itu, aku … aku pastikan kau tidak akan berdiri lagi di sini.” Suaranya seram, tetapi ada getar perlindungan yang tak terelakkan.
Haris yang masih terduduk ternganga melihat perubahan mendadak ini, ia melihat Taka, bukan sebagai menantu, tetapi sebagai lawan yang tak bisa ditawar. Tuti bergetar, Miska membeku. Rumah itu seperti runtuh, segala keseimbangan lama hancur berkeping.
Taka memandang ke arah Aluna, wajahnya lunak sejenak. Dia meraih tangan Aluna, mengusapnya lembut, lalu menuntun dia perlahan ke arah kamar, bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk menjauhkan istrinya dari racun rumah itu. Di depan pintu, ia menoleh kepada Haris dan Tuti, suaranya dingin.
“Kalian akan bayar untuk ini. Tapi sekarang aku bawa Aluna ke kamar dulu. Jangan sampai aku dengar apapun lagi sebelum aku pikirkan langkah selanjutnya untuk menguburkan kalian hidup-hidup.”
Aluna menoleh dan melihat Taka bukan lagi hanya sebagai pemegang nama, tetapi sebagai penjaga yang tak terelakkan. Matanya menangkap tatapan suaminya yang sangat marah namun penuh cinta dan untuk pertama kali dalam waktu lama ia merasa ada yang benar-benar membela dan melindunginya tanpa syarat.
[Tuan, perusahaan Pramudya telah hancur! Tuan Bram, telah mengundurkan diri dari perusahaan Pramudya. Namun, Tuan Barra terlihat masih berusaha mencoba mempertahankannya ... dia mencari investor untuk saat ini,] pesan singkat dikirim oleh asisten Taka.
penyesalan memang dtang belakangan kalau didepan namanya pendaftaran🤣🤣🤣
Kamu sdh sadar kesalahanmu,maka kamu jga berhak bahagia Bara, bkn dngn Aluna tapi dngn orng lain,,,,
Dan andaikata Aluna menerima permintaan Taka supaya dia kembali lgi sm Barra ,"Yaaa,,,Terrlaaaluuu!!,,,,kasian Taka donk!! 😭😭
Skrng stlh 6thn mantan istrinya di Ratukan oleh Taka,dan anaknya sendiri tidak memanggil dia Ayahnya,dan lbih menganggap Taka Ayahnya,,,,,,puas apa puas readers??? Puas bngt laaahh 🤗🤗🤗