“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
K ~ Bab 02
Kau bukan wanita pembawa sial, tetapi gadis tangguh dengan hati teguh.
...****************...
Dhien menatap sengit sosok pria dewasa yang masih mengulurkan sapu tangan untuknya. “Siapa kau?”
“Sudahi kekonyolan mu, Dhien! Lap tu air mata dan ingus yang hampir bersatu padu!” dengusnya jengah.
Dhien langsung menarik paksa kain lembut terlipat segiempat, lalu mengelap wajahnya serta sisi ingus sekuat-kuatnya.
“Memang tak ada anggun-anggun kau jadi wanita!”
“Diam kau, Dzikri! Sedang apa dirimu di tengah hutan belantara ni?” Dhien memicingkan matanya, menatap penuh curiga. “Atau jangan-jangan kau mengikuti ku?”
Dzikri Ramadhan, yang sering di sapa Dzikri, pemuda tampan, berusia 24 tahun, berahang tegas, warna mata seperti madu itu menggelengkan kepalanya.
“Kepercayaan dirimu, sungguh patut diacungi jempol kaki, Dhien. Kalau kau lupa, sini ku ingatkan! Perkebunan karet ni milikku, jadi yang perlu dipertanyakan tu, mengapa dirimu bisa terdampar sampai sini? Mana menangis macam orang kesurupan lagi!”
Dhien yang tadi jongkok, kini sudah berdiri, berjarak satu langkah kaki dewasa dengan Dzikri. “Suka-suka ku lah! Napa pulak kau sibuk bertanya ini itu. Kau mengatai ku macam orang tak waras, tak nya kau ingat ... sewaktu dulu pernah ku lempar batu lalu dirimu menangis sambil menjilati air mata bercampur ingus, bukankah lebih jorok dirimu?”
Mata Dzikri melotot sempurna. “Tu kan semasa kanak-kanak, ya wajarlah!”
“Bagiku tak tuh!” Dhien bersedekap tangan, menatap menantang, wajahnya sudah kembali sinis, tidak lagi menangis.
Dzikri merogoh saku celana jeans nya, mengambil sebungkus permen karet. “Cukup ‘kan, untuk menutup mulut bocor mu tu?”
Dhien tersenyum sumringah, tetapi rautnya kembali masam. “Kau tahu kan, kalau mulutku ini bukan lagi bocor alus, tapi …?”
“Ini ambil semua!” Dzikri memberikan satu renteng permen karet. “Pulang sana kau! Tak baik sore hari berkeliaran di tengah hutan!”
“Mana rambut keriting mu sudah mengembang macam sarang Burung, buat sakit mata yang memandang saja!” sambung Dzikri seraya menatap rambut sebahu Dhien yang dibiarkan tergerai.
Dhien membuka satu bungkus permen karet, lalu langsung memasukkan ke dalam mulut, yang lainnya sudah dikantongi.
"Dzikri, kau pernah dengar pepatah ini tak? Antara Cinta dan Benci tu beda tipis loo, harap hati-hati jangan sampai jatuh hati padaku, nanti kau bisa mati berdiri karena sudah pasti akan ku tolak mentah-mentah cinta mu tu!”
“Tak akan! Aku bukan membenci, tetapi sering naik darah bila berhadapan dengan mu!” sanggah Dzikri seraya memalingkan wajahnya.
Dhien mengedikkan kedua bahunya. “Terserah kau sajalah! Oh ya … bila nanti telah bertemu calon jodohmu, tolong beritahu aku ya! Biar ku ungkap semua aib mu, coba kita lihat … tu orang masih tetap menyukaimu atau malah meninggalkan mu.”
“Astaghfirullah.” Dzikri mengelus dadanya, berbicara dengan teman masa kecilnya ini memang harus banyak-banyak beristighfar.
“Kau semestinya berterima kasih padaku, Dzikri. Karena diri ini seorang yang mampu membuatmu sering-sering beristighfar.”
“Mengapa sudah seminggu ini tak lagi pergi berlatih karate, Dhien?” Dzikri mengalihkan pembahasan mereka.
Dhien meletupkan permen karet nya. “Buat apa? Aku sudah bisa menyepak bahkan membanting orang. Jadi, tak ada gunanya lagi giat berlatih. Kecuali ada ilmu baru yang bisa membunuh tanpa menyentuh, baru ku rajin datang lagi!”
"Pergi berguru pada Dukun sana kau! Ternyata percuma aku cakap denganmu, Dhien! Assalamualaikum … saja lah!” Dzikri menyerah.
“Wee ... tunggu dulu!” Dhien memanggil Dzikri yang sudah berjalan beberapa langkah menjauhinya. “Kau bawa pulang sapu tanganmu ini!”
“Ada kurang-kurangnya ku tengok kau ni, itu bekas ingus mu, masa menyuruh orang lain yang mencucinya!” Dzikri menatap malas wajah Dhien.
“Jangan berlagak macam tak tahu ya, Dzikri! Sapu tangan ni sebelumnya sudah pasti bekas keringat mu! Mau ambil tak? Atau kubuang ni!” Dhien sudah bersiap mau membuang sapu tangan ke semak-semak tumbuhan pakis.
Dzikri kembali mengikis jarak, lalu merebut kain bekas air mata dan ingus Dhien. Tangannya seperti orang hendak mencakar. “Ihh … palak kali kutengok kau ni!”
Ha ha ha … tawa Dhien membahana.
“Kau bukan wanita pembawa sial Dhien, tetapi wanita tangguh seperti arti namamu, si pemilik hati teguh!” bisiknya begitu lirih sambil melangkah hendak pulang ke rumah pamannya.
.
.
“Dari mana saja kau, Dhien?” tanya Amala sahabatnya Dhien.
Dhien menyandarkan sepedanya pada pohon rambutan samping rumah Amala, lalu mendekati gadis berumur 21 tahun, sama dengannya.
“Bisakah kau berikan aku minuman soda Badak, Mala! Rasanya kering betul tenggorokan ni!” pintanya tidak tahu malu.
Amala mendengus, tetapi tetap memenuhi permintaan Dhien, dia masuk ke dalam rumahnya guna mengambil satu botol minuman soda.
“Terima kasih, sahabat terbaikku!” ucap Dhien, lalu menggunakan gigi membuka tutup botol. Mereka duduk di atas bebatuan kerikil belakang rumah Mak Syam, ibunya Amala.
“Kau dari mana?” Mala kembali mengulang pertanyaannya.
“Habis pulang berperang! Demi menegakkan keadilan dan menumpas kejahatan!” Jawabnya sekenanya, meletakkan botol bening di sampingnya.
“Kau ni, tak pernah serius bila ditanyain!” Amala mendorong bahu Dhien.
“Aku serius ya! Apa namanya kalau bukan menegakkan keadilan bila bertamu di rumah titisan Fir'aun? Makin hari, bertambah tirani saja mereka!” Dhien menghela napas panjang.
Mala memperhatikan wajah Dhien, netranya melihat warna merah cap jari.
“Kali ini siapa yang menampar mu, Dhien?” tanyanya ringan dikarenakan sudah terbiasa melihat bekas luka di tubuh sahabatnya ini.
Dhien pun menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Amala adalah sosok sahabat serasa saudara baginya, tempatnya bercerita, berkeluh kesah, bila dengan lainnya … Dhien seperti wanita tanpa beban, selalu ceria, sinis dengan mulut ceplas-ceplosnya.
“Mengapa kau setuju? Itu sama saja dengan memberikan makan hewan lapar, Dhien! Batalkan! Ayo ku temani kau, kita hadapi mereka sama-sama!” Amala hendak beranjak sambil menarik tangan Dhien, dia sungguh tidak terima sahabatnya mau menikah dengan penjahat kelamin.
Dhien menarik tangan Amala, agar terduduk kembali. “Mala, tolong dengarkan aku!”
Setelahnya Dhien menceritakan rencananya, meminta bantuan pada Amala agar semuanya berjalan seperti yang dia inginkan.
“Kau mau ‘kan membantu ku?” tanyanya penuh harap, dengan mata berkaca-kaca.
Amala menghapus air mata yang membasahi pipinya, lalu mengangguk pasti. “Aku mau! Meskipun nyawa taruhannya, tak kan mungkin diri ini mundur!”
"Tapi, kau harus berjanji! Selalu hati-hati, jagalah diri dengan baik. Jangan sampai masuk bui apalagi mati! Ayo berjanji, Dhien!" Amala meminta janji jari kelingking.
Dhien menautkan jari kelingking mereka. "Aku janji, Mala! Kalaupun harus ada yang celaka, maka itu mereka, bukan diri ini!"
Kedua sosok saling menyayangi itu berpelukan erat seraya menggumamkan kata-kata penyemangat.
Selepasnya Dhien pulang ke rumahnya sendiri, yang hanya berjarak 20 meter dari samping hunian Amala, baru saja masuk rumah lewat pintu belakang, dirinya sudah di sambut sosok wanita paruh baya berwajah sembab.
“Betulkah kabar yang Emak dengar ni, Dhien? Kau hendak menikah dengan Fikar? Jawab, Nak!!”
.
.
Bersambung.
Setting: Pemukiman Penduduk Transmigrasi, perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh. Dimana ada beberapa suku yang mendiami, Jawa Sumatera, Melayu, Aceh, dan lainnya.
Terima kasih banyak ya Kak, atas sambutan hangatnya, dukungan luar biasanya, Hadiahnya, Gift, Vote, Like, serta komentarnya 🙏🥰
Hanya akan jadi samsak si Dhien aaja kau ni.
ra nduwe wedi trio cebol iki 🤣🤣
jan nyebut tenanan 🤣
maka udah selayaknya saling meraba perasaan masing2 ,menegaskan tanpa merasa risih hingga harus jd kakak beradik percayalah ga akan bisa jg karena hati yg sudah bertaut
sedalam itu rasamu buat Dhien
nah bangkit Dhien tunjukkan kamu setegar karang yang ga bisa dihempas siapapun