Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi yang tertunda
Mobil Anna berhenti tepat di depan hotel bintang enam yang megah. Cahaya lampu berpendar, memantulkan kemewahan yang tak tersentuh. Di balik jendela mobil, Anna menatap pantulan dirinya—wajah yang sama, tetapi dunia di sekitarnya kini berbeda.
Pintu terbuka. Karpet merah terbentang di hadapannya, seperti jalan menuju dimensi lain. Blitz kamera menyala bertubi-tubi, sorakan pelan terdengar dari arah kerumunan. Anna tetap diam. Bukan karena tak siap, melainkan karena perbedaan ini begitu mencengangkan.
Masih teringat jelas—hanya beberapa waktu lalu, langkahnya tak diiringi karpet merah, melainkan lantai dingin yang berbau lembap. Teriakan bukan berasal dari penggemar, melainkan dari sesama tahanan yang kehilangan harapan. Cahaya yang menyilaukan bukan lampu sorot, melainkan sinar matahari yang menembus jeruji besi.
Sekarang, ia berdiri di dunia yang berbeda. Dunia di mana angin malam membawa aroma parfum mahal, bukan bau besi karat dan dinding lembab. Dunia di mana setiap orang memuja kehadirannya, bukan menatapnya dengan jijik.
Anna melangkah pelan. Para pengawal memastikan tak ada satu tangan pun menyentuhnya. Sejenak, ia hampir menoleh ke belakang—mencari rantai di pergelangan tangannya. Tapi yang ada kini hanya gelang berlian yang memantulkan cahaya lampu hotel.
Pintu besar terbuka. Ia dibimbing menuju ruangan di belakang panggung. Di dalam, gaun-gaun pengantin mewah tergantung rapi, masing-masing merupakan mahakarya seorang maestro.
Anthony Liu.
Tak ada desainer lain. Tak ada yang mampu menyulap kain menjadi mimpi seperti dirinya.
Anna hendak menyentuh salah satu gaun pengantin, tapi sebuah tangan menahan pergelangannya.
Ia menoleh.
Sosok ramping dengan kepala plontos itu melangkah anggun. Tak ada yang berubah dari dirinya—hanya dunia Anna yang kini terbalik.
Langit dan bumi.
Penjara dan kebebasan.
Dulu dan sekarang.
Anthony Liu tersenyum tipis. “Selamat datang kembali, Anna.”
Anna ingin menjerit. Ini adalah mimpi. Mimpi yang menjadi kenyataan.
Anthony Liu, desainer yang selama ini hanya bisa ia puja dari kejauhan, kini berdiri tepat di hadapannya. Pria itu tersenyum hangat, bibir merahnya melengkung sempurna, sorot matanya penuh ketertarikan. Anna membeku. Tak berani bergerak, tak berani bernapas.
Bukankah ini mustahil? Bukankah seharusnya ia masih berada dalam kegelapan yang dingin, di tempat di mana impian dikubur begitu saja?
Melihat Anna yang hanya terpaku seperti patung, Anthony mengerlingkan matanya. Dengan ujung jarinya, ia mencubit pipi gadis itu—cukup untuk membangunkannya dari keterkejutan.
“Jangan diam saja,” ucapnya lembut, sebelum mengangkat satu gaun putih yang tergantung di sampingnya. Gaun itu seakan bersinar di bawah cahaya lampu. Potongan kainnya jatuh sempurna, dihiasi bulu-bulu halus dari ekor burung merak asli yang menjuntai dengan anggun.
Sebuah mahakarya.
“Anna, ini untukmu,” kata Anthony, suaranya penuh keyakinan. “Kau akan mengenakannya malam ini.”
Anna, yang baru saja sadar dari keterpakuannya, kini kembali tercekat. Matanya membesar, bibirnya sedikit bergetar. Jantungnya berdegup terlalu kencang hingga ia merasa sesak.
Dia bercanda, bukan?
Ia? Mengenakan gaun ini? Gaun dari Anthony Liu? Gaun yang mungkin seharga rumah megah di pusat kota?
Tiba-tiba, rasa minder menghantamnya. Ia menunduk, jemarinya saling meremas. “Aku… aku tidak pantas mengenakannya,” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Aku bahkan tak punya cukup uang untuk menyewa gaun ini, apalagi memilikinya.”
Anthony terkekeh. Dengan santai, ia kembali mencubit pipi Anna—sedikit lebih keras kali ini, seolah menegaskan bahwa gadis itu harus segera sadar dari pikirannya yang berlebihan.
“Kau pikir aku akan meminta bayaran?” Nada bicaranya terdengar geli. “Anna, kau ada di sini karena aku menginginkannya. Itu sudah cukup. Yang perlu kau lakukan hanyalah memakai apa yang kuberikan.”
Sebelum Anna bisa menolak lagi, Anthony bertepuk tangan. Dalam hitungan detik, para make up artist dan asisten mode mulai berdatangan. Tidak seperti pertemuan pertama mereka yang penuh keterpaksaan dan kasar, kali ini tangan-tangan itu menyentuhnya dengan lembut.
“Permisi, Nona,” salah satu dari mereka berbicara dengan nada penuh kehati-hatian. “Kami akan membantu Anda mengenakan gaunnya.”
Anna masih ragu. Namun, saat jemari mereka menyentuhnya, mengganti pakaiannya dengan hati-hati, ia sadar ada sesuatu yang berubah.
Mereka tidak memperlakukannya seperti seseorang yang harus diseret, dikendalikan, atau dikekang. Mereka memperlakukannya seperti sesuatu yang rapuh.
Bahkan saat salah satu dari mereka menyentuh bekas luka di kepalanya, suara lembut terdengar di telinganya.
“Kami akan berhati-hati dengan luka Anda.”
“Jika terasa sakit, mohon beri tahu kami, Nona.”
Anna terdiam.
Dulu, ia bukan siapa-siapa. Di tempat gelap itu, ia hanya angka. Tidak lebih, tidak kurang. Tapi sekarang, mereka memperlakukannya seperti sesuatu yang berharga.
Ini bukan hanya tentang gaun. Ini tentang bagaimana dunia telah berubah.
Atau…
Bagaimana Ethan sedang berusaha mengubah dunianya.
“Percepat, acara akan di mulai,” perintah Anthony.
Kuas dan spons bergerak sangat lincah di atas kulitnya, setiap guratan bedak dan foundation terbaik disapukan dengan presisi. Gaun putih dengan ekor burung merak asli kini membalut tubuhnya sempurna, menjadikannya sosok yang jauh berbeda dari sebelumnya.
Bukan lagi Anna si gadis polos.
Kini, ia terlihat seperti dewi yang turun dari langit—memancarkan pesona yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Anthony, yang berdiri memperhatikan, awalnya hanya tersenyum santai. Namun, ketika Anna berputar perlahan, memperlihatkan dirinya sepenuhnya, ekspresi pria itu berubah. Sejenak, ia tampak terkejut, bahkan kehilangan kata-kata.
Kemudian, dengan nada setengah bercanda namun penuh kekaguman, ia berkata, “Bahkan jika aku memilih menjadi lelaki, aku pasti akan menjadikanmu istriku.”
Anna tersipu. Pipinya merona, tetapi ia tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya.
Anthony mendekat, lalu berbisik di telinganya dengan nada yang lebih lembut, “Pasti Tuan Ethan akan sangat terkagum-kagum melihat kehadiranmu. Kau jauh lebih bersinar dari rembulan… bahkan berkali lipat lebih menawan dari Dewi Rubah Susan itu.”
Anna hanya diam. Susan.
Siapa itu? Nama itu tak berarti apa-apa baginya.
Anna hanya mengenal satu orang—Ethan Ruan. Seorang pria yang duduk di kursi roda, seseorang yang tak pernah benar-benar ia pahami. Dan sekarang, seseorang membandingkannya dengan wanita lain? Ia tidak peduli. Ia tidak ingin dibandingkan dengan siapa pun yang pernah berada di sisi Ethan.
Dari kejauhan, Anthony terlihat sibuk. Anna memperhatikannya berbicara dalam lingkaran kecil, memberi arahan dengan gestur yang anggun namun tegas. Tak lama kemudian, suara tepuk tangannya menggema di ruangan.
Seketika, para model berbaris rapi, bersiap keluar dari pintu kiri dan kanan panggung.
Anna menahan napas. Setiap model mengenakan gaun pengantin yang luar biasa indah—gaun-gaun yang pernah ia impikan sebelum malam kecelakaan itu menghapus segalanya. Mata Anna membelalak. Mimpi-mimpi itu kini berwujud nyata.
“Seperti skenario sebelumnya,” ujar Anthony.
Para model mengangguk mengerti. Lalu, tanpa memberi kesempatan Anna untuk mencerna lebih jauh, Anthony kembali mendekat dan membimbingnya naik ke panggung.
Namun, sebelum menaiki anak tangga, Anna meraih tangan Anthony, menghentikan langkahnya. Wajahnya penuh kebingungan dan kecemasan.
"Apakah kau tak salah memegang tangan orang?"
Anthony menoleh, lalu menyipitkan mata seperti menilai sesuatu. Kemudian, dengan nada pelan namun pasti, ia berbisik, “Hei, kita sudah bertemu dua kali. Aku tentu masih ingat jelas wanita yang dimaksud Tuan Ethan.”
Suaranya lembut, tetapi mengandung sesuatu yang lebih dalam. Seakan memberi isyarat bahwa Anna harus menurut—bahwa ini sudah menjadi bagian dari rencana yang lebih besar.
Dengan langkah penuh percaya diri, Anthony mulai berjalan. Anna mengikutinya, meskipun tubuhnya terasa kaku.
Lampu sorot perlahan mengikuti setiap gerakan mereka. Di kiri dan kanan, para model muncul satu per satu, melangkah anggun dalam gaun pengantin yang harganya tak terbayangkan. Setiap busana yang mereka kenakan seperti karya seni hidup—begitu sempurna, begitu memukau.
Kemudian, suara MC menggema, memecah keheningan yang tegang.
“Inilah segenap mahakarya Anna Li, murid dari Anthony Liu.”
Anna tersentak. Apa?
Matanya membesar saat para model melangkah melewatinya, memperagakan setiap desain dengan keindahan yang membuatnya nyaris linglung.
Kapan aku merancang semua ini?
Kenapa namaku yang disebut?
Anthony punya murid? dan itu Aku! Lucu sekali.
Jantungnya berdebar kencang. Rasa panik menggigitnya dari dalam. Ini bukan hanya kejutan—ini adalah jebakan yang luar biasa halus.
Ia ingin berteriak. Aku tidak pernah membuat ini! Tapi suara itu hanya bergema dalam hatinya. Ia berdiri di tengah panggung, gemetar setengah mati, seakan dunia di sekelilingnya mulai berputar.
Apakah Ethan benar-benar tidak keberatan menghamburkan uang sebanyak ini? Aku menjadi murid Anthony? Kapan?
Anna menahan napas. Seolah memahami kebingungannya, Anthony mendekat dan berbisik di telinganya, suaranya seperti belati tajam yang menusuk lembut,
“Tuan Ethan berkata, ia hanya ingin mengembalikan mimpi Anna yang sempat tertunda.”
Kejutan. Ini menakutkan!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?