NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang Yang Menggoda

Cinta Terlarang Yang Menggoda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa / Suami ideal
Popularitas:544
Nilai: 5
Nama Author: Mamicel Cio

Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?

Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Efek Obat

Dominic mengemudikan mobilnya dengan rahang mengeras. Tubuh Hana terasa begitu lemah di kursi penumpang, wajahnya merona, napasnya tidak teratur. Gadis itu menggigit bibirnya dengan tatapan yang tidak biasa, mata yang biasanya jernih kini berkabut dengan gairah yang tak wajar.

"Apa yang Dion kasih ke kamu?" Dominic mendengus, mencoba tetap fokus pada jalan.

Hana hanya terkikik kecil, tubuhnya merosot ke samping, mendekati Dominic. Tangannya yang kecil menyentuh lengan Dominic dengan lembut, sebelum berani lebih jauh, menelusuri dadanya.

"Daddy... Daddy..." suaranya terdengar seperti bisikan menggoda.

"Jangan panggil aku kayak gitu, Hana." Dominic menggeram, otot-otot di rahangnya menegang.

Hana terkikik lagi. "Tapi aku mau Daddy... Aku panas... Aku mau cium Daddy sampai pagi!"

Sial.

Dominic tahu ini bukan Hana yang sebenarnya. Ini bukan gadis yang ia cintai, bukan gadis polos yang selalu menunduk malu saat ia menciumnya sekilas. Ini bukan Hana yang selalu memprotes ketika Dominic mencuri kesempatan untuk menyentuhnya di kantor.

Gadis di sampingnya kini seperti seseorang yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Dominic menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Hana, dengerin aku. Kamu pasti kena sesuatu. Aku akan bawa kamu ke dokter, oke?"

Tapi Hana menggeleng kuat, tangannya kini mencengkeram kerah Dominic, wajahnya mendekat.

"Aku gak mau dokter. Aku cuma mau Daddy..."

Dominic merutuk dalam hati.

'Sial, Dion benar-benar bajingan.'

"Daddy... Cium dong! Lebih dari cium juga boleh!"

'Sial Hana seksi banget!'

Dominic menepikan mobil dengan kasar, membuat Hana sedikit terhuyung. Dengan gerakan cepat, ia melepas sabuk pengamannya dan menangkup wajah Hana dengan kedua tangannya.

"Hana, lihat aku!" suaranya keras, bergetar dengan kemarahan dan kekhawatiran.

Hana berkedip, napasnya tersengal. "Kenapa... aku merasa aneh, Daddy?"

Dominic mengepalkan rahang. "Dion kasih kamu sesuatu. Mungkin obat. Aku harus bawa kamu ke rumah sakit."

Hana menggeleng lagi, kali ini matanya mulai berkaca-kaca. "Jangan tinggalkan aku... Aku mau Daddy." Hana mencuri ciuman di tengkuk Dominic. 

"Hmnhh, gini terus bisa goyah!" Dominic mengutuk dalam hati. Ia tahu Hana dalam kondisi tidak stabil, tapi melihatnya seperti ini, begitu rapuh dan tidak sadar dengan dirinya sendiri, membuat Dominic merasa hancur.

Dia ingin membunuh Dion.

"Aku gak akan ninggalin kamu, sayang. Aku janji." Dominic menarik Hana ke dalam pelukannya, mengusap rambut gadis itu dengan lembut.

Hana menggigit bibirnya, tubuhnya semakin menempel ke Dominic. "Kalau gitu... tolong bantu aku... aku butuh kamu, cium aku..." bisiknya dengan suara serak.

Dominic memejamkan mata, menahan diri sekuat tenaga. "Hana, kamu gak sadar sekarang. Aku gak akan pernah ambil kesempatan dalam kondisi kayak gini."

"Kamu gak mau aku?" Hana menggembungkan pipinya, matanya berkaca-kaca.

Dominic tertawa pelan, meskipun wajahnya masih menegang karena amarah dan ketegangan. "Mau banget, Sayang. Tapi bukan kayak gini."

Hana menggigit bibirnya, tapi matanya mulai terasa berat. Tubuhnya semakin lemah, mungkin efek obat yang diberikan Dion semakin bereaksi.

Dominic menghela napas panjang, merapikan rambut Hana dengan lembut. "Tidur, Hana. Aku akan bawa kamu ke tempat yang aman."

"Aku mau, Daddy..."

Dominic mencengkram setir dengan kuat. Matanya terpejam sesaat, mencoba mengendalikan napasnya yang mulai tidak beraturan. Hana terus meringkuk di sampingnya, tubuhnya terasa panas, napasnya memburu.

Sial.

'Dion benar-benar bajingan.' Dominic mengalihkan tatapannya ke gadis yang kini bersandar padanya, tangan kecilnya merayap di dadanya, jemarinya bermain-main di kancing kemeja yang sedikit terbuka.

"Daddy..." suara Hana terdengar berat, serak, memecah keheningan malam yang sebelumnya begitu hening. 

Tangannya yang mungil bergerak pelan, menangkup wajah Dominic, menariknya agar ia berhadapan langsung dengannya.

Napasnya terasa hangat di wajah, dan aroma tubuhnya yang manis menguar begitu dekat, aroma yang selalu familiar.

Namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Matanya yang biasanya bening kini tampak berkabut, dipenuhi dengan gairah yang aneh, yang jelas bukan lahir dari keinginan sadar dirinya.

Dominic mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang terjadi padanya.

"Hana sayang, jangan ya sayang ya," Hana menggenggam pergelangan tangannya, berusaha menahan dirinya sebelum ia melangkah lebih jauh. 

Tapi Hana tidak menggubris, gerakannya semakin tak terkendali. Dengan cepat, bibirnya menyentuh bibir Dominic, meluncur perlahan ke rahang, hingga turun ke tengkuk.

Dominic bisa merasakan setiap sentuhannya, dan itu cukup untuk membuat seluruh tubuhnya menegang.

"Hmm... Hana..." Domi merutuk dalam hati, memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri.

'Ini bukan dirinya, aku tahu itu. Ini bukan wanita yang kupercaya, yang aku cintai. Dia dalam kondisi yang tidak sepenuhnya sadar.' Tapi Hana di sini, begitu dekat, menggoda dengan cara yang seharusnya tidak ia lakukan. 

Rasanya seperti berjalan di atas tali yang nyaris putus, bahaya itu begitu nyata, begitu memikat, namun di sisi lain begitu menyesakkan.

Domi menelan ludah, mencoba melawan diriku sendiri.

"Jangan, Hana. Aku harus melindungimu, bahkan dari dirimu sendiri." 

"Aku mau kamu, Daddy..." bisik Hana di antara napasnya yang memburu.

"Aku lebih menginginkanmu, Hana..." Tangan Dominic mengepal di atas pahanya, berusaha mengendalikan diri. 

"Daddy..." Hana menciumi tengkuk Domi, menyesapnya sesekali. 

"Kamu lagi gak sadar, Sayang. Kita gak bisa kayak gini," suaranya terdengar serak menahan godaan.

Hana mendesah, menggigit bibirnya. "Tapi aku mau... Aku panas, Daddy..."

Dominic menggeram. "Sialan, Dion! Apa yang kamu kasih ke dia?!"

Hana kini mendongak, wajahnya memerah, matanya berbinar penuh dengan keinginan yang jelas bukan miliknya sendiri.

"Jangan ngomongin orang lain... Fokus sama aku, Daddy..." Hama mulai berani duduk diatas pangkuan Dominic. 

"Astaga...Sial!" Panggilan itu hampir membuat Dominic hilang kendali, tapi dia bukan bajingan seperti Dion.

Dengan satu gerakan cepat, Dominic meraih pergelangan tangan Hana, menahannya erat. "Dengar, Hana. Aku gak akan nyentuh kamu. Aku gak akan ambil kesempatan kayak gini."

Hana meronta. "Tapi aku mau—"

"Kamu gak sadar!" bentak Dominic, suaranya keras dan penuh amarah.

Hana terdiam. Matanya yang berkabut kini berkedip beberapa kali, seperti mencoba memahami situasi. Tapi pengaruh obat masih terlalu kuat.

Dominic menatapnya dengan rahang mengeras. "Tidur, Hana. Aku akan bawa kamu ke tempat yang aman."

Hana masih menatapnya dengan napas memburu. 

Ia melepaskan satu persatu kancing kemeja Dominic, dan membenamkan wajahnya disana, menghirup aroma tubuh sang kekasih.

"Asshh, Hana! Imanku tidak setebal itu, Sayang..."

"Daddy..."

Dominic menghela napas panjang, menutup matanya sejenak sebelum menyalakan mesin mobil.

Ini belum selesai.

Dion sudah resmi mengundang kematiannya.

Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa jam terakhir, Hana semakin menggila. Dengan kepala bersandar di dada Dominic, ia perlahan terus menciumi aroma tubuh pria yang 16 tahun lebih tua darinya..

'Dion, kamu udah resmi nyari mati."

Dominic membawa Hana ke apartemennya dengan hati-hati, menggendong tubuh lemah gadis itu melewati lorong hingga ke kamar tidurnya. Napas Hana masih berat, wajahnya memerah, dan keringat dingin membasahi pelipisnya.

Dominic menggigit rahang, menahan amarah yang bergemuruh dalam dadanya. Dion sudah resmi melewati batas.

Dominic membawa Hana ke kamar mandi, meletakkannya perlahan ke dalam bathtub yang sudah diisi air hangat.

Ia melihat wajah Hana yang memerah, matanya redup, jelas efek obat itu membuatnya kehilangan kesadaran sepenuhnya.

"Hana, tenang. Aku akan menjagamu," gumam Domi, meski dia mungkin tak benar-benar mendengarnya.

Air hangat mulai membasahi tubuhnya, dengan harapan satu efek obat itu akan mereda seiring waktu. Namun, Hana mulai meracau. 

"Daddy... kok mandinya pakai baju? Sini sama aku, sayang!" ucapnya sembari menarik Domi dengan lemah.

Domi terpaku, pikirannya dipenuhi pergulatan antara nurani dan godaan sesaat. Ia mencoba menjaga jarak, tapi sepertinya logika Hana hilang entah ke mana.

Dia mendekati Dominic, mengabaikan kenyataan bahwa kami tidak sedang dalam keadaan yang normal.

Domi kehilangan kendali sesaat ketika dia mencium, sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi. Tangannya meremas pakaian basah Hana dengan frustrasi.

Sementara Hana mulai melepasnsatu persatu pakaiannya, hingga menyisakan bra dan celana dalam saja. 

"Astaga, Hana... apa yang kamu lakukan? Ini bukan kamu," bisik Domi dalam hati.

Mata pun tak luput menangkap keindahan tubuhnya yang membuat pikiran Domi sempat berbelok. Tetapi ia tahu, ini bukan tentang dirinya.

Ini tentang dia, tentang seseorang yang harus ia lindungi dalam keadaan rentan ini.

"Kamu akan menyesal," ujar Dominic dengan suara serak, mencoba untuk menahan gejolak batin yang kian berkecamuk.

Domi meraih bathrobe, membungkus tubuhnya yang basah, lalu membawanya keluar kamar mandi tanpa berpikir panjang lagi.

Hana di baringkan di tempat tidur, tubuhnya terlihat lemah namun damai. Kepanikannya memuncak, membuat tangannya meraih ponsel tanpa ragu.

"Ini darurat. Datang sekarang," kata Dominic tegas ketika berhasil menghubungi dokter pribadinya.

Meski dada ini dipenuhi kecemasan dan emosi campur aduk, Domi tahu ia harus melakukan hal yang benar.

Tak butuh waktu lama, pintu apartemen diketuk keras. Dominic membuka pintu dengan ekspresi tegang. Seorang pria berjas putih masuk dengan membawa tas medisnya.

"Apa yang terjadi?" tanya dokter itu dengan nada waspada.

Dominic tak menjawab, hanya melangkah cepat ke kamar dan membiarkan sang dokter melihat kondisi Hana.

Dokter itu menghela napas saat melihat wajah Hana yang memerah dan tubuhnya yang menggeliat resah dalam tidurnya. Ia duduk di tepi ranjang dan mulai memeriksa tekanan darah serta detak jantungnya.

"Dia dalam pengaruh obat perangsang," ujar dokter itu dengan nada dingin setelah beberapa saat. "Dosisnya lumayan tinggi. Bisa saja ini menyebabkan serangan panik atau hal yang lebih buruk jika tubuhnya tidak kuat."

"Sialan! Bisa netralisir efeknya?" Dominic mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih.

Dokter itu mengangguk, mengambil suntikan dari tasnya. "Aku akan memberikan obat penenang ringan untuk menurunkan efeknya lebih cepat. Setelah itu, dia butuh banyak istirahat dan cairan untuk membantu tubuhnya pulih."

Dominic hanya mengangguk, matanya terus menatap Hana yang kini menggumam sesuatu dalam tidurnya.

"Daddy..." bisik Hana lirih, tubuhnya sedikit menggeliat di bawah selimut.

"Aku di sini, Sayang." Dominic mendekat, menggenggam tangannya dengan erat.

Dokter menyuntikkan obat dengan hati-hati. "Sebentar lagi dia akan lebih tenang."

Dominic masih tak bergeming. Tangannya mengusap rambut Hana dengan lembut, mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya sendiri.

"Siapa yang melakukan ini?" tanya dokter dengan nada curiga.

Dominic menghela napas panjang. "Dion."

Dokter menegang. "Kamu bercanda?"

"Apa aku kelihatan bercanda?" suara Dominic penuh dengan kemarahan yang ditahan.

Dokter hanya menggeleng, memasukkan kembali alat-alatnya ke dalam tas. "Jangan biarkan dia sendirian untuk sementara waktu. Dan pastikan dia minum banyak air saat bangun nanti."

Dominic mengangguk. "Terima kasih, Ton"

Setelah dokter pergi, Dominic kembali ke sisi Hana. Ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah gadis itu dengan tatapan penuh amarah dan kepedihan.

Dia harus membayar.

Dion harus membayar mahal untuk semua ini.

Bersambung... 

1
Mastutikeko Prasetyoningrum
semangat buat kakak penulisnya smoga ini awal cerita yg alurnya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!