Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang Cerai
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Sidang pertama perceraian Dominic dan Rina digelar di Pengadilan Keluarga. Ruangan itu dipenuhi ketegangan, seakan udara pun terasa lebih berat untuk dihirup.
Dominic duduk dengan ekspresi tenang namun dingin. Sementara Rina tampak gelisah, jemarinya terus meremas-remas tisu di pangkuannya. Matanya merah, entah karena menangis semalaman atau menahan emosi.
Ketika hakim mulai berbicara, suasana semakin tegang.
"Sidang perceraian antara Dominic Lancaster dan Rina Lancaster resmi dimulai. Penggugat, Dominic Lancaster, sudah menyampaikan alasan perceraiannya. Apakah tergugat, Rina Lancaster, memiliki keberatan?"
Rina menegakkan tubuhnya. "Ya, Yang Mulia. Saya menolak perceraian ini! Kami telah menikah selama lebih dari dua puluh tahun! Saya ibu dari anaknya, dan saya berhak untuk mempertahankan rumah tangga ini!"
Dominic mendengkus, lalu menatap hakim dengan tatapan tegas. "Yang Mulia, pernikahan ini sudah lama hancur. Saya hanya ingin menyudahi semuanya dengan baik. Saya telah memberi kesempatan, bahkan berkali-kali, tapi tidak ada yang berubah."
Rina menoleh tajam ke arah Dominic. "Kamu bilang ingin menyudahi semuanya dengan baik? Dengan siapa? Dengan perempuan itu?! Dengan anak kecil yang bahkan seumuran anakmu sendiri?!"
Dominic menatapnya tanpa ragu. "Aku ingin berpisah karena aku sudah muak, Rina. Aku tidak mau hidup dalam kepalsuan lagi."
Tiba-tiba, suara bentakan terdengar dari arah pintu.
"AKU TIDAK AKAN BIARKAN INI TERJADI!"
Semua mata tertuju pada sosok yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
Dion.
Ia berjalan dengan langkah berat, matanya penuh dengan amarah.
"Ayah beneran mau ceraikan Mama?!"
Hakim mengetuk palunya. "Saudara, ini ruang sidang! Jika tidak berkepentingan, silakan keluar!"
Dion tidak peduli. Ia maju ke depan, menghadap Dominic dengan wajah memerah.
"Aku gak peduli sama hukum atau aturan! Yang gue peduli, kenapa ayah tega ninggalin keluarga kita?! Kenapa ayah milih cewek itu dibanding Mama?! Sejak kapan ayah jadi serendah ini?!"
Dominic bangkit dari kursinya. Matanya bertemu dengan mata Dion, tanpa sedikit pun gentar.
"Dion, dengarkan aku—"
"AKU GAK MAU DENGAR! SELAMA INI AYAH NGANGGAP AYAH, SEBAGAI AYAH YANG TEGAS, YANG SAYANG SAMA KELUARGA! TAPI TERNYATA AYAH CUMA PRIA BODOH YANG MILIH SELINGKUHAN LO DARIPADA IBU AKU!"
Rina tersenyum sinis, merasa menang atas kemarahan putranya.
Dominic menghela napas panjang, mencoba menahan kesabarannya. "Dion, kamu pikir ini semua tentang Hana? Kamu pikir aku meninggalkan ibumu hanya karena aku mencintai wanita lain? Tidak, Dion. Pernikahan ini sudah mati sejak lama. Aku hanya menunggu waktu untuk menyelesaikannya."
Dion mendekat, suaranya bergetar karena emosi. "Kalau memang pernikahan ini udah mati, kenapa ayah gak pernah cerai dari dulu?! Kenapa sekarang, setelah ada Hana?!"
Dominic terdiam sesaat, lalu berkata dengan suara berat. "Karena aku menunggumu tumbuh cukup dewasa untuk memahami kenyataan. Tapi sepertinya aku salah."
Dion mengepalkan tangannya. "Ayah egois! Ayah gak mikirin perasaan gue sama sekali!"
Dominic menatap putranya dalam-dalam. "Justru karena aku memikirkan perasaanmu, aku menahan ini selama bertahun-tahun. Aku sudah cukup bersabar, Dion. Aku gak akan membiarkan kamu atau siapapun menahan aku lebih lama lagi."
Dion menggeram, lalu tanpa diduga, dia mengayunkan tinjunya ke wajah Dominic.
BUK!
Ruang sidang sontak gempar. Hakim mengetuk palu berkali-kali, meminta ketenangan.
Dominic menyentuh sudut bibirnya yang kini berdarah. Ia menatap Dion dengan tatapan yang sulit diartikan, tidak marah, tidak terkejut, hanya kecewa.
Dion terengah-engah, napasnya berat karena amarah yang mendidih dalam dadanya.
"Ayah bukan ayah gue lagi!" katanya sebelum berbalik dan keluar dari ruang sidang.
Keheningan menyelimuti ruangan.
Dominic menghela napas dalam. Ia menoleh pada hakim. "Yang Mulia, saya ingin sidang ini tetap dilanjutkan."
Hakim menatap Dominic, lalu mengetukkan palunya. "Sidang akan tetap berjalan sesuai prosedur."
Di sudut ruangan, Rina tersenyum penuh kemenangan. Sementara Dominic hanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja Dion lewati.
Hari ini, ia kehilangan putranya. Tapi ia tidak akan mundur.
Dominic berjalan cepat mengejar Rina yang baru saja keluar dari ruang sidang. Napasnya masih berat, bukan karena tinju Dion, tapi karena emosi yang membara di dadanya.
"Rina!" serunya tajam.
Wanita itu berhenti di lorong pengadilan, membalikkan badan dengan senyum penuh kemenangan.
"Apa lagi, Dominic? Mau memohon padaku untuk mencabut gugatan cerai?"
Dominic mendengus sinis. "Jangan mimpi. Aku mau kamu berhenti ngehasut Dion. Jangan bawa dia dalam masalah kita."
Rina tertawa kecil. "Oh, jadi sekarang aku yang menghasut Dion? Dominic, dia anak kita! Dia membela aku karena dia tahu aku korban dalam semua ini."
Mata Dominic semakin gelap. Ia mendekat, suaranya lebih rendah tapi penuh ancaman.
"Korban? Kamu serius ngomong kayak gitu? Mau aku yang bocorin semua kelakuan kamu ke anakmu, Dion? Mau aku kasih tahu dia betapa banyaknya pengkhianatan yang kamu lakuin selama pernikahan kita?"
Warna wajah Rina sedikit berubah.
"Dion gak perlu tahu," katanya berusaha terdengar tenang.
"Kenapa? Karena kamu takut kehilangan dukungan dia? Takut Dion lihat siapa ibunya sebenarnya?"
Rina mencengkram tasnya erat, rahangnya mengatup. "Dominic, jangan mulai."
Dominic melangkah lebih dekat, hingga hanya beberapa inci memisahkan mereka. "Dengar, Rina. Aku udah cukup sabar. Aku udah cukup diam selama ini. Tapi kalau kamu terus nyetir Dion buat ngebenci aku dan Hana, aku gak bakal tinggal diam. Kalau aku harus buka semua aib kamu biar Dion tahu siapa yang sebenernya menghancurkan keluarga kita, aku gak akan ragu lagi."
Rina menelan ludah. Ia tahu Dominic tidak main-main.
"Aku gak akan biarin kamu pakai anak kita buat bikin aku merasa bersalah," lanjut Dominic. "Dion bisa membenci aku sekarang, tapi kalau dia tahu yang sebenarnya? Kamu pikir dia bakal tetap membelamu, Rina?"
Rina terdiam. Matanya menatap Dominic dengan kebencian bercampur ketakutan.
"Hati-hati, Rina," bisik Dominic tajam. "Jangan paksa aku buat ngelakuin hal yang kamu bakal sesali."
Tanpa menunggu jawaban, Dominic berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Rina yang masih terpaku di tempat.
Rina mengepalkan tangannya. "Kita lihat siapa yang akan menyesal, Dominic," bisiknya penuh dendam.
Dominic mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, pikirannya hanya tertuju pada satu hal, Hana. Setelah persidangan yang penuh amarah, setelah ancamannya pada Rina, hanya satu tempat yang ingin ia tuju. Ia ingin merasakan ketenangan, dan hanya ada satu orang yang bisa memberikannya itu—Hana.
Sesampainya di apartemen, Dominic hampir saja tidak sabar mengetuk pintu. Namun, saat ia membukanya, Hana sudah berdiri di sana, seakan tahu bahwa Dominic akan datang.
"Dad…?” suara lembutnya menyambutnya, tetapi sebelum Hana bisa berkata lebih jauh, Dominic langsung menariknya ke dalam pelukannya.
Pelukan itu erat, penuh dengan kelelahan, emosi yang menumpuk, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kerinduan. Hana terdiam, merasakan tubuh Dominic yang menegang, napasnya berat, seakan menahan semua yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.
"Aku di sini," bisik Hana pelan di dada Dominic.
Dominic tidak menjawab. Ia hanya menenggelamkan wajahnya di rambut Hana, menghirup aroma lembutnya yang selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik. Tangannya semakin erat di pinggang Hana, seakan ingin memastikan bahwa wanita ini nyata, bahwa ia tidak akan ke mana-mana.
Setelah beberapa saat, Dominic akhirnya berbicara, suaranya terdengar lelah namun penuh ketulusan.
"Aku gak peduli seberapa berantakan hidupku sekarang. Satu-satunya yang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu, Hana."
Hana menelan ludah. Matanya mulai berkabut. Ia bisa merasakan beban yang dipikul Dominic, bagaimana dunia seakan terus menguji hubungan mereka.
"Kamu gak akan kehilangan aku, Dad," balasnya, tangannya terangkat untuk membelai rambut Dominic dengan lembut.
Dominic menarik wajahnya sedikit, menatap Hana dalam-dalam. Ada sesuatu dalam matanya, rasa takut, keraguan, dan di atas segalanya, cinta yang begitu besar.
"Kalau gitu, jangan pergi ke mana-mana," bisiknya sebelum akhirnya mengecup kening Hana lama.
Hana tersenyum kecil di pelukan Dominic, menyadari satu hal, seberat apa pun badai yang mereka hadapi, pelukan ini akan selalu menjadi tempat teraman bagi mereka berdua.
Dominic masih memeluk Hana erat, seolah takut jika ia melepaskan, wanita itu akan menghilang dari hidupnya. Tapi kali ini, ia tahu ia tidak bisa terus menyembunyikan semuanya. Hana berhak tahu.
Dengan napas yang masih sedikit berat, Dominic perlahan melonggarkan pelukannya dan menatap Hana dalam-dalam. Mata wanita itu penuh dengan kebingungan dan sedikit kecemasan.
"Aku harus cerita sesuatu," suara Dominic terdengar berat, seakan kata-kata itu sulit untuk keluar.
Hana mengangguk pelan, menggenggam tangan Dominic dengan lembut. "Apa pun itu, aku di sini."
Dominic menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.
"Aku dan Rina… Kami sudah lama tidak benar-benar menjadi suami-istri. Sejak bertahun-tahun lalu, kami hanya bertahan demi Dion. Aku pernah mencintai Rina, Hana. Aku rela melakukan apa pun untuknya. Tapi dia…" Dominic menelan ludah, matanya menatap kosong ke arah lantai. "Dia mengkhianati aku lebih dari sekali. Aku memaafkannya, tapi aku tidak pernah bisa melupakan."
Hana diam, membiarkan Dominic melanjutkan tanpa menyela.
"Aku ingin cerai sejak dulu, tapi setiap kali aku mencoba, Rina selalu memakai Dion sebagai alasan. Dia bilang Dion masih butuh keluarga yang utuh. Aku bertahan, Hana. Aku mencoba jadi ayah yang baik, suami yang setia, tapi hatiku sudah mati rasa. Dan sekarang, aku gak mau pura-pura lagi."
Mata Hana berkaca-kaca. Ia tahu Dominic bukan pria yang mudah menyerah, jadi membayangkan betapa lama ia menahan ini semua membuat hatinya sakit.
"Dion membenci aku sekarang. Dia pikir aku menghancurkan keluarganya, tapi dia gak tahu kebenarannya. Aku lelah dianggap sebagai pria jahat hanya karena aku ingin bahagia." Suara Dominic terdengar serak.
"Daddy…" Hana mengusap pipinya, menahan emosi yang mulai meluap.
Dominic menatapnya, kedua tangannya kini menggenggam wajah Hana dengan lembut. "Aku mencintaimu, Hana. Aku gak peduli seberapa sulitnya ini, aku gak akan biarkan siapa pun memisahkan kita. Kamu percaya aku, kan?"
Hana menatapnya dalam-dalam. Hatinya sakit membayangkan Dominic harus menanggung ini sendirian begitu lama. Ia tahu ada banyak hal yang harus mereka hadapi, tapi satu hal yang pasti, ia percaya pada pria di hadapannya ini.
"Aku percaya kamu, Daddy kesayanganku!"
Sebaris senyum penuh kelegaan muncul di wajah Dominic sebelum ia menarik Hana lagi ke dalam pelukannya.
Di luar sana, dunia mungkin akan terus mencoba menghancurkan mereka. Tapi saat ini, di dalam pelukan satu sama lain, mereka tahu mereka tidak sendiri.
"Cium!"
Bersambung...